Tetap Merantau di Hari Lebaran: Kisah Mahasiswa Penjaga Toko Kelontong Madura
Bulan suci ramadhan kini telah berlalu dengan munculnya hari raya idul fitri. Hari kemenangan ini di penuhi dengan canda tawa umat Muslim dengan berbagai tradisi di dalamnya.
Di Indonesia sendiri memiliki banyak sekali tradisi untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri. Beberapa tradisi tersebut, diantaranya mudik, halal bi halal, takbiran, kue lebaran, ziarah, berbagi THR, dan lain sebagainya.
Salah satu tradisi lebaran di Indonesia, yakni mudik, yang mana sudah menjadi ritual budaya tahunan, yang dilakukan menjelang perayaan hari raya agama, terutama Idul Fitri.
Mereka yang hidup dan tinggal di berbagai kota di Indonesia berbondong-bondong kembali ke kota asal orang tuanya untuk berkumpul dengan orang tersayang. Istilah mudik berasal dari bahasa Jawa ngoko.
Kata mudik merupakan singkatan dari 'mulih dhisik' yang artinya adalah 'pulang dulu' setelah merantau. Asal-usul kata "mudik" juga berasal dari bahasa Melayu "udik", yang mengandung arti hulu atau ujung.
Dahulu, tradisi masyarakat Melayu yang tinggal di daerah hulu sungai sering melakukan perjalanan ke daerah hilir sungai menggunakan perahu atau biduk untuk menemui sanak saudara yang jauh.
Tradisi mudik sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Pada masa itu, Majapahit menguasai banyak sekali wilayah di Indonesia bahkan hingga mencapai Sri Lanka serta Semenanjung Malaya.
Karenanya, kerajaan kemudian mengirim para pejabatnya ke berbagai wilayah kekuasaan tersebut agar menjaga wilayah yang dimaksud. Pada suatu ketika, para pejabat ini akan kembali menuju pusat kerajaan.
Tujuannya tidak lain untuk berkunjung ke kampung halaman sekaligus menghadap raja. Hal inilah yang kemudian dihubung-hubungkan dengan fenomena mudik. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mudik tidak hanya berawal dari Majapahit, namun juga berawal dari Mataram Islam. Pada masa itu, pejabat Mataram Islam yang bertugas di daerah kekuasaannya juga melakukan mudik.
Hal ini dilakukan khususnya ketika Idul Fitri. Sama seperti yang dilakukan oleh pejabat Kerajaan Majapahit, pejabat Kerajaan Mataram Islam juga melakukan mudik yang salah satu tujuannya adalah untuk menghadap raja dan membersihkan makam para leluhurnya.
Lalu istilah mudik lebaran baru berkembang pada tahun 1970-an, yakni lebih dari 80% pendatang ke Jakarta datang untuk mencari pekerjaan dan hanya mendapatkan libur panjang saat lebaran.
Mereka pun memanfaatkan momentum ini untuk pulang ke kampung halamannya. Tradisi mudik ini tidak hanya berlangsung satu hari saja. Namun, biasanya terjadi H-4 dan H-3 sebelum Lebaran, sedangkan arus balik mudik Lebaran sendiri dapat terjadi sejak H+2 atau H+3 Lebaran, yang mana semakin dekat dengan hari masuk kerja dan sekolah, maka semakin padat arus balik mudik ini berlangsung. Berdasarkan survey Kementrian Perhubungan (Kemenhub), sebanyak 71,7 persen warga Indonesia atau 193 juta orang yang mudik lebaran 2024.
Sabtu, 8 April 2024 saya diberi kesempatan untik berdiskusi dengan mas jakfar Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan 2020, seorang perantau sekaligus mahasiswa asal madura justru tidak kembali ke kampung halamannya dan memilih untuk tetap menjaga toko kelontong milik bosnya.
"Saya tidak mudik karena di hari menjelang idul fitri bayarannya lebih besar. Jadi saya memilih untuk tetap disini," Jakfar salah satu warga Pamekasan, Madura. Justru Bagi jakfar momen menjelang lebaran menjadi kesempatan berharga untuk bekerja sebagai penjaga toko kelontong dengan bayaran dua kali lipat dari biasanya. Karena sang pemilik harus pulang kampung setelah sekian lama meninggalkan keluarganya.
