Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Penulis

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Bujuk Rayu Benang Kelambu dan Tiu Kelep

28 April 2023   22:20 Diperbarui: 28 April 2023   22:41 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bujuk Rayu Benang Kelambu dan Tiu Kelep
Dokumentasi pribadi

Pukul 6 pagi. Aku sