Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.
Lembutkan Hati Untuk Meminta Dan Memberi Maaf
Saya sangat mengagumi orang-orang yang sangat bersabar dan ikhlas dalam ketakwaan. Kebaikan akan menular, itulah harapan saya dari hikmah mengenal orang yang bertakwa. Contoh paling nyata adalah suri teladan Rasulullah dan para sahabat yang berada dalam kebaikan dan kebenaran.
Begitu mulia akhlak yang telah diajarkan oleh beliau. Apalagi jika kita mendalami Sirah Nabawiyah. Rasanya ingin sekali dekat dengan beliau. Rasanya ingin mencontoh secara keseluruhan apa yang beliau lakukan terhadap sesama manusia dan Sang Maha Pencipta.
Salah satu hal yang dapat menumbuhkan kecintaan saya pada Rasulullah adalah hatinya yang penuh kasih, cinta, sabar dan pemaaf. Mudah diucapkan, sulit dilakukan, pasti bisa dilakukan. Tak dapat dipungkiri, gesekan meninggalkan goresan. Setiap luka meninggalkan jejak kepedihan yang masih terbuka. Setiap lara menyisakan duri yang masih menganga.
Kata maaf yang sering terlupa ketika tajamnya kata menancap di jiwa. Manusia bermodalkan sisi manusiawi yang selalu ingin dimengerti. Begitupun dengan diri saya secara pribadi, saat muhasabah diri dan berkontemplasi. Ternyata masih banyak hal yang dicontohkan oleh Rasul tetapi belum dijalankan dengan baik.
Masih sedikit-sedikit sakit hati, terluka dan mudah terbawa perasaan (baper). Masih menyimpan penyakit hati yang sesekali muncul sebagai layaknya sifat manusiawi yang harus dimaklumi dan ditoleransi.
Mungkinkah bagian sebuah kewajaran jika rasa kecewa menghampiri dan tegur sapa menjadi tak berarti?
Saya sendiri tidak mau menjadi manusia munafik yang tak pernah merasa kecewa, terluka dan baik-baik saja dalam senyum yang membawa luka. Ada beberapa serpihan kaca-kaca yang pecah masih belum bersih secara keseluruhan. Butuh waktu untuk membersihkan dan memulihkan kondisi. Bagai surga yang tak pernah dirindukan. Pertemuan tak pernah diharapkan, apalagi bertegur sapa tak pernah diinginkan.
Rusak hubungan silaturahmi karena tutur kata yang menyayat hati. Jalinan tak lagi utuh karena sapa tak lagi dapat menyentuh. Akhirnya, sebatas hubungan butuh tak butuh. Sebatas rima kata yang saling jatuh dalam keadaan yang saling bertaruh. Satu bersikukuh, satu lagi berprinsip teguh. Kasih, cinta, sayang dan silaturahmi terkulai dan bersimpuh. Tak kuasa ego meraja menjadikan diri semakin rapuh. Merasa benar diatas diri yang semakin angkuh.
Dikungkung nafsu dan emosi seakan keadaan akan memperbaiki. Berkedok pada kalimat "waktu yang akan memperbaiki", "waktu yang akan mengobati". Memang sulit berbicara rasa. Apalagi rasa dengan perasa ditambah lagi dengan yang merasakan. "Ahh.. enggak usah lebay, digituin aja sudah enggak mau tegur sapa?" sesederhana mulut berucap dan hati yang bimbang bersikap.
Sabar
Seakan menjadi jawaban klise untuk menyenangkan dan menenangkan. Padahal bersabar merupakan contoh sederhana yang mudah diucapkan, sulit dilakukan. Sikap sabar inilah yang diwariskan sejak manusia didalam Rahim selama 9 bulan hingga akhir hayat hidup. Bahkan tidak pernah ada batasan terhadap rasa sabar. Sayangnya, sabar tergerus emosi dan nafsu justifikasi dan pembenaran. Menjauhi dan menghindar saat berkonflik terkesan menjadi jalan terbaik.
Secara sistematis otak manusia telah dirancang untuk bersikap waspada dalam kondisi darurat. Masalah hati memang tidak dapat diangggap sepele karena otak pun akan merasakan sakit yang sama.