Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Penulis

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Sehat Finansial Tanpa Pinjol Ilegal

19 Maret 2024   22:53 Diperbarui: 19 Maret 2024   22:56 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sehat Finansial Tanpa Pinjol Ilegal
Finansial jauh lebih sehat tanpa jeratan pinjol ilegal. Sumber: Pixabay/Pexels

Saya tergelitik dengan pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini. Lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan itu memprediksi pertumbuhan utang pinjol akan naik saat Ramadan dan Idulfitri 2024.

Angkanya tidak main-main. Pertumbuhan utang pada perusahaan peer to peer (P2P) lending diprakirakan mencapai 11 hingga 13 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Kabarnya, fenomena itu dipicu peningkatan permintaan kebutuhan masyarakat selama bulan puasa.

OJK juga meminta perusahaan pembiayaan supaya berhati-hati dalam memberikan kredit demi menghindari risiko gagal bayar. Bagaimanapun, peningkatan kebutuhan selama Ramadan biasanya lebih dipicu oleh perkara kebutuhan yang bersifat konsumtif, alih-alih produktif.

Jika diurai lebih lanjut, daftar kebutuhan konsumtif itu memang terbilang cukup panjang. Mulai dari makanan dan minuman, pakaian, barang-barang kebutuhan pribadi (personal care), hingga tiket transportasi untuk mudik lebaran.

Lebih-lebih, konsumen dewasa ini begitu dimanjakan dengan berbagai kemudahan dalam mengakses pinjaman. Yang paling viral ialah buy now pay later alias beli sekarang bayar entar. Jika gagal menguasai hawa nafsu, konsumen rentan terserang penyakit gemar berutang.

Darurat Pinjol

Ibarat pepatah "pucuk di cinta ulam pun tiba", kebiasaan buruk gemar berutang disambut hangat oleh para pelaku pinjol ilegal. Aspek psikologis konsumen saat Ramadan yang serba butuh itu dimanfaatkan oleh para rentenir modern untuk mencekik mangsanya.

Beribu jurus rayuan dan berjuta promosi menggiurkan digencarkan demi mengisap pundi-pundi finansial korban. Sayang seribu sayang, banyak pengamat menduga pertumbuhan bisnis pinjol ilegal justru lebih pesat ketimbang pinjol resmi atau legal.

Kabarnya, hanya 3 persen pinjol yang beroperasi di Indonesia merupakan pinjol resmi. Ditambah tingkat literasi keuangan Indonesia yang baru mencapai 69,7 dari skala maksimal 100 pada 2023, pintu masuk pinjol ilegal seperti kian terbuka.

Padahal, kasus intimidasi dan penipuan akibat tagihan pinjol ilegal marak terjadi. Jika gagal bayar, harga diri konsumen rentan dipermalukan. Mulai dari makian penagih utang hingga akses ilegal kepada data-data pribadi yang bersifat sensitif menjadi risiko yang harus ditanggung konsumen saat terbujuk rayuan maut pinjol ilegal.

Pinjol ilegal menjerat keuangan konsumen. Sumber: Pixabay/stevepb
Pinjol ilegal menjerat keuangan konsumen. Sumber: Pixabay/stevepb

Terkini, kasus satu keluarga bunuh diri di Penjaringan, Jakarta Utara yang diduga akibat terlilit utang pinjol membuat bulu kuduk kita berdiri. Meskipun hingga saat ini penyebab pastinya masih didalami pihak berwajib, hal itu seyogianya menjadi catatan yang perlu kita renungi bersama.

Uniknya, semua itu tidak menyurutkan minat masyarakat dalam mengakses pinjol ilegal. Pada umumnya, ketidaktahuan soal risiko finansial dan hukum yang timbul dari transaksi dengan lembaga ilegal menjadi faktor utama mengapa pinjol ilegal tetap tumbuh subur.

Di samping itu, penyebaran penawaran melalui pesan singkat bernuansa social engineering menjadi taktik umum yang masih akan terus digunakan oleh pelaku pinjol ilegal. Pesan tersebut umumnya berisi iming-iming pinjaman yang mudah dan cepat, memanfaatkan kebutuhan mendesak masyarakat saat bulan puasa.

Skema-skema tadi menjadi daya tarik yang begitu kuat. Kendati di ujung akan menimbulkan risiko dan potensi kerugian bagi para debitur, magnet pinjol ilegal begitu kuat sampai-sampai ada yang bilang bahwa jangan-jangan negara kita sebenarnya sudah berstatus darurat pinjol.

Bijak Finansial

Melindungi masyarakat sudah menjadi tugas negara, termasuk melindungi masyarakat dari dampak buruk pinjol. Sebenarnya, lewat Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PAKI) telah menghentikan aktivitas pinjol ilegal.

Sejak 2017 hingga awal September 2023, Satgas PAKI telah menyetop sedikitnya 7.200 entitas keuangan ilegal yang terdiri dari 1.196 entitas investasi ilegal, 5.753 entintas pinjol ilegal, dan 251 entitas gadai ilegal.

Satgas PAKI sendiri merupakan forum koordinasi yang melaksanakan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang bertugas mencegah dan menangani kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan.

Hanya saja, upaya itu perlu dibarengi dengan peningkatan kesadaran diri kita akan bahaya pinjol ilegal. Lebih dari itu, kearifan diri dalam memilih dan memilah mana yang termasuk "kebutuhan" dan mana yang berada di barisan "keinginan" menjadi faktor penting dalam membentengi kita dari segala risiko finansial.

Percayalah, Kawan, legal ataupun tidak, setiap utang pasti memiliki risiko gagal bayar. Yang paling penting adalah meluruskan cara pandang kita terhadap konsep berutang itu sendiri.

Utang terjadi lantaran kondisi "besar pasak daripada tiang". Dengan kata lain, pemasukan atau penghasilan yang kita miliki tidak cukup untuk menutupi pengeluaran atau biaya yang kita keluarkan.

Oleh sebab itu, seseorang yang mempraktikkan prinsip bijak finansial akan selalu menghindari kondisi tersebut. Caranya cuma ada dua: meningkatkan pendapatan, atau menekan pengeluaran. Tidak ada jalan lain.

Di antara kedua cara tadi, berdasarkan pengalaman pribadi yang telah saya bagikan lewat artikel bertajuk "Setahun Bebas Utang, Apa Rasanya?", cara kedua alias menekan pengeluaran akan selalu jauh lebih mudah ditempuh ketimbang cara pertama. Resepnya sederhana: selalu mencatat segala biaya yang kita keluarkan.

Dari catatan tadi, kita akan memperoleh riwayat keuangan pribadi. Sekarang, pilah dengan seksama dan ekstra hati-hati. Di antara pengeluaran tadi, mana yang bersifat kebutuhan, mana yang bersifat keinginan.

Mencatat pengeluaran bagian dari prinsip bijak finansial. Sumber: Pixabay/TheDigitalWay
Mencatat pengeluaran bagian dari prinsip bijak finansial. Sumber: Pixabay/TheDigitalWay

Yang perlu kita reduksi besar-besaran adalah pengeluaran yang bersifat keinginan. Pada umumnya, biaya-biaya ini berisi daftar ke-BM-an kita akan sesuatu. Tanpa itu semua, percayalah, kita bisa melanjutkan hidup dan aktivitas sehari-hari.

Mula-mula memang terasa sulit. Tapi yakinkan dalam hati, dengan bersungguh-sungguh dan determinasi tinggi, lambat laun kita akan terbiasa menekan pengeluaran dan terhindar dari jeratan utang.

Ada rumus sederhana yang bisa kita praktikkan saat menekan pengeluaran. Jika tertarik membeli suatu barang, tahan dulu selama tujuh hari. Jika barang masuk ke dalam barisan "keinginan", biasanya hasrat membeli akan surut.

Dengan kata lain, menunda keinginan. Boleh-boleh saja membeli barang yang diinginkan, asalkan dana di tabungan sudah mencukupi. Jangan sebaliknya, beli sekarang bayarnya gimana entar.

Lagipula, Ramadan menjadi ujian bagi kita untuk menahan hawa nafsu. Keinginan membeli barang atau jasa di luar kemampuan adalah salah satu hawa nafsu yang perlu dilawan.

Sebaliknya, jadikan Ramadan sebagai momentum untuk menyehatkan kemampuan finansial. Biaya makan sudah pasti berkurang, dan sisanya bisa ditabung untuk memenuhi kebutuhan masa depan.

Jika prinsip ini sudah merasuk ke dalam jiwa, percayalah, semenggiurkan apa pun tawaran pinjol di luar sana, semuanya tidak akan ngefek atau mempengaruhi keputusan kita.

Sebab kita paham, alih-alih berutang, menabung adalah jalan ninja untuk mewujudkan keinginan. Seperti yang Bu Guru ajarkan saat kita sekolah dulu. Setuju? [Adhi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun