Himam Miladi
Himam Miladi Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Memahami Perbedaan Awal Puasa dan Hari Raya dengan Bijaksana

2 April 2022   07:56 Diperbarui: 2 April 2022   07:59 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memahami Perbedaan Awal Puasa dan Hari Raya dengan Bijaksana
Perbedaan akan membuat suasana hidup kita lebih berwarna. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan yang berbeda (dok.pribadi)

Saat sedang menyimak bacaan Al-Quran di masjid usai salat tarawih, anak saya tiba-tiba datang dan langsung bertanya, 

"Pak, puasanya jadi kapan?"

"Besok"

"Lho, bukan Minggu ya? Kok teman-temanku banyak yang puasa hari Minggu?"

"Ya, memang ada yang mulai puasa besok, ada yang mulai puasa Minggu."

"Kenapa kok bisa beda ya pak?"

"Sebentar ya, Nak. Bapak menyimak dulu, nanti bapak jelaskan."

Di rumah, baru saya menjelaskan ke anak saya mengapa sampai timbul perbedaan awal puasa (juga hari raya), tentunya dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.

***

Khilafiyah di Jaman Rasulullah Saw.

Di jaman sekarang, banyak kaum muslim yang memandang khilafiyah (perbedaan) itu sesuatu yang serius. Yang satu ngotot dengan argumennya, yang satu juga gak mau kalah dengan pendapatnya. Saling menyalahkan satu sama lainnya.
Padahal, khilafiyah (ikhtilaf), terutama dalam hukum fiqih itu sudah biasa terjadi di kalangan ulama-ulama terdahulu. Bahkan, di jaman Rasulullah Saw. pun beberapa kali terjadi ikhtilaf yang dilakukan oleh para sahabat.

Ada dua hadis yang bisa kita petik pelajaran darinya, tentang sebuah khilafiyah ijtihadiyah (perbedaan ijtihad).

Yang pertama, dari 'Atha' bin Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudriy, ia berkata :

Dua orang laki-laki (si A dan si B) keluar dalam satu perjalanan, lalu datang waktu salat, sementara keduanya tidak membawa air.

Kedua orang tersebut lalu bertayammum dengan debu yang bersih, kemudian keduanya salat. Setelah salat, keduanya menemukan sumber air bersih.  Lalu salah seorang daripadanya (si B) mengulangi salatnya dengan wudu terlebih dahulu, sedangkan si A tidak mengulang salatnya.

Ketika bertemu Rasulullah Saw, keduanya menceritakan apa yang mereka lakukan kepada beliau.

Maka Nabi Saw. bersabda kepada orang yang tidak mengulangi (si A),

"Kamu sesuai dengan sunnah dan salatmu sudah memadai".

Dan terhadap orang yang wudu dan mengulangi  salatnya, (si B), beliau Saw. bersabda,

"Bagimu pahala dua kali".

(HR. an-Nasai dan Abu Dawud)

Sementara hadis yang kedua, dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:

Alkisah pada saat perang Ahzab berkecamuk, Rasulullah Saw. menyuruh dua orang sahabat (si A dan Si B) untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum pergi, Rasulullah Saw. memberi sebuah pesan kepada mereka yaitu, "Laa yushalliyaannna ahadun al 'ashra illaa fii banii quraizhah". Artinya, Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kamu salat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.

Lalu pergilah si A dan si B ini menuju perkampungan Bani Quraizhah.

Di tengah perjalanan, ternyata waktu Ashar sudah mau habis, sedangkan jarak ke perkampungan Bani Quraizhah masih cukup jauh. Apa yang terjadi?

Si A berpendapat bahwa karena zhahir (memaknai secara harfiah, murni, tekstual) perintah Rasulullah Saw. adalah melarang salat ashar kecuali di tempat tujuan, maka dia tidak akan salat Ashar saat itu walaupun waktunya habis. Biarlah dia salat Ashar walau pada waktu Isya, karena zhahir perintah Rasulullah Saw. adalah harus sampai Bani Quraizhah dulu baru boleh salat Ashar.

Sementara si B ini berbuat sebaliknya. Dia berpendapat bahwa perintah Rasulullah Saw tadi tidak bisa dimaknai secara zhahir semata. Menurut ijtihadnya, aneh saja tidak boleh salat Ashar padahal waktu mau Ashar habis.

Si B ini memaknai perintah Rasulullah Saw seperti itu agar mereka berdua cepat-cepat ke Bani Quraizhah, sehingga bisa salat Ashar di sana. Namun apa daya perjalanan mereka berdua masih jauh dari Bani Quraizhah sementara waktu Ashar sudah mau habis. Akhirnya, si B ini tetap salat Ashar walaupun menyalahi zhahir perintah Rasulullah Saw tadi.

Setelah menyelesaikan misi, si A dan si B ini pulang untuk menemui Rasulullah Saw. Mereka menceritakan apa yang sudah mereka perbuat dalam menaati perintah Rasulullah.

Dalam hadis, Rasulullah bersabda, "Famaa 'anifa Rasulullah Saw ahadun minal fariqoini". Artinya, Rasulullah Saw tidak salah satu dari dua perbedaan tersebut, sekaligus tidak mencela dua ijtihad yang dilakukan kedua sahabatnya tersebut.

Hikmah Dari Perbedaan Ijtihad di Jaman Rasulullah

Dari dua hadis di atas, kita bisa tahu bahwa ternyata yang namanya ikhtilaf dalam permasalahan keagamaan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. masih hidup.

Jika di jaman Rasulullah Saw. saja sudah ada ikhtilaf antar sahabat, apalagi zaman sekarang. Jarak waktu kita sangat jauh dengan Nabi Saw, dan yang jadi patokan berupa teks yaitu Al-Quran dan kitab-kitab hadis.

Memahami perintah Rasulullah Saw yang berupa ucapan langsung dan menyaksikan langsung dari beliau saja dua sahabat tadi bisa berbeda pemahamannya, apalagi kita yang hanya mengambil dari teks yang notabene benda mati.

Hikmah dari kedua hadis di atas adalah bahwa Rasulullah Saw tidak mengatakan, "yang ini benar, yang ini salah", atau "kamu sudah mengikuti sunnah, sedangkan kamu bid'ah".

Dalam memahami perintah/sunnah Rasulullah Saw. seperti kasus diatas, para sahabat berbeda pendapat, namun dua-duanya bermaksud menaati Rasulullah Saw. Hanya caranya yang berbeda.

Memahami Perbedaan Awal Puasa dengan Bijaksana

Sama seperti ketika umat Islam terlibat ikhtilaf dalam penentuan awal Ramadan atau Hari Raya (Idulfitri dan Iduladha).

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda,

Bulannya begini dan begitu (beliau Saw. kemudian menarik ibu jarinya untuk ketiga kalinya). Kemudian beliau Saw. bersabda: Puasalah jika kamu melihatnya (lirukyati), dan berbukalah ketika kamu melihatnya, dan jika cuaca mendung, hitunglah (bulan Sya'ban dan Syawwal) sebagai tiga puluh hari. (Sahih Muslim)

Dalam hadis lain dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda,

Bulan Ramadan dapat terdiri dari dua puluh sembilan hari. Maka janganlah berpuasa sampai kamu melihatnya (bulan baru) dan jangan berbuka sampai kamu melihatnya (bulan baru Syawal), dan jika langit mendung bagimu, maka hitunglah. (Sahih Muslim)

Dalam memahami hadis tersebut, golongan pertama berpendapat, kalau zhahir perintah Nabi Saw. hilal (bulan baru) itu harus dirukyat, ya harus dirukyat sampai akhir jaman. Entah sudah ada ilmu hisab, mau manusia sudah bisa pergi ke bulan, ya tetap harus rukyat. Nah, yang demikian ini tipe pemahaman tekstual (contoh si A).

Sedangkan golongan kedua berpendapat kalau jaman sekarang bisa disebut berpemahaman kontekstual. Memahami perintah Rasulullah Saw. tidak secara zhahir, namun disertai aspek-aspek lain dan lebih menekankan semangat daripada makna yang tersurat.

Contohnya, perintah Nabi Saw. bahwa hilal itu harus dirukyat. Dalam pemahaman golongan ini, Nabi Saw memerintahkan demikian karena pada masa itu satu-satunya cara yang paling memungkinkan untuk menentukan awal bulan adalah dengan merukyat (melihat hilal). Meski begitu, semangatnya adalah yang penting kita bisa mengetahui kedatangan bulan Ramadan. Inilah tipe pemahaman kontekstual (contoh si B).

Yang harus kita contoh dalam menghadapi masalah khilafiyah adalah seperti sikap Rasulullah Saw. Di mana beliau tidak mencela pemahaman tekstual maupun kontekstual dalam memahami teks-teks keagamaan atau hukum fiqih.

Perbedaan, justru akan membuat nuansa hidup kita bisa lebih berwarna dan bermakna. Misalkan kita umat muslim Indonesia sudah biasa kadang-kadang awal Ramadan hari raya berbeda. Biasa aja. Nah, ketika suatu saat puasa atau hari raya kita sama, akan ada nuansa yang berbeda. Akan jadi lebih wah dan enak.

Namun, perbedaan juga bisa menjadi sebuah laknat manakala kita tidak mau menerima perbedaan itu sendiri. Minimal menjadi laknat bagi diri sendiri kalau kita anti perbedaan.  

Melihat ke kanan beda, aduh tidak nyaman. Melihat ke kiri beda, aduh tidak nyaman. Betapa tersiksanya hidup orang yang anti perbedaan semacam itu.

Akhir kata, persatuan bukanlah penyatuan. Penyatuan adalah membuat segala sesuatu seragam, sedangkan persatuan adalah mengikat komponen-komponen yang beragam dalam satu kesatuan agar berjalan beriringan dan harmonis.

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadan yang Berbeda.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun