Ihdi Bahrun Nafi
Ihdi Bahrun Nafi Administrasi

Just Ordinary Man

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Hujan di Bulan Ramadhan

22 Mei 2018   07:43 Diperbarui: 22 Mei 2018   08:12 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hujan di Bulan Ramadhan
sumber:picjumbo.com

Di ufuk timur, matahari sudah meninggi sedangkan Ari masih tertidur dengan sekelilingnya penuh dengan sampah-sampah . Segala aroma sampah sudah terhirup olehnya, bahkan bajunya pun ikut-ikutan berbau yang sangat menyengat. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali melawan hari  dengan mencari barang-barang bekas , bahkan makanan yang sudah basi. 

Sebentar lagi bulan Ramadhan datang, akan tetapi hidupnya masih demikian. Sepeninggal orang tuanya yang tiada , ia harus mencari sesuap nasi sendiri , seadanya . Akan tetapi, dengan keadaan seperti itu, ia tak kenal lelah menghidupi dirinya sendiri. Bahkan di jalanan yang ramai, ia harus berkejar-kejaran dengan preman yang akan mengambil uangnya. 

Hari demi hari pun berlalu, rutinitasnya pun tetap seperti itu, hingga saat berbuka pun ia lakukan dengan makanan seadanya yang ia peroleh dari hasil mencari barang-barang bekas. Rasa untuk belajar agamanya sangat tinggi, terkadang ia ingin masuk musholla yang disana banyak anak mengaji, akan tetapi ia tak punya lagi pakaian yang layak untuk masuk.  Meski seperti itu ia  berpuasa di bulan Ramadhan.

Hingga suatu saat mendung dan hujan lebat, ia tak tahu harus kemana. Kalau ia kembali ke tempat tidurnya seperti biasanya, ia akan basah kuyup dan kembali tidur dengan segala aroma sampah yang tak jauh darinya. Ia masih berjalan sampai menemukan musholla yang sering ia kunjungi. Sesampainya di musholla, adzan berkumandang dan perutnya mulai keroncongan. 

Waktu itu di musholla diadakan buka bersama, ia hanya memandang dari jauh . Ia khawatir mendekat , karena sudah basah kuyup dengan pakaian kotornya. Melihat seseorang anak sedang kehujanan dan melihat ke arah musholla, seorang takmir masijid memberikannya sebungkus nasi dan disuruhlah ia berteduh. Setelah selesai makan, ia pun ditanyai oleh orang-orang masjid asal muasalnya dan hidup dimana. 

Mendengar penuturan yang panjang lebar, salah satu diantara mereka menyuruhnya mandi dan membersihkan seluruh badannya. Ari pun senang, karena ada yang masih peduli padanya. Hingga beberapa waktu lamanya, ia membantu musholla dan mengikuti beberapa kegiatan di dalamnya.

Lain Ari lain Riza, ia anak seorang yang mampu secara materi. Ayah ibunya pun memiliki harta berlimpah. Meski begitu , mereka tidak lupa dengan pendidikan anaknya. Disekolahkanya Riza di sekolah favorit sampai tak lupa dengan memondokkannya di pesantren yang cukup jauh dari rumahnya. Awalnya ia masih mengikuti perintah orang tuanya, setelah beberapa tahun  ia mulai bosan. ia mulai tidak suka ketika sudah pulang dari pesantren dan kembali ke sana. 

Kedua orang tuanya  bingung, padahal sudah tahun kedua anaknya nyantri . Tentunya dengan keadaan seperti itu, ia sudah betah untuk tinggal. Setelah dinasihati beberapa kali, ia patuh dan kembali ke pesantren dan sekolah hingga SMA nya selesai.

Setelah selesai SMA ia sudah keluar dari Pesantren, ia pun senang dan merasa bebas. Setelah di rumah, bukannya malah melanjutkan ke pendidikan tinggi atau bekerja. Ia malah sering keluar rumah bersama kawan-kawannya, bahkan hingga larut malam ia pulang dengan sempoyongan. 

Orang tuanya mulai khawatir dengan keadaan anaknya tersebut, dengan segala cara mereka lakukan mulai dari memanggil guru privat keagamaan hingga mengunci rapat-rapat pintu rumah bila mereka keluar, akan tetapi usaha mereka gagal. Ia selalu pulang dengan nada meninggi , meski kadang-kadang dengan lemah lembut ia berpamitan keluar kepada orang tuanya.

Setelah sampai berlarut-larut malam, ia tak juga kembali hingga ditemukan para warga dalam keadaan babak belur dan sempoyongan. Ia terkulai lemah di kamarnya dan dirawat selama berhari-hari dan tak berpuasa selama itu. Selama orang tuanya keluar, ia dikunci dalam kamarnya. Kunci kamar tersebut dititipkan kepada pembantunya, namun dengan siasatnya ia bisa keluar bebas hingga malam pun datang dengan mendungnya.

Malam itu.... ia terlibat perselisihan. Dengan keadaan sempoyongan, ia mencari perkara kepada preman-preman di malam itu. Beberapa preman-preman tidak mengindahkan kata-kata yang keluar dari anak muda yang mabuk itu, akan tetapi lama-kelamaan mereka pun kesal hingga menghunjamkan tinju ke perutnya dan ia terkapar sudah.

Hujan pun deras, dan luka-luka memar di tubuhnya membuat jalan pulang semakin berat. Ia pingsan kembali di depan musholla, melihat hal itu Ari lalu mengambil payung dan mencoba melakukan pertolongan. Hujan pun masih meninggalkan jejaknya hingga rintik-rintik kecil pada waktu sahur. Riza dibangunkan di dalam kamar Ari dan memberikannya makanan. 

Ari lalu mengajaknya sahur dan menceritakan beberapa hal kepadanya yang mungkin bisa jadi pelajaran. Riza pun menangis dan memeluk Ari dan menyatakan ia takkan pulang hingga beberapa hari ke depan sambil memulihkan tenaganya.

Hari berganti hari, kedua orang tua Riza cemas. Bahkan mereka sudah melapor kepada RT setempat serta kepada pihak yang berwajib , mengingat ia tak pulang beberapa hari. Beberapa warga lalu berdatangan dan menyampaikan rasa prihatinnya kepada mereka. Namun suatu hari pak Salman datang dan memberi kabar bahwasanya ia mendapat kabar bahwa preman yang beberapa kali terlihat bersama Riza telah ditangkap oleh kepolisian. 

Mendengar kabar itu, mereka langsung berangkat menuju kantor polisi dan menanyakan beberapa hal yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Setelah berjam-jam mereka disana, tidak ditemukan petunjuk apapun hingga waktu beranjak sore. Mereka pulang mengendarai mobil dan berhenti di musholla yang ditempati Ari untuk menunaikan sholat Ashar. 

Sebelum masuk ruang utama, mereka bertemu Ari dan mengucapkan salam. Ketika akan memasuki tempat Wudhu, ayah Riza melihat seseorang yang sepertinya ia kenal. Dan ternyata benar, ia adalah Riza anaknya yang dicari selama ini yang sedang membersihkan tempat wudhu. Air mata ayahnya menetes dan mengucap syukur.

Ayahnya pun memasuki ruang utama dengan berurai air mata, ibunya yang melihat hal itu menanyakan apa sebabnya. Setelah ayahnya bercerita panjang lebar, ibunya pun menangis dan mencari anaknya tersebut . Ia langsung memeluk Riza dengan berurai air mata. Ari pun tersenyum senang.

Setelah sholat Ashar selesai , mereka berempat berbincang-bincang hal kecil. Ayah dan ibu Riza lalu berpamitan kepada Ari . Akan tetapi , Riza mencegah dan mengajaknya untuk pulang bersama dan menjadi adik angkatnya. Ari tersenyum gembira, dan mengiyakan. Mereka pun pulang diiringi hujan yang mulai datang dengan rintiknya dan menjalani berbuka yang beberapa jam lagi akan ditunaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun