Tiga Aksiku Menjaga Alam di Tiga Tempat Wisata Penuh Kenangan
Sudah menjadi sifat natural manusia, jika melihat tempat yang indah, suka lupa pada banyak hal. Seluruh panca indra akan fokus pada apa yang terlihat di depan. Inilah yang sering aku alami terutama ketika ada agenda berwisata ke tempat penuh warna hijau maupun warna biru.
Aku benar-benar lupa; lupa akan masalah, lupa tugas, dan lupa tanggung jawab. Ternyata benar, di saat hormon dopamin mendominasi, perasaan bahagia cenderung meluap-luap. Begitulah kondisinya ketika aku sedang berwisata melihat segarnya pepohonan dan tenangnya lautan.
Merasakan kondisi tersebut adalah hak kita, namun seringkali kita lupa bahwa di samping hak, ada yang namanya kewajiban atau tanggung jawab. Kita punya hak bahagia dengan berwisata namun kita juga punya kewajiban untuk menjaga dan melestarikannya.
Memori di kepalaku kemudian menari-nari menuju tiga kenangan beberapa tahun lalu ketika aku tidak hanya bahagia dan Bangga Berwisata di Indonesia tapi aku juga punya aksi nyata menjaga alam di sekitarnya. Akhirnya aku bisa membagikan kisahku di sini. Berikut kisahku:
Bukit Munara: Tak Sekadar Nanjak, Aku Juga Memungut Sampah
Kenangan pertama ini berada tak jauh dari hiruk pikuk ibu kota, Bukit Munara adalah maksudku. Bukit Munara terletak di Desa Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Sebenarnya aku sedang Kuliah Kerja Nyata waktu itu, dan kebetulan sekali di desa itulah aku dan teman-teman satu tim tinggal dan mengabdi selama sebulan lebih.
Aku cukup beruntung karena KKN di dekat tempat wisata. Akhirnya biar tak sekadar wisata dan KKN, aku dan teman-teman satu tim punya agenda khusus yakni mendaki bukit sekaligus memunguti sampah.
Selama mendaki, kaki ini serasa mau patah apalagi bagi aku yang jarang mendaki. Teman-teman lainnya juga ada yang mengalami seperti apa yang aku alami, namun niat untuk berbuat baik itu memotivasi aku sampai akhirnya aku sampai juga di puncak Munara.
Jakarta terlihat dari puncak Munara. Udara sedang bersih-bersihnya tapi aku tetap saja sedih karena banyak sampah plastik berserakan. Inilah yang aku sebut manusia sering lupa punya kewajiban di samping merasakan hak ketika melihat keindahan alam.
Awal-awal aku sampai puncak juga sempat lupa, namun teman-temanku mengingatkan bahwa tujuan kita bukanlah sekadar berwisata tapi juga bersih-bersih puncak. Kantong sampah plastik berwarna hitam besar sudah ada di tangan, sampah plastik sampai hampir penuh.
Kadang aku berpikir, ini bukan sampahku tapi kenapa aku yang harus capai-capai bawa? Temanku lalu menyadarkanku, jika seluruh wisatawan berpikir sepertiku lantas siapa yang mau sukarela membersihkan puncak bukit. Lagi pula tidak ada ruginya memungut sampah, hitung-hitung olahraga juga.
Suak Gual: Papan Kreasi Ajakan Menjaga Alam
Kenangan kedua datang ketika aku sedang ada tugas sosial kerelawanan selama dua minggu di Bumi Laskar Pelangi. Namanya Suak Gual.
Suak Gual adalah nama desa di sebuah pulau kecil bernama Mendanau, tepatnya di Kecamatan Selat Nasik Kabupaten Belitung. Meski beda pulau dengan Ikal (pemeran utama dalam Laskar Pelangi) namun keindahan alam Suak Gual tidak kalah jauh.
Suak Gual memiliki mercusuar yang mirip dengan mercusuar di Pulau Lengkuas Belitung. Suak Gual juga punya pulau kecil tak berpenghuni, Pulau Piling, yang biasa digunakan buat spot snorkelling ria. Masyarakatnya ramah dan budaya lokalnya masih terus dijaga.
Ketika pemuda sana mengajak berwisata naik kapal menuju Mercusuar Tanjung Lancor dan Pulau Piling, kenapa tidak sekalian membuat papan kreasi. Kedua tempat tersebut belum sepopuler di pulau induk di Belitung, belum ada novel serupa Laskar Pelangi yang secara langsung menceritakan perihal masyarakat Suak Gual atau Pulau Mendanau.
Akhirnya ide membuat papan kreasi disetujui. Aku dan teman-teman satu tim pun dengan gerak cepat berkreasi di atas papan. Setelah jadi, aku dan teman-teman menuju ke Mercusuar Tanjung Lancor dan Pulau Piling untuk menancapkan papan kreasi yang telah dibuat. Tujuannya supaya jika nantinya kedua tempat wisata tersebut sebeken spot dalam Laskar Pelangi, setidaknya wisatawan tidak akan lupa akan kewajibannya untuk tidak meninggalkan secuilpun sampah.
Bungker Kaliadem: Bersepeda untuk Mengurangi Polusi
Kenangan ketigaku ini lebih sederhana ketimbang kedua kenanganku sebelumnya. Bersepeda dengan jalan nanjak ke tempat wisata adalah aksi ketigaku.
Aku terbiasa bersepeda menuju ke berbagai destinasi wisata. Selain untuk mengurangi polusi udara, bersepeda adalah jalan ninjaku untuk terus menerapkan gaya hidup sehat.
Gunung Merapi merupakan salah satu tempat wisata yang pernah aku kunjungi dengan naik sepeda. Bungker Kaliadem merupakan tujuan spesifikku.
Bersepeda di daerah sepanjang Jalan Kaliurang kemudian menanjak tidaklah mudah. Kerap kali napasku naik turun. Aku juga seringkali ingin menyerah. Begitu melihat pesepeda-pesepeda lainnya punya semangat baja, aku ketularan juga. Tren bersepeda ke tempat wisata ini ternyata mengasyikkan juga. Apalagi ketika sudah sampai di tempat yang benar-benar ingin dituju, terasa melegakan.
Begitulah tiga kenanganku, tiga aksi menjaga alam di tiga tempat wisata yang berbeda. Aksiku memang dilakukan dalam skala kecil, namun jika dilakukan dan ditiru oleh banyak orang, tentu ini akan menghasilkan sesuatu yang berdampak besar pula.