Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.
Siswa Berbagi Takjil, Menguatkan Sikap Toleran

Dalam waktu yang sudah terencana, siswa, dalam hal ini organisasi siswa intra sekolah (OSIS), memanfaatkan momen Ramadan untuk berbagi takjil. Ada yang berbagi takjil di lokasi yang jauh dari sekolah, yaitu di ruang publik yang banyak dikunjungi oleh orang.
Tetapi, ada juga yang berbagi takjil di lokasi dekat sekolah. Misalnya, di jalan depan sekolah yang ramai dilewati orang. Toh lokasi sekolah umumnya berada di dekat jalan besar, yang ramai dilewati orang.
Pembagian takjil dilakukan pada sore hari. Pada waktu sore umumnya banyak orang berada di ruang publik. Karena mereka pulang dari bekerja, sedang ngabuburit, atau pun aktivitas yang lain.
Selain itu, pada sore hari banyak juga orang berburu takjil. Bukan dalam maksud mencari dan meminta takjil. Tetapi, hendak membeli takjil. Bukankah setiap Ramadan selalu banyak penjual takjil yang memenuhi area yang kosong?
Yang pada hari-hari biasa di area ini tak ada yang memanfaatkan untuk berjualan, tetapi pada Ramadan banyak orang memanfaatkan untuk berjualan. Umumnya, berjualan takjil.
Jadi, selepas Ramadan, area ini tak seramai seperti saat Ramadan. Ini menandakan bahwa takjil saat Ramadan menjadi buruan banyak orang. Baik takjil yang dijual maupun takjil yang dibagikan.
Siswa di sekolah tempat saya mengajar, juga tentu siswa di sekolah yang lain, umumnya sudah menjadikan aktivitas membagi takjil sebagai agenda setiap Ramadan.
Semua siswa dilibatkan membawa takjil. Satu siswa, di sekolah tempat saya mengajar, satu takjil. Siswa dalam satu kelas dibagi menjadi dua. Sebagian membawa takjil berupa makanan. Sebagiannya membawa takjil berupa minuman.
Kalau dalam satu kelas ada 32 siswa berarti 16 siswa membawa takjil minuman, 16 siswa membawa takjil makanan. Setiap siswa satu takjil. Yang kebagian takjil minuman, membawa takjil minuman. Yang kebagian takjil makanan, membawa takjil makanan.
Semua takjil dikumpulkan di sekolah. Dikelola oleh Pengurus OSIS dan selanjutnya dibagikan kepada masyarakat yang kebetulan melewati lokasi pembagian takjil, yang sudah ditentukan areanya, yaitu di jalan depan sekolah.
Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, siswa kami membagikan takjil di jalan depan sekolah. Sebab, sejak beberapa tahun yang lalu, jalan ini sudah ramai dilewati banyak orang. Sehingga, sekolah tak perlu mencari lokasi yang lain.
Memang dahulu, sudah sangat lama, saat jalan di depan sekolah masih sepi dari pengguna jalan, sekolah mencari lokasi yang agak jauh dari sekolah. Tepatnya, di jalan depan gedung DPRD. Lokasi ini saat sore sangat ramai, sebab memang jalan protokol.
Selain itu, di depan gedung DPRD di daerah kami ada taman atau ruang publik, yang saat tiba sore hari dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kumpul-kumpul, di antaranya orangtua yang mengajak anak-anak mereka bermain.
Di lokasi-lokasi yang disebut di atas dalam maksud untuk lokasi membagi takjil memiliki tujuan yang sama. Yaitu, takjil diterima oleh orang-orang yang membutuhkan, siapa pun dirinya.
Tak perlu mengetahui mereka ini kaya atau miskin. Baik kaya maupun miskin tak terpisahkan. Mereka sama-sama menjadi perhatian siswa yang membagi takjil. Siapa pun yang ketika diberi takjil diterimanya, itulah orang yang membutuhkan.
Jadi, siswa memberikan takjil termaksud kepada siapa pun orangnya, yang tak mereka ketahui persis. Sebab, takjil itu ditujukan untuk semua orang merasa membutuhkan.
Bahkan, terhadap orang yang berbeda keyakinan pun, siswa tak memperhitungkan. Yang penting ketika takjil diulurkan dengan tangannya kepada orang dan orang ini menerimanya, jadilah takjil ini rezeki bagi orang yang menerimanya.
Pun demikian terhadap orang yang berasal dari suku, ras, dan golongan yang berbeda. Tak menjadi persoalan. Takjil tetap diterimakan. Tak kemudian takjil diambil lagi, misalnya, yang menerimanya dari suku Batak atau Ambon. Takjil, sekali lagi, dibagikan kepada siapa pun yang menghendakinya.
Di dalamnya, siswa tak sekadar belajar tentang bertoleransi, tetapi mempraktikkan hidup yang penuh sikap toleran. Ini salah satu nilai kehidupan sosial yang bagi siapa pun, termasuk siswa, sangat penting.
Melalui berbagi takjil, siswa lebih menghayati sikap toleran ini. Justru sikap toleran dalam konteks ini semakin kentara. Sebab, takjil yang adalah tradisi umat muslim saat Ramadan, dapat diberikan kepada orang lain, sekalipun berbeda agama. Toleransi yang demikian ini sangatlah jelas.
Apalagi pembagian takjil dilakukan di ruang publik. Yang, dapat dilihat oleh banyak orang. Baik dilihat oleh antarpenerima takjil maupun orang yang tak menerima takjil karena lewat saja.
Sikap toleran dalam konteks ini tak hanya sebatas dialami oleh siswa. Tetapi, juga dialami dan/atau dijumpai oleh banyak orang. Termasuk orang yang sekadar melewati lokasi pembagian takjil ini.
Tentang hal ini, yaitu hal bertoleransi, barangkali tak semua siswa mengetahuinya. Mereka mengetahuinya mungkin sebatas membagikan takjil. Bahwa di dalam berbagi takjil mengandung penanaman sikap toleran, mereka mengetahui atau tak mengetahui, bukanlah hal yang penting.
Sebab, yang penting adalah mereka melakukan aksi membagikan takjil tanpa harus membedakan. Membagikan takjil tanpa beban apa pun kepada setiap orang sebagai poin penting dalam menanamkan sikap toleran.
Sikap toleran memang melepas semua identitas. Semua dipandang sama, sebagai makhluk yang sederajat. Dan, fakta demikian sangat terlihat dalam aksi siswa membagikan takjil.
Mereka melakukannya fokus menyerahkan takjil kepada setiap orang yang lewat. Tak melihat identitas orang termaksud. Siapa pun yang kepadanya diulurkan takjil dan mau menerimanya, itulah berbagi takjil dan sekaligus menguatkan sikap toleran dalam diri siswa.
Sebab, siswa tak sekadar menyerahkan takjil, tetapi juga menyapa dan memberi senyum. Sikap menghargai terhadap orang yang diberi takjil terlihat dari sapa dan senyum siswa. Dan, inilah sikap toleran yang sejati, yaitu sangat menghargai sesama.
Memang tradisi membagi takjil hanya biasa dilakukan pada Ramadan. Itu pun tak setiap hari selama Ramadan, siswa berbagi takjil. Di sekolah tempat saya mengabdi, hanya mengambil dua hari untuk berbagi takjil selama Ramadan.
Sekalipun begitu, sangat bermakna bagi siswa. Karena, siswa dapat berbuat langsung terhadap masyarakat. Memberikan takjil kepada orang lain, menguatkan sikap toleran dalam diri mereka.
Penanaman toleransi, sebetulnya, sudah dikuatkan dari dalam. Di dalam kepengurusan OSIS, misalnya, selalu ada keterwakilan dari agama yang dianut oleh siswa. Jika ada siswa yang beragama Kristen, di dalam kepengurusan OSIS pasti ada siswa yang beragama Kristen.
Pun demikian, jika ada siswa yang beragama Budha, di dalam kepengurusan OSIS juga ada siswa yang beragama Budha.
Tetapi memang, di sekolah tempat saya membersamai siswa, jumlah siswa yang beragama Islam di dalam kepengurusan OSIS lebih banyak ketimbang jumlah siswa dari agama yang lain. Karena, jumlah keseluruhan siswa yang beragama Islam lebih banyak.
Hal yang sama, saya kira, akan diberlakukan di sebuah sekolah kalau jumlah siswa non-muslim lebih banyak ketimbang jumlah siswa yang beragama Islam.
Yang pasti, pada setiap Ramadan di sekolah kami di dalam mempersiapkan takjil selalu ada keterlibatan siswa dari latar belakang yang berbeda.
Ada siswa yang beragama non-muslim terlibat dalam aktivitas mengumpulkan dan membagikan takjil. Ini penanaman sikap toleran dalam diri siswa, yang hingga kini tetap dijaga dan dirawat.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY CHALLENGE
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Ketemu di Ramadan hadir kembali. Selain sebagai ajang buka puasa bersama Kompasianer, ada hal seru yang berbeda dari tahun sebelumnya. Penasaran? Tunggu informasi selengkapnya!