Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Dosen

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Ingin Wisata Alam Membekas? Yuk, Ikuti Prinsip Lampu Lalu Lintas

17 April 2023   23:56 Diperbarui: 17 April 2023   23:59 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ingin Wisata Alam Membekas? Yuk, Ikuti Prinsip Lampu Lalu Lintas
Yuk, bersama menjadi wisatawan yang peduli lingkungan (Ilustrasi: Destination International)

Pantai di Kalimantan Timur dan sawah di Jawa Tengah menjadi dua lokasi wisata alam semasa saya masih berusia TK dulu karena kami sekeluarga pernah tinggal di kedua propinsi itu. Sampai sekarang, kenangan manis bermain pasir pantai dan menyusuri pematang sawah masih melekat di kepala.

Hasil survei Kurious dari Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan,
wisata pantai dan laut pada akhir tahun menempati peringkat juara  sebagai destinasi terfavorit warga Indonesia sebanyak 48,6%. Lalu, peringkat kedua destinasi wisata akhir tahun yang paling disukai masyarakat sebesar 37,7% ditempati pegunungan dan hutan.

Temuan tersebut membuktikan  bahwa wisata alam di Indonesia jelas sangat potensial. Sayangnya, tak sedikit turis lokal dan juga asing yang kurang atau bahkan tidak peduli dengan kelestarian alam dari lokasi wisata yang mereka datangi.

Kita masih ingat, belum lama ini ada seorang petani yang juga pemilik kebun bunga edelweis yang kecewa berat dan marah besar  karena kebunnya di Ranca Upas, Ciwidey Bandung tersebut digilas oleh ban dari komunitas motor trail yang sedang menggelar event di sana. Padahal, bunga edelweis tersebut langka dan hanya ada di dua tempat di Indonesia yaitu di Ranca Upas dan Danau Ciharus.

Untuk mengatasinya, kita dapat menerapkan 'prinsip lampu lalu lintas' yang terdiri atas tiga warna saat sedang traveling, khususnya dsi obyek wisata alam. Semoga hal ini dapat menjaga kelestarian alam agar kita senantiasa 'bangga berwisata di Indonesia', sepakat ya?

Pulau Sempu ini cukup dilihat dari jauh saja ya (Ilustrasi: Wikipedia) 
Pulau Sempu ini cukup dilihat dari jauh saja ya (Ilustrasi: Wikipedia) 


Lampu Merah: Biarkan alam tetap indah tak terjamah

Ketika berwisata ke Goa Pindul di Yogyakarta, pemandu wisatanya sudah mewanti-wanti kami dari awal untuk tidak (diam-diam) mengambil bebatuan apapun dari dalam gua demi keselamatan bersama. Syukurlah, rombongan tim kami semua mematuhinya.

Layaknya lampu merah yang sudah jelas sebagai penanda berhenti total, kita juga harus menghormati adat istiadat pada suatu obyek  wisata, tak terkecuali di lokasi alamnya. Larangan itu dibuat agar keindahan suatu tempat dapat terus dinikmati dari generasi ke generasi sehingga menjadi wisata yang berkelanjutan di masa depan.

Kita pastinya tak ingin keegoisan masa kini sampai merampas peluang kebahagiaan dan kesempatan generasi penerus nanti. Contohnya, Pulau Sempu di Jawa Timur yang tidak lagi dibuka untuk masyarakat umum untuk berwisata karena fungsi utamanya sejak tahun 1928 yaitu sebagai cagar alam dan lokasi konservasi sehingga hanya dapat dikunjungi untuk kegiatan penelitian dan pendidikan seputar lingkungan.

Contoh lainnya yaitu pada suku Baduy Dalam di Lebak Banten yang daerahnya tak boleh sembarangan dimasuki orang luar. Larangan membawa alat elektronik dan juga mengambil gambar selama berada di kawasan Baduy Dalam juga tak boleh dipandang sebelah mata lho!

Jangan merusak alam atas nama kesenangan (Okezone)
Jangan merusak alam atas nama kesenangan (Okezone)

Lampu Kuning: Perhatikan saat alam telah memberi warning

Ketika menyusuri Sungai Oyo atau Oya di Yogyakarta setelah dari Goa Pindul, sang tour guide bercerita bahwa jika arus sungai meluap, turis langsung dilarang untuk masuk. Meskipun sudah membayar, pengelola wisata di sana lebih memilih untuk mengembalikan uang wisatawan daripada menanggung bahaya.

Tak heran kan, banyak rambu peringatan di sekitar lokasi wisata alam demi keselamatan sang wisatawan itu sendiri. Adik sepupu saya yang hobi naik gunung berkisah, jika mereka sampai waktu Ashar atau sekitar jam 3-4 sore belum menemukan lokasi yang dituju di gunung atau hutan, tanpa ragu mereka langsung memilih untuk segera turun dan kembali ke permukiman warga terdekat yang ada agar tak tersesat pada malam hari di tempat asing yang sunyi.

Kehadiran penduduk atau warga lokal yang dapat memandu kita selama berwisata alam di suatu daerah juga pastinya sangat membantu. Mereka telah mengenal daerah itu sejak mereka lahir sehingga panca indera mereka (jauh) lebih peka terhadap perubahan, bahkan sekecil apapun, di sekitarnya yang mungkin sering tak disadari oleh para pelancong.

Meskipun wisatawan telah dibekali peralatan navigasi secanggih dan semodern apapun, setiap alat (buatan manusia) pasti memiliki keterbatasan. Setipe dengan lampu kuning yang meminta kita untuk berhati-hati, di saat inilah, kerendahan hati seseorang dalam mengakui kehebatan Tuhan Yang Maha Esa dalam menciptakan alam yang luar biasa kompleks pun diuji.  

Lampu Hijau: Lestarikan alam agar terus unik berkilau 

Pengalaman saya saat berwisata  ke kebun teh di Puncak Bogor jelas lebih rileks karena kontur alamnya memang cocok untuk wisata keluarga. Meskipun begitu, turis tetap diingatkan untuk tak (kalap) memetik daun teh maupun hamparan bunga cantik yang ada.

Begitu pula saat berlibur ke Kebun Raya Bogor, pelancong harus dapat menahan diri untuk tak membuang sampah sembarangan, terutama di bawah pohon yang jauh dari keramaian. Walaupun ada sejumlah petugas kebersihan di setiap destinasi wisata, tentunya tak pantas jika wisatawan main asal buang sampah di sepanjang jalan.

Saya pun kini semakin memahami ketika ada denda dan hukuman yang diberlakukan untuk turis yang melanggar peraturan. Lampu hijau memang mengizinkan kendaraan untuk berjalan, tapi kecepatannya tentu tetap tak boleh kebut-kebutan.

Jadi jika ada lokasi wisata yang menawarkan program pelestarian lingkungan berupa donasi maupun penanaman bibit tanaman, mari segera kita ikuti dengan sepenuh hati. Kita sekarang mungkin tak menikmati manfaatnya langsung, namun kita telah mewariskan Bumi yang hijau di masa mendatang.

Mari hormati budaya lokal seperti halnya di suku Baduy (Kompas TV)
Mari hormati budaya lokal seperti halnya di suku Baduy (Kompas TV)

Berwisata memang menyegarkan pikiran, khususnya pada ribuan destinasi wisata alam yang luar biasa unik dan menariknya di Indonesia. Selain traveling, mari pastikan pula kita tetap menjaga dan merawat lingkungannya demi planet Bumi agar terus lestari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun