Arti Syukur di Kota Sejuk: Cerita Puasa Pertama Anak Rantau
Di Kota Sejuk, tempat di mana mentari pagi menyapa dengan dinginnya, dan semilir angin menyapu jalan-jalan sepi, tinggallah seorang pemuda bernama Ali. Dia adalah seorang anak rantau yang sedang berjuang keras meniti jalan menuju cita-citanya.
Hari ini, ketika matahari pertama kali bersinar, menandai awal bulan suci Ramadan, Ali memulai hari pertamanya dalam puasa, penuh dengan harapan dan doa.
Ali tinggal di sebuah kos-kosan kecil yang menjadi tempat tinggalnya sejak ia memutuskan meninggalkan kampung halamannya untuk mengejar cita-cita di Kota Sejuk. Meski jauh dari keluarganya, ia tidak pernah merasa sendiri. Di kos-kosan itu, ia dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki cerita dan perjuangan masing-masing.
Di pagi hari yang tenang itu, Ali duduk di sudut kamarnya yang kecil, membaca Al-Quran. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka perlahan, dan seorang tetangga sekosannya, Rudi, memasuki ruangan dengan senyum lebar di wajahnya.
"Assalamu'alaikum? Selamat pagi, Ali! Selamat menjalankan puasa pertama kita di bulan suci ini!", sapa Rudi dengan antusias.
Ali tersenyum membalas sapaan itu, "Wa'alaikumussalam. Selamat pagi juga, Rudi. Terima kasih. Semoga kita diberikan kekuatan untuk menjalani puasa dengan baik."
Rudi duduk di samping Ali, membuka selembar kertas yang ia bawa, "Ali, aku punya ide. Bagaimana kalau kita berbagi cerita tentang apa yang membuat kita bersyukur di bulan Ramadan ini?"
Ali mengangguk setuju, "Tentu saja, Rudi. Itu ide bagus. Kita bisa saling menginspirasi satu sama lain."
Rudi tersenyum, "Baiklah, aku akan mulai dulu. Kemarin, aku bertemu dengan seorang anak kecil di pinggiran kota. Sepertinya dia tidak punya banyak harta, terlihat dari pakaiannya yang lusuh, bahkan mungkin lebih sedikit dari apa yang kita miliki di sini. Tapi, ketika aku tanya kepadanya tentang apa yang membuatnya bahagia, dia dengan bangga bilang bahwa dia bersyukur karena masih bisa melihat senyum ibunya setiap hari. Itu membuatku tersentuh, Ali. Kadang-kadang, kita terlalu fokus pada apa yang tidak kita miliki, tanpa menyadari betapa berharganya apa yang kita punya."
Ali mendengarkan cerita Rudi dengan hati yang tersentuh, "Itu cerita yang sangat indah, Rudi. Terima kasih telah berbagi. Aku belajar bahwa betapa pentingnya untuk mensyukuri apa yang kita miliki, meski sekecil apapun."
Rudi mengangguk, "Sekarang, giliranmu, Ali. Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu bersyukur di hari pertama puasa ini."
Ali menghela nafas, memikirkan jawaban yang tepat, kemudian bercerita, "Kemarin, saat pulang kerja, aku melewati sebuah warung kecil di pinggiran kota. Aku melihat seorang nenek tua, duduk di pojok warung dengan senyum tipis di wajahnya. Aku mendekatinya dan bertanya bagaimana keadaannya. Nenek itu bercerita bahwa dia hidup sendirian, tanpa ada yang menemaninya. Namun, dia bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup, meski dalam keterbatasan. Itu membuatku sadar, Rudi. Bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki segalanya, tapi tentang mensyukuri segala yang kita miliki, sekecil apapun itu."
Rudi mengangguk mengerti, "Itu benar sekali, Ali. Terima kasih sudah berbagi cerita itu dengan saya. Kita memang perlu terus mengingat betapa berharganya apa yang kita miliki."
Mereka berdua duduk di kamarnya dalam keheningan, merenungkan cerita yang telah mereka bagi. Di antara mereka, terdengar suara adzan memanggil umat Islam untuk menunaikan ibadah shalat Subuh.
"Ayo, Ali. Mari kita pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Subuh bersama," ajak Rudi.
Ali bangkit dari duduknya, tersenyum, "Baiklah, Rudi. Ayo kita pergi."
Mereka berdua meninggalkan kos-kosan menuju Masjid setempat, dengan hati yang penuh dengan rasa syukur dan harapan.
Di hari pertama puasa di Kota Sejuk, mereka belajar bahwa kebahagiaan sejati datang dari rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Dalam cerita dan doa mereka, terukirlah kesucian Ramadan yang penuh dengan makna dan keindahan.
Dengan penuh keikhlasan, mereka berjalan menuju Masjid, menghadap Allah SWT dengan penuh harap dan syukur. Di Kota Sejuk, di antara suara adzan dan dzikir, terjalinlah sajak syukur dan kebahagiaan, mengalir dalam cinta dan rahmat yang tak pernah pudar.
Catatan:
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul "Sajak Ramadan: Memahami Bersyukur di Hari Pertama."