Pilihannya untuk tetap merantau menjelang lebaran bukan kali pertama dilakukan Jakfar. Tahun ini sudah kesekian kalinya ia merayakan lebaran di Yogyakarta jauh dari keluarga. Demi meraup cuan untuk memenuhi kebutuhan dalam menjalani hari- harinya.
"Ya, nanti lebarannya di Yogyakarta," ujar pria asal Madura ini.
Lebaran, momen istimewa bagi umat Islam untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara. Namun, bagi sebagian orang, momen ini harus dilewati dengan bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu contohnya adalah para penjaga toko kelontong yang harus tetap buka di hari Lebaran untuk melayani pelanggan.
Jakfar, seorang pemuda berusia 24 tahun, merupakan salah satu penjaga toko kelontong di Yogykarta yang harus tetap bekerja di hari Lebaran. Ia berasal dari sebuah desa kecil di Pamakesan dan merantau ke yogyakarta untuk mencari nafkah.
"Lebaran tahun ini saya tidak bisa pulang kampung," ujar Jakfar sambil menggemas barang belanjaan pelanggan.
"Orang tua dan saudara-saudara sudah menunggu di kampung, tapi saya tidak punya cukup uang untuk ongkos pulang pergi."
Jakfar bekerja di toko kelontong selama 6 hari dalam seminggu, dari jam 7 pagi hingga 10 malam. Di hari Lebaran, toko buka lebih lama, dari jam 8 pagi hingga 11 malam. "Lebaran biasanya banyak yang belanja, jadi kami harus tetap buka," jelas Jakfar.
Meski harus merindukan keluarga di kampung halaman, Jakfar tetap tegar menjalani pekerjaannya. Ia sadar bahwa pekerjaannya ini penting untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. "Walaupun tidak bisa pulang kampung, saya tetap bisa bersilaturahmi dengan pelanggan dan tetangga di sini," kata Jakfar.
Cerita Para Penjaga Toko Kelontong Lainnya
Kisah Jakfar bukan satu-satunya. Banyak penjaga toko kelontong lain yang juga harus tetap bekerja di hari Lebaran. Mereka berasal dari berbagai daerah dan memiliki cerita yang berbeda-beda.
Ada yang merantau karena ingin membantu ekonomi keluarga, ada yang ingin menabung untuk membeli rumah atau kendaraan, dan ada juga yang ingin melanjutkan pendidikan.
Meski harus mengorbankan momen Lebaran bersama keluarga, mereka tetap semangat bekerja. Mereka sadar bahwa pekerjaan mereka ini penting untuk melayani masyarakat dan membantu mereka mendapatkan kebutuhan sehari-hari.
Pesan Moral dari Kisah Para Penjaga Toko Kelontong
Kisah para penjaga toko kelontong yang tetap merantau di hari Lebaran memberikan banyak pesan moral bagi kita. Pertama, mereka mengajarkan kita tentang pentingnya kerja keras dan pengorbanan. Demi memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai cita-cita, mereka rela mengorbankan waktu bersama keluarga di momen istimewa seperti Lebaran.
Kedua, mereka mengajarkan kita tentang arti pentingnya rasa syukur. Meskipun tidak bisa pulang kampung dan merayakan Lebaran bersama keluarga, mereka tetap bersyukur atas pekerjaan dan rezeki yang mereka dapatkan.
Ketiga, mereka mengajarkan kita tentang semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sesama. Di hari Lebaran, banyak orang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Para penjaga toko kelontong dengan senang hati melayani mereka dan membantu mereka merayakan Lebaran dengan penuh suka cita.
Kisah para penjaga toko kelontong ini patut kita jadikan inspirasi. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang bekerja keras demi melayani masyarakat dan membantu mereka mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Mari kita hargai dan hormati mereka atas pengorbanan dan dedikasinya.
Kesimpulan
Kisah mas Jakfar merupakan salah satu contoh pengorbanan para perantau yang harus tetap bekerja di hari Lebaran. Meskipun tidak bisa mudik dan berkumpul bersama keluarga, mereka tetap memiliki semangat dan motivasi untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang tercinta. Melalui kisah Mas Jakfar, kita diingatkan bahwa Lebaran bukan hanya tentang berkumpul dengan keluarga, tetapi juga tentang kebersamaan, saling membantu, dan mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Baca Juga: Mereka yang Bekerja Saat Lebaran