Merza Gamal
Merza Gamal Konsultan

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Tradisi Menyambut Idul Fitri dengan Lampu Colok di Riau

9 April 2024   21:01 Diperbarui: 9 April 2024   21:06 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Menyambut Idul Fitri dengan Lampu Colok di Riau
Sumber gambar: Koleksi Merza Gamal dari Rasmin/RiauPos

Menjelang Idul Fitri, banyak hal yang dilakukan umat Islam untuk menyambutnya. Setiap daerah memiliki tradisi uniknya sendiri dalam merayakan momen ini. Salah satu tradisi yang khas di Riau adalah tradisi Lampu Colok, yang memeriahkan malam ke-27 Ramadan hingga malam Takbiran.

Kata "colok" dalam bahasa Melayu berarti alat penerang. Masyarakat Melayu Riau menyebut lampu colok ini dengan sebutan "pelite" atau "pelito", yang merupakan sejenis lampu teplok yang menggunakan sumbu kompor dan minyak tanah sebagai bahan bakar penerangnya.

Lampu colok merupakan lampu tradisional yang dulunya banyak dipakai untuk menerangi kegelapan di daerah pedesaan pada masa ketika listrik belum merata. Awalnya, lampu colok terbuat dari bambu, mirip dengan obor. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, lampu colok juga dibuat dari kaleng atau botol bekas minuman yang kemudian diisi dengan minyak tanah untuk menyalakan sumbunya yang terpasang di tengah.

Tradisi Lampu Colok tidak hanya memberikan penerangan fisik di malam hari, tetapi juga menjadi simbol kehangatan dan kebersamaan dalam menyambut Idul Fitri. Lampu-lampu yang menyala indah di sepanjang jalan desa atau kota menciptakan suasana yang meriah dan menggambarkan kegembiraan umat Islam dalam menyambut hari kemenangan.

Meskipun saat ini telah banyak tersedia penerangan listrik, tradisi Lampu Colok tetap dilestarikan dan diwarisi dari generasi ke generasi sebagai bagian dari identitas budaya dan tradisional masyarakat Melayu Riau. Keberadaannya tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri yang meriah dan penuh makna bagi penduduk Riau.

Dengan demikian, tradisi Lampu Colok tidak hanya sebagai sumber cahaya dalam kegelapan malam, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan, kehangatan, dan kegembiraan dalam menyambut hari kemenangan umat Islam.

Tradisi Lampu Colok Sebagai Penerangan dan Simbol Kebanggaan Budaya Masyarakat Melayu Riau

Sejak zaman dahulu, lampu colok tidak hanya menjadi alat penerangan, tetapi juga menjadi sahabat setia dalam kegelapan malam bagi masyarakat Melayu Riau. Diposisikan di depan pintu rumah, lampu colok memberikan cahaya yang cukup untuk menemani anak-anak pergi mengaji atau belajar di dalam rumah.

Keberadaannya juga sangat penting bagi para nelayan yang akan berangkat melaut pada malam hari. Lampu colok memberikan penerangan yang cukup untuk memudahkan mereka dalam beraktivitas di tengah gelapnya malam.

Hingga saat ini, tradisi penggunaan lampu colok tidak pernah pudar. Pada malam Takbiran, anak-anak yang mengaji di masjid akan membawa lampu colok dan berkeliling kampung dalam sebuah pawai yang meriah.

Lampu-lampu colok yang menyala diiringi oleh lantunan takbir yang menggema menciptakan suasana yang begitu khas dan penuh kehangatan dalam menyambut kedatangan Hari Raya.

Sumber gambar: Koleksi Merza Gamal dari Rasmin/RiauPos
Sumber gambar: Koleksi Merza Gamal dari Rasmin/RiauPos

Seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan lampu colok juga menjadi simbol penghormatan terhadap tradisi turun temurun. Ketika bulan Ramadan memasuki penghujungnya, masyarakat Melayu Riau mulai menggunakan lampu colok sebagai hiasan di depan rumah mereka.

