Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.
Renungan Ramadan (30): Menyikapi Perbedaan Hari Raya dalam Persatuan Umat dan Kesatuan Bangsa
Ramadan, bulan suci bagi umat Islam di seluruh dunia, telah tiba dan akan berakhir dengan perayaan Idul Fitri, momen yang ditunggu-tunggu. Namun, di Indonesia, sebagian umat Islam merayakan Idul Fitri pada tanggal yang berbeda, yaitu pada hari ini Jumat, 21 April 2023, sementara yang lain mengikuti penetapan pemerintah pada tanggal 22 April 2023. Perbedaan penetapan hari raya ini bukanlah hal baru, namun belakangan ini ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk mengadu domba dan memecah belah bangsa.
Perbedaan metode penghitungan penanggalan hijriah, yaitu penanggalan dalam kalender Islam, telah menjadi sumber perbedaan penetapan hari raya di Indonesia. Beberapa kelompok mengikuti metode hisab, yang menghitung berdasarkan perhitungan astronomi, sementara yang lain mengikuti metode rukyat, yaitu pengamatan langsung hilal.
Perbedaan dalam perhitungan astronomi dan pengamatan hilal, bisa menjadikan perbedaan dalam penetapan awal bulan Syawal, dan oleh karena itu perbedaan dalam merayakan Idul Fitri. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa perbedaan dalam penetapan awal bulan Syawal dan merayakan Idul Fitri pada tanggal yang berbeda tidak harus menjadi sumber perpecahan atau konflik.
Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang beragam, memiliki tradisi toleransi dan keberagaman dalam merayakan perayaan agama, termasuk Idul Fitri. Oleh karena itu, perbedaan dalam merayakan Idul Fitri harus dilihat sebagai variasi dalam praktik keagamaan yang dihormati dan dihargai. Penting untuk menghormati pilihan masyarakat dan individu dalam merayakan Idul Fitri sesuai dengan keyakinan dan praktek agama mereka masing-masing.
Perbedaan ini telah ada sejak lama dan umat Islam di Indonesia telah hidup dengan harmonis dan saling menghargai perbedaan tersebut. Akan tetapi, perbedaan hari raya bukanlah hal yang seharusnya dipertentangkan atau dijadikan alasan untuk memecah belah masyarakat. Sebaliknya, perbedaan tersebut seharusnya dilihat sebagai bagian dari keragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, semboyan nasional Indonesia, mengajarkan pentingnya menghargai dan menjaga persatuan dalam keragaman suku, agama, ras, dan budaya.
Meskipun perbedaan dalam penetapan hari Raya Idul Fitri telah terjadi berkali-kali di Indonesia, umumnya tidak menimbulkan gejolak perpecahan di masyarakat. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang beragam, Indonesia telah lama memiliki tradisi toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini ada beberapa pihak yang mungkin mencoba memanas-manasi perbedaan dalam penetapan waktu Idul Fitri untuk tujuan tertentu. Hal ini bisa mencakup upaya untuk menghasut ketegangan antar kelompok atau memperkuat agenda-agenda politik atau sosial tertentu. Penggunaan media sosial dan berita palsu (hoax) juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi masyarakat terhadap perbedaan tersebut.
Dalam menghadapi perbedaan penetapan waktu Idul Fitri, penting bagi masyarakat Indonesia untuk tetap menjunjung tinggi nilai toleransi, saling menghormati, dan menjaga kerukunan antar umat beragama.
Pemerintah, pemimpin agama, dan tokoh masyarakat juga memiliki peran penting dalam meredam ketegangan dan mempromosikan dialog serta pemahaman antar kelompok untuk mengatasi perbedaan yang mungkin timbul.
Selain itu, masyarakat juga perlu berhati-hati terhadap berita palsu (hoax) dan berusaha memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, serta menjaga sikap bijaksana dan tidak terprovokasi oleh isu-isu yang dapat memicu konflik atau perpecahan.