Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com
Manajemen Kecewa, Manajemen Iman, dan Manajemen Sehat untuk Hidup yang Lebih Baik
Bijaksana mengelola rasa kecewa telah menjadi gaya hidup sehat baruku saat ini, khususnya semenjak dilanda pandemi. Dan benar saja, bersandar pada penelitian yang digagas oleh Helene Tzieropoulos dkk, hadirnya rasa kecewa bakal menurunkan ekspektasi yang kemarin sudah dirangkai secara sistematis.
Pernahkah dirimu tertimpa kecewa hingga lahir perasaan bahwa hati ini dipenuhi oleh emosi jahat yang bertumpah ruah?
Jika pernah, atau bahkan sering, maka izinkan aku mengucapkan selamat. Terang saja, kecewa itu normal, terlebih lagi bagi kita yang menyandarkan harapan kepada manusia. Makin sering kita bersandar kepada manusia, makin sering pula kita kecewa.
Tapi, yang rasanya kurang normal adalah situasi ketika dirimu maupun diriku terlampau sering menumpuk kekecewaan hingga membiarkannya menggunung memenuhi kediaman hati.
Sederhananya, kamu kecewa kepadaku, namun tidak kamu ungkapkan secara terang. Sedangkan aku tidak mengetahuinya. Coba, bagaimana rasanya? Kesal, kan? Acieeeee. Kamu belum kenal kepadaku saja sudah kesal begitu. Sabar, Dek. Eh.
Manajemen Kecewa
Okeh, kita fokus ya. Kembali melirik penelitian dengan judul The Impact of Disappointment in Decision Making: Inter-Individual Differences and Electrical Neuroimaging, ternyata kekecewaan itu berhubungan erat dengan pengkhianatan, kemarahan, hingga penyesalan.
Dalam kehidupan sehari-hari, gaya hidup yang sering menabur kekecewaan sungguh merugikan. Bagaimana tidak, selain mematahkan harapan bin ekspetasi sendiri, kekecewaan bisa membuat kita berprasangka buruk, iri, hingga dengki dengan rezeki orang lain.
Orang lain dapat BSU, eh, kita yang tidak dapat malah kecewa, kemudian iri dan berakhir dengan saling sindir. Program kerja organisasi jadi berantakan gegara pandemi, eh, atasan jadi kecewa gara-gara kerja para karyawannya terbatas. Ujung-ujungnya, pangkas gaji. Ehem.
Sedih, kan? Sejatinya asal mula kekecewaan tersebut hanya satu, yaitu kita yang terlalu berharap kepada manusia. Gara-gara bertemu orang baik, kita ingin sering ditolong olehnya. Tapi ketika orang baik tadi pergi? Yaaaaah, kecewa lagi. Jikalau terus kecewa, kita bakal sakit hati.
Alhasil, rasanya kita perlu mengelola rasa kecewa. Perlu ada manajemen kecewa, dan salah satunya adalah kita jangan terlalu mengandalkan dan berharap kepada orang lain.
Terang saja, hati manusia itu seperti lagu pengiring serial Doraemon; "Aku ingin begini, Aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali," alias mudah terbolak-balik sebagaimana kalam Nabi:
"Sungguh, hati manusia itu lebih mudah terbolak-balik daripada air dalam bejana yang telah mendidih." Hadis Riwayat Muslim no. 24317
Jadi, pada akhirnya terlalu berharap kepada orang lain itu bakal membuat diri sakit, kan? Maka dari itu, jangan sampai kita menjadikan kecewa sebagai gaya hidup. Jujur saja, hidup ini tidak akan menjadi lebih baik jikalau diri terlalu sibuk kecewa dan bergantung kepada orang lain.
Manajemen Iman
Mengapa aku meletakkan manajemen kecewa pada poin pertama?
Aku sengaja, karena sejatinya beriman itu harus tulus tanpa perlu embel-embel modus.
Rumus iman yang sehat adalah total bergantung hanya kepada Allah SWT. Jadi, intinya adalah, bagaimana bisa diri ini menggapai lurusnya iman jikalau modusnya masih bengkok kepada makhluk.