Hal tersebut terutama terjadi dalam menghadapi malam lailatul qadar, malam yang dianggap paling istimewa di bulan Ramadan. Pada malam ke-27 bulan Ramadan, seluruh kampung akan bersinar terang dengan lampu-lampu colok yang dipasang di setiap sudutnya, menciptakan pemandangan yang memukau dan memperindah malam lailatul qadar.

Keindahan Romantis Lampu Colok dalam Tradisi Masyarakat Melayu Riau

Lampu colok tidak hanya sekadar alat penerangan, tetapi juga membawa romansa tersendiri bagi masyarakat Melayu Riau.

Cerita turun temurun mengisahkan bahwa lampu colok memiliki peran penting sebagai sarana penerangan jalan bagi mereka yang ingin membayar Fitrah setiap malam 27 Ramadan. Fitrah adalah zakat yang wajib dibayarkan oleh setiap Muslim yang mampu untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Dalam cerita tersebut, lampu colok menjadi penunjuk jalan yang terang dan aman bagi para pemudik yang hendak menuju masjid atau rumah-rumah yang menghimpun zakat fitrah, yang seringkali dipimpin oleh tokoh masyarakat yang dihormati dan dikenal denganrti Pak Lebai.

Lampu-lampu colok yang bersinar di sepanjang jalan menciptakan suasana magis dan memikat, seolah-olah mengajak setiap orang untuk merasakan kehangatan dan kedamaian dalam melakukan amal ibadah di malam yang istimewa.

Keberadaan lampu colok dalam tradisi membayar Fitrah pada malam 27 Ramadan tidak hanya memberikan penerangan fisik, tetapi juga menyiratkan makna spiritual yang mendalam. Lampu-lampu yang bersinar dalam gelapnya malam menjadi simbol harapan dan kebaikan yang terus menyala di hati setiap individu, mengajak mereka untuk selalu berbagi dan peduli terhadap sesama.

Keindahan dan romansa dari lampu colok menghidupkan kembali nilai-nilai luhur tradisi leluhur, memperkaya warisan budaya yang tak ternilai harganya bagi generasi mendatang.

Mengabadikan Tradisi Melalui Festival Lampu Colok di Riau

Sejak awal tahun 2000-an, pemerintah daerah di beberapa Kabupaten dan Kota di Riau telah mengambil langkah konkret untuk melestarikan budaya Lampu Colok dengan menyelenggarakan Festival Lampu Colok. Festival ini menjadi wadah bagi masyarakat setempat untuk merayakan keindahan dan makna dari tradisi Lampu Colok dalam menyambut akhir Ramadan dan perayaan Idul Fitri.

Masyarakat dari setiap kampung berbondong-bondong untuk menciptakan Lampu Colok dari botol-botol bekas yang diisi dengan minyak dan sumbu. Mereka kemudian mengatur lampu-lampu tersebut secara rapi dan membentuk ornamen yang menyerupai bentuk masjid. Cahaya yang dipancarkan oleh Lampu Colok yang dirangkai indah tersebut menciptakan pemandangan yang memukau dan memukau setiap mata yang memandangnya.

Festival Lampu Colok biasanya diadakan sebagai ajang pertandingan antar Kecamatan, di mana setiap wilayah akan berlomba-lomba menciptakan lampu colok yang paling indah dan kreatif. Festival ini bukan hanya sekadar kompetisi, tetapi juga menjadi momen untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya antarwarga setempat.

Festival Lampu Colok tidak hanya menjadi bagian dari khasanah warisan budaya tempo dulu, tetapi juga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Riau saat ini.

Bahkan, festival ini telah menjadi salah satu agenda wisata yang diminati oleh wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Kota-kota seperti Pekanbaru, Dumai, dan Kabupaten Bengkalis menjadi destinasi yang populer untuk menikmati keindahan Festival Lampu Colok dan merasakan pesonanya yang memikat.

Melalui Festival Lampu Colok, tradisi yang berakar kuat dalam budaya masyarakat Melayu Riau tetap terjaga dan dilestarikan dengan cinta dan semangat yang tinggi. Festival ini tidak hanya menjadi perayaan keindahan visual, tetapi juga menjadi ajang untuk memperkuat ikatan sosial dan merayakan keberagaman budaya yang kaya di tanah Riau.

Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)Top of Form

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun