Mengunjungi Masjid Al-Wustho Mangkunegaran, Masjid Bergaya Arsitektur Jawa-Eropa
Di tengah hiruk-pikuk Kota Solo yang sarat sejarah, berdiri sebuah masjid yang bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga penanda perjalanan panjang Islam di tanah Jawa. Masjid Al-Wustho Mangkunegaran. Terletak di sisi barat Pura Mangkunegaran, hanya dipisahkan oleh sebuah jalan beraspal yang mengitari kompleks keraton kecil itu.
Keberadaannya mengukuhkan jejak Islam di wilayah yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Masjid ini menjadi satu dari empat masjid bersejarah di Solo, berdampingan dengan Masjid Agung, Masjid Kepatihan, dan Masjid Laweyan.
Awalnya, masjid ini tidak berada di tempatnya sekarang. Pada tahun 1757, Pangeran Sambernyawa yang lebih dikenal sebagai Mangkunegara I. Mendirikan masjid pertama di Kampung Kauman, Pasar Legi.
Selama tiga puluh tahun, dari masa kepemimpinan Mangkunegara I hingga Mangkunegara III, masjid itu tetap di sana, melayani para pengikut setia dan masyarakat sekitar.
Pada era Mangkunegara IV, sekitar tahun 1853, diputuskan bahwa masjid harus lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Masjid pun dipindahkan ke Jalan Kartini, tepat di seberang Pura Mangkunegaran, agar para nayaka dalem, sentana, dan abdi dalem tidak perlu berjalan jauh untuk menunaikan salat.
Awalnya, Masjid Al-Wustho hanyalah sebuah ruang salat sederhana, tanpa menara, serambi, atau gapura. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, sekitar tahun 1919, masjid ini mengalami perluasan besar-besaran.
Tak sekadar diperbesar, masjid ini juga mendapatkan sentuhan arsitektur unik, hasil perpaduan budaya Jawa dan Eropa. Seorang arsitek Belanda, Thomas Karsten, terlibat dalam proses perancangannya.
Kejawen khas Jawa tetap dominan, dengan bentuk joglo yang khas, tetapi dipadukan dengan elemen khas Eropa, seperti lengkungan yang menghiasi gapura masjid. Proyek besar ini akhirnya rampung pada tahun 1926, ditandai dengan digelarnya salat Jumat pertama kali di sana.
Perubahan besar belum berhenti di situ. Pada tahun 1949, Masjid Al-Wustho secara resmi diserahkan kepada Negara. Mengutip dari detikjateng (17 November 2023) Nama yang disematkan pun memiliki makna filosofis yang dalam "Al-Wustho" berarti "tengah-tengah." tutur Purwanto, pengurus Masjid Al-Wustho.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY CHALLENGE
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Ketemu di Ramadan hadir kembali. Selain sebagai ajang buka puasa bersama Kompasianer, ada hal seru yang berbeda dari tahun sebelumnya. Penasaran? Tunggu informasi selengkapnya!