Oke, rumus mendasar dari manajemen iman telah didapat. Sekarang kita belajar sebentar dari Kisah Abu Qilabah, seorang sahabat Ibnu Abbas sekaligus sahabat Rasulullah yang menjadikan sabar dan syukur sebagai gaya hidup. MasyaAllah, keren paket banget, kan? Pastinya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, suatu hari Abdullah bin Muhammad mendatangi sebuah kemah yang dihuni oleh laki-laki miskin.
Kondisi laki-laki ini, tangan dan kakinya buntung, telinganya sukar dalam mendengar, matanya buta, serta tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara. Dialah Abu Qilabah.
Meski begitu, beliau tetap memiliki harta yang sangat berharga, yaitu syukur. Abu Qilabah dengan gembira mengatakan:
"Tidakkah engkau melihat Allah telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berdzikir dan bersyukur."
MasyaAllah, ternyata salah satu manajemen iman terbaik adalah dengan menjadikan sabar dan syukur sebagai gaya hidup. Belajar dari Abu Qilabah, sejatinya kekurangan atas fisik tidak menjadi alasan bagi kita untuk pelit bersyukur.
Padahal, kalaulah kita bayangkan secara logika, banyaknya kekurangan atas diri bakal melahirkan segunung kekecewaan. Hemm. Kalaulah sedari awal tidak menerapkan rumus total bergantung hanya kepada Allah, niscaya diri ini bakal menjadi orang yang kufur.
Nah, adapun implementasi manajemen iman bab syukur yang sedang aku usahakan menjadi #MyNewHealthyLifestyle saat ini ialah dengan membagi penghasilan sebesar minimal 10% untuk sedekah sewaktu baru gajian.
Mengapa tidak menunggu sisa kebutuhan saja? Aih, jujur deh. Kalau kita menunggu sisa penghasilan baru kemudian memanfaatkannya sebagai sedekah, niscaya hal tersebut akan sulit terwujud. Mengapa?
Namanya juga manusia, dan manusia itu sering khilaf terlebih lagi saat pegang duit. Matanya jadi lapar, tangannya jadi gatal, dan telinganya mungkin sering kepanasan gegara diteriaki oleh ATM supaya cepat-cepat menarik uang untuk jajan. Huuuh!
Percayalah. Dengan manajemen iman yang lurus nan mantap, hidup kita bakal lebih baik dan juga sehat. Sehat karena lapangnya hati.
Manajemen Sehat
Hati sudah lapang, kekecewaan sudah sirna, perasaan sudah tenang, dan sekarang saatnya kita berkisah tentang kesehatan.
Lho, mengapa sedari awal yang dibicarakan adalah tentang hati dan perasaan terlebih dahulu? Sejatinya sumber utama motivasi seseorang adalah hati sebagaimana yang juga diterangkan dalam hadis Nabi. Jadi?
Percuma kita bicara sehat secara fisik jikalau hati ini terlalu sempit, terlampau banyak memendam kekecewaan, hingga ada bertumpuk-tumpuk penyakit hati lainnya. Alhasil, jikalau hati sehat, maka upaya untuk menyehatkan fisik alias jasmani menjadi lebih mudah.
Maka dari itulah manajemen sehat kita letakkan pada poin terakhir. Banyak pakar berdakwah seraya menyarankan agar kesehatan dijadikan sebagai gaya hidup, tapi tetap kunci utamanya "kesehatan itu berawal dari hati".
Dari hati ada niat, lalu ada keinginan dan harapan. Untuk mewujudkan niat, barulah kita take action seraya mengupayakan sebuah konsistensi.
Lalu, bagaimana menciptakan manajemen hidup sehat? Ketika berkisah tentang hidup sehat, maka ada dua pola yang selalu mendapat lirikan. Pola pertama adalah asupan yang bergizi, sedangkan pola kedua adalah olahraga.
Mengapa aku sebut pola? Karena sejatinya kesehatan itu punya pola dan pola tersebut selalu berulang.
Misalnya, kita terlalu sering mengonsumsi makanan pedas, akibatnya usus kita jadi tersiksa. Kita kurang minum air putih, akhirnya jadi dehidrasi dan sering galfoks. Pun demikian dengan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan asupan. Ada sebab, ada akibat.
Tidak jauh berbeda, kegiatan olahraga pula begitu. Olahraga punya pola. Jika kita rutin, maka otot-otot bakal lentur. Sebaliknya? Jika olahraga sebulan sekali, maka sering terjadi kram otot, nyeri sendiri, bahkan demam gegara tubuh "kaget" karena tiba-tiba diajak olahraga.
Apakah cukup sampai di sana? Melirik keadaan serba tidak tertebak seperti hari ini, rasanya kita perlu menambah asupan gizi yang lengkap seperti madu.
Ya, sebagai #MyNewHealthyLifestyle, mengonsumsi madu lengkap sangat efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Nah, beruntungnya ada KOJIMA yang mengandung madu dengan 3 kebaikan yaitu korma, jinten (habbatussauda), dan madu. Terlebih lagi pada hari-hari terakhir bulan Ramadan, bagiku mengonsumsi KOJIMA sangat efektif dalam mendukung kesuksesan ibadah.
Terang saja, pada 10 malam terakhir Ramadan masing-masing dari kita pasti mengincar Malam Lailatur Qadar selaku malam yang lebih baik daripada 1000 bulan. Alhasil, kegiatan ibadah kita bakal meningkat, bahkan menambahkan i'tikaf sebagai penyempurna.
Maka dari itulah, ikhtiar tambahan berupa mengonsumsi madu lengkap KOJIMA saat sahur dan berbuka puasa perlu kita tempuh. Bagiku selaku pribadi yang sering menempuh perjalanan jauh, saat ini madu menjadi asupan wajib untuk mendukung karier, kesehatan, dan kecukupan stamina.
Jika tubuhku tidak ditopang dengan tambahan stamina, aku rawan terkena demam, masuk angin, hingga kelelahan. Pada hari-hari normal, aku biasanya mengonsumsi madu pada malam hari sebelum bocik (bobok cantik).
Beruntungnya, setelah lebih dari seminggu mengonsumsi madu KOJIMA, aku menemukan hasil studi ilmiah bahwa perpaduan korma, jinten hitam, dan madu yang terselip dalam setiap tetes KOJIMA efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Immuno Stimulant) dalam melawan virus agar tidak mudah sakit dan menambah nutrisi secara alami.
Hasil studi ini adalah buah dari pengujian KOJIMA oleh Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada.
Belum selesai sampai di sana, setelah mencicipi madu KOJIMA, aku mendapati perbedaan rasa yang cukup mencolok dibandingkan madu-madu biasanya. Madu lengkap dengan tiga kebaikan ini terasa segar, manis, serta disertai dengan sedikit rasa asam.
Syahdan, madu KOJIMA yang tersedia dalam kemasan sachet maupun botol ini bisa dikonsumsi langsung maupun dikreasikan dengan makanan maupun minuman sehat.
Karena akhir-akhir ini keluarga kami sedang panen pisang, aku sempat mencoba menjadikan madu KOJIMA layaknya selai pisang goreng. Setelah aku konsumsi, ternyata cocok!
Biasanya aku makan pisang goreng sambil ngopi, tapi sekarang mengonsumsi pisang goreng dengan KOJIMA ternyata nikmat juga. Kamu tidak percaya? Boleh cobain, deh.
Sekali lagi, menimbang kompleksnya tantangan kekinian dalam upaya menjaga kesehatan, rasanya mengonsumsi madu KOJIMA perlu dijadikan sebagai gaya hidup sehat baru.
Aku tahu kamu sibuk, soalnya aku juga sibuk. Tapi, baik dirimu dan diriku jangan bosan untuk menjaga kesehatan. Toh, ikhtiar diri untuk sehat juga merupakan ibadah, bukan? Terlebih lagi di bulan Ramadan seperti hari ini. Peluang pahalanya berlipat ganda, lho!
Salam.