Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Penulis

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Amsal Selotip Nastar dan Makna Lebaran

23 April 2023   11:06 Diperbarui: 24 April 2023   01:21 2815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amsal Selotip Nastar dan Makna Lebaran
Memaknai Lebaran dari selotip kue nastar. (sumber: iStockphoto/Tita Amelia)

Seorang ibu yang menyiapkan kue Lebaran pasti tahu bagaimana sulitnya membuka selotip nastar. Tuan rumah yang menghidangkan sajian halalbihalal kepada handai taulan pasti paham bagaimana sukarnya menguliti selotip nastar.

Saya berani bertaruh, Anda pasti sering merasa jengkel saat membuka selotip nastar. Mulai dari meraba-raba mencari ujung selotip, hingga mengulitinya dengan kuku.

Kalau sudah ketemu ujungnya pun bukan berarti persoalan berakhir sampai di situ. Ketika dikuliti, seringkali selotip nastar putus di tengah jalan. Dan Anda harus mengulangi seluruh prosesnya dari awal.

Hari ini saya merasakan kesulitan dan kesukaran itu. Dihadiahi kue nastar oleh Ibu, butuh waktu sepuluh menit untuk membuka selotipnya. Butuh waktu sepuluh menit sebelum lidah saya merasakan kelezatan manis-asam nastar dari Ibu.

Lalu, iseng-iseng, saya berpikir. Upaya kita membuka selotip nastar sejatinya punya makna serupa dengan nilai-nilai Lebaran. Kesamaan itu saya kerucutkan dalam tiga ihwal. Penasaran?

Pertama: Kita Perlu Bersabar

Lebaran memang bisa dirayakan oleh siapa saja. Yang tidak berpuasa, tidak dilarang merayakan Lebaran. Yang puasanya bolong-bolong, tidak dilarang meramaikan Idulfitri.

Akan tetapi, kemenangan hakiki saat ber-Lebaran hanya bisa didapatkan oleh mereka yang menjalankan ibadah Ramadan dengan sungguh-sungguh. Oleh mereka yang sibuk memanfaatkan peluang yang diberikan Sang Maha Pencipta untuk meraih ampunan.

Kembali kepada kesucian. Itulah makna besar yang terkandung dalam Idulfitri. Hari Kemenangan bagi umat manusia yang berhasil melewati ujian berupa taat terhadap perintah agama selama sebulan penuh.

Ujian berpuasa tidak mudah, Kawan. Apalagi salat malam dan rutin membaca Al-Quran. Oleh sebab itu, kata Nabi, resepnya hanya satu: sabar. Jika kita menjalani semua ujian Ramadan tadi dengan penuh kesabaran, tentu makna kemenangan akan kita peroleh saat Lebaran.

Begitu pula dengan ujian membuka selotip nastar. Mencari ujung selotip nastar butuh rasa sabar. Kadang-kadang, malah perlu dua-tiga putaran meraba-raba untuk bisa bertemu ujung selotip.

Menguliti selotip nastar juga perlu kesabaran. Jika tidak pelan-pelan, nanti bisa putus di tengah jalan. Rasanya seperti diberi harapan palsu. Sudah senang-senang ketemu ujung selotip, eh, malah putus karena terlalu kencang menarik.

Tatkala proses membuka selotip nastar yang butuh kesabaran itu sudah berhasil kita lewati, barulah kita bisa meraih kemenangan. Yakni kemenangan kecil berupa merasakan nikmatnya sajian kue nastar.

Kedua: Sarana Melatih Diri

Nabi pernah bersabda, musuh terbesar manusia adalah hawa nafsu. Peperangan terbesar manusia adalah memerangi hawa nafsu. Oleh karena itu, puasa merupakan sarana melatih diri melawan hawa nafsu.

Selama sebulan penuh kita digembleng. Selama sebulan penuh kita diwajibkan tidak makan dan minum sepanjang hari. Selama sebulan penuh pula kita menahan emosi. Yang berhasil lulus ujian, hadiahnya bukan main. Ampunan dari Sang Mahakuasa.

Kata kuncinya membiasakan diri. Pada hari-hari pertama, puasa akan terasa berat. Terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa berpuasa. Tubuh seakan kurang bertenaga. Badan terasa kurang bersemangat.

Tapi begitu dilalui, nyatanya kita bisa. Lambat laun tubuh akan terbiasa. Yang semula kurang bergairah, lama-lama jadi biasa saja. Kapasitas perut yang tadinya besar, seakan menciut setelah melewati tiga hingga lima hari berpuasa.

Itu bisa kita lihat dari perbedaan jumlah makanan yang disantap saat berbuka. Pada hari-hari awal, untuk berbuka, rasanya ingin melahap apa saja. Mulai dari gorengan, teh manis, es campur, hingga seporsi nasi ayam.

Semakin ke sini, jumlah makanan berbuka semakin sedikit. Untuk berbuka, tiga butir kurma dan segelas teh manis panas seakan sudah cukup. Sudah kenyang. Sudah wareg. Itu buah dari melawan hawa nafsu ketika berpuasa.

Pelatihan melawan hawa nafsu yang kita lakukan selama berpuasa kemudian diganjar oleh Lebaran. Pada Hari Kemenangan, tidak boleh ada satu pun umat muslim di dunia yang berpuasa. Tidak ada satu pun seorang manusia yang boleh berpuasa.

Itu hadiah tak ternilai dari Tuhan kepada umat manusia. Seakan Tuhan hendak memberikan apresiasi kepada ciptaan-Nya yang telah bersusah-payah menahan hawa nafsu selama bulan Ramadan.

Nilai-nilai menahan hawa nafsu selama berpuasa bisa kita temui saat membuka selotip kue nastar. (sumber: Pixabay/shirleysavitri)
Nilai-nilai menahan hawa nafsu selama berpuasa bisa kita temui saat membuka selotip kue nastar. (sumber: Pixabay/shirleysavitri)

Nilai-nilai melatih diri melawan hawa nafsu selama berpuasa juga tercermin dari upaya membuka selotip nastar. Toples pertama akan terasa sulit. Akan tetapi, usai toples perdana, membuka toples-toples nastar berikutnya akan terasa lebih ringan.

Bahkan kalau kita kreatif, membuka selotip nastar tidak perlu utuh. Cukup sebagian hingga rekatan terasa renggang, kita bisa membuka paksa selotip nastar tanpa merusak isinya. Pernah, kan?

Kita juga bisa menggunakan alat bantu untuk menguliti selotip nastar. Pisau, misalnya. Namun demikian, kita tetap perlu berhati-hati. Sebab tanpa kehati-hatian tinggi, risiko jari tersayat semakin besar.

Dan ketika selotip nastar berhasil dibuka, sama seperti Lebaran, kita akan memperoleh hadiahnya. Yaitu berupa kenikmatan kue nastar yang bebas kita santap saat Lebaran tanpa ada kewajiban berpuasa.

Ketiga: Menjaga Kesucian

Pernah terpikir tidak? Mengapa nastar dibungkus dengan selotip? Padahal kue nastar sudah memiliki kotak khusus. Kenapa tidak disamakan dengan kaleng rengginang? Yang bisa dibuka-tutup tanpa menggunakan selotip?

Usut punya usut, selotip yang digunakan pada kue nastar berfungsi untuk menjaga daya tahan kue nastar. Dengan selotip, nastar tidak cepat lembab dan tidak mudah tumpah ketika dijinjing atau dibawa.

Dengan kata lain, kesucian nastar kian terjaga dengan rekatan selotip. Serupa dengan manusia yang kesuciannya terjaga saat Lebaran setelah berpuasa Ramadan selama sebulan penuh.

Di antara makna yang terkandung dalam selotip nastar adalah menjaga kesucian. (sumber: Freepik/topntp26)
Di antara makna yang terkandung dalam selotip nastar adalah menjaga kesucian. (sumber: Freepik/topntp26)

Puasa ibarat selotip nastar. Hawa nafsu dalam diri ditutup dan dibentengi dengan ibadah puasa. Supaya kemurnian hati terjaga. Supaya kita jadi makhluk yang pandai mengendalikan hawa nafsu.

Semakin rekat balutan selotipnya, semakin terjaga pula isi nastarnya. Semakin sempurna kita menjalankan ibadah puasa, semakin terpelihara pula hawa nafsu dan kesucian diri di dalam jiwa.

Sehingga ketika benteng bernama puasa itu dibuka saat Lebaran tiba, kita sudah berubah menjadi manusia yang pandai mengendalikan hawa nafsu. Pola pikir kita telah berganti dari semula mementingkan diri sendiri, menjadi bermanfaat bagi orang banyak.

Orang yang benar-benar menjalan ibadah puasa Ramadan selama sebulan penuh, tentu pandai mengendalikan hawa nafsu. Tidak lagi diumbar, melainkan disalurkan pada perilaku yang bernilai positif. Pada tindakan yang punya manfaat bagi orang banyak.

Maka pertanyaan terbesarnya, sudahkah kita memaknai amsal selotip nastar dengan benar?

Saya pribadi berdoa, semoga setiap orang yang membaca artikel ini termasuk ke dalam barisan orang-orang yang disucikan kembali. Dan semoga kita panjang umur dan dipertemukan kembali dengan Ramadan berikutnya.

Selamat ber-Lebaran. Mohon maaf lahir dan batin. [Adhi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun