Inspirasi Ramadan untuk 11 Bulan ke Depan
Ramadan sudah berlalu. Menurut riwayat, Rasulullah SAW dan para sahabatnya menangis tatkala bulan yang penuh dengan keberkahan ini pergi meninggalkan mereka. Di luar kesedihan Rasulullah dan para sahabatnya tersebut, timbul sebuah petuah yang sering dianggap sebagai hadis, padahal itu hadis palsu: " Seandainya umatku mengetahui pahala ibadah bulan Ramadan, niscaya mereka menginginkan agar satu tahun penuh menjadi Ramadan semua".[1]
Ramadan memang bulan yang sangat istimewa. Karena di bulan Ramadan, banyak sekali pintu ampunan yang dibuka oleh Allah SWT.
Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman kepada Allah dan mengharap pahala-Nya, maka dosa-dosanya (yang kecil) di masa lalu akan diampuni. Barangsiapa yang "qiyamul lail" (shalat tarawih) karena iman kepada Allah dan mengharap pahala-Nya, maka dosa-dosanya (yang kecil) di masa lalu akan diampuni. Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadr karena iman kepada Allah dan mengharap pahala-Nya, maka dosa-dosanya (yang kecil) di masa lalu akan diampuni. (HR. Bukhari dan Muslim).
Seperti itulah keistimewaan dan keutamaan bulan Ramadan, yang tidak akan kita dapati pada bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadan, masjid dan musholla penuh dengan jamaah. Lantunan ayat suci Al Quran menggema dimana-mana. Sedekah mengalir deras, seolah umat Islam kaya semua.
Ketika Ramadan meninggalkan kita, banyak yang berkata akan merindukan kedatangan Ramadan kembali. Benarkah? Atau itu hanya sekedar hiasan yang terucap di bibir, sementara apa yang kita lakukan selepas Ramadan justru tidak mencerminkan rasa rindu yang mendalam akan keistimewaan bulan Ramadan itu sendiri?
Tengoklah situasinya saat ini. Pasca Ramadan, semuanya sirna. Masjid dan musholla kembali sepi. Barisan makmum dalam sholat berjamaah berkurang drastis, tinggal menyisakan satu shaf saja. Nuansa Ramadan menjadi hampa, ibadah pun tak lagi bergairah.
Patut kita renungkan sebuah ungkapan: "Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadan, tapi jadilah hamba yang Rabbaniyah (hamba Allah yang sesungguhnya)."
Karena ada sebagian umat Islam yang menyibukkan diri di bulan Ramadan dengan ketaatan dan qiraatul Qur'an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersama dengan berlalunya Ramadan.
Mengapa bisa seperti itu? Mengapa kita hanya giat beribadah hanya di bulan Ramadan saja?
Bukankah Allah tak pernah tidur? Bukankah Dia selalu ada? Bukankah Dia berfirman di sela ayat-ayat tentang puasa, "Katakan (Muhammad), apabila hamba-hambaKu (yang beriman) bertanya kepadamu mengenai aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku dekat (QS. Al Baqarah: 186)?
Bukankah MalaikatNya juga selalu siap sedia di masjid saat umatNya mendirikan shalat berjamaah? Kendorkah keberadaan para malaikat dengan menurunnya semangat ibadah umatNya?
Tidak.
Allah itu Maha Komitmen. Dia selalu membuka pintu ampunan, tak hanya di bulan Ramadan saja. Malaikat juga selalu konsisten menyaksikan sholat kita di masjid dan mengamini doa kita. Allah melalui malaikatNya senantiasa mencatat tadarus kita, sedekah kita, setiap amal kebajikan kita, sekalipun Ramadan sudah lewat.
Jadi tak ada alasan bagi kita untuk kendor dan malas beribadah hanya gara-gara nuansa yang berubah. Bukankah kita sudah dilatih oleh Allah di bulan Ramadan untuk giat beribadah? Lewat latihan selama sebulan penuh itu, Ramadan memberikan bukti pada kita bahwa sebenarnya kita juga bisa melakukan hal yang sama.
Kita sudah dilatih untuk berpuasa wajib setiap hari, maka seharusnya kita juga bisa berpuasa yang bernilai sunnah, setidaknya tiga hari sekali (Senin-Kamis). Kita sudah dilatih untuk membiasakan sholat lima waktu berjamaah di masjid, maka seharusnya kita juga bisa sholat wajib berjamaah di luar bulan Ramadan.
Kita sudah dilatih agar membiasakan diri bangun malam untuk "Qiyamul Lail", maka seharusnya kita juga bisa konsisten bertahajud setiap malam hari. Kita sudah dilatih untuk membiasakan tadarus dan tadabbur Al Quran, maka seharusnya kita juga bisa kontinyu melanjutkan bacaan Al Quran kita. Kita sudah dilatih untuk membiasakan bersedekah, maka seharusnya kita juga bisa selalu ringan tangan mengulurkan bantuan.
Disamping melatih dan membiasakan diri untuk beribadah secara kontinyu, Ramadan juga melatih kita untuk berperilaku hidup yang lebih baik.
Kita sudah dilatih untuk menahan diri dari mengghibah, maka tak ada alasan bagi kita untuk kembali bergunjing dan menebar fitnah. Kita sudah dilatih untuk menahan diri dari amarah, maka semestinya kita juga bisa selalu bersabar. Kita sudah dilatih untuk menahan diri dari hawa nafsu makan yang halal secara berlebihan, maka seharusnya kita juga tidak akan tergoda untuk makan dari sumber yang haram.
Kita sudah dilatih untuk berucap dan menuliskan hal-hal yang baik setiap hari, maka sepatutnya kita juga bisa bertutur kata yang sopan dan melanjutkan kebiasaan menulis kebaikan ini setiap hari pula.
Ramadan boleh berlalu, tetapi secara individu , kita masing-masing harus tetap bersemangat. Ramadan sudah memberi inspirasi bagi kita, bahwa sebenarnya kita bisa membiasakan diri untuk hijrah ke hal-hal yang lebih baik hingga sebelas bulan ke depan.
Jika kita sudah membiasakan semangat Ramadan dalam kehidupan sehari-hari selama 11 bulan ke depan, saat itulah kita bisa merayakan hari kemenangan dan berlebaran. Sebagaimana nasihat Hasan Al Basri, "Hari-hari di mana engkau tidak bermaksiat kepada Allah maka itulah hari-hari kemenanganmu (hari rayamu)."
Semoga kita bisa dipertemukan lagi dengan Ramadan 1441 Hijriyah.
Catatan kaki:
[1] Hadis dengan teks seperti di atas itu terdapat dalam kitab Durrah al-Naashihiin karya Utsman al-Khubbani, kitab yang dituding para ulama sebagai penyebar hadis-hadis palsu dan kisah-kisah imajinasi. Kitab Durrah al-Naashihiin sendiri bukan termasuk kitab hadis. Ia termasuk kitab akhlak yang bersisi nasihat-nasihat untuk berperilaku luhur. Lewat kitab ini pula tampaknya Hadis di atas itu beredar di masyarakat, karena kitab ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren tradisional dan majelis-majelis ta'lim. (dikutip dari Ali Mustafa Ya'qub: Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, hal. 111-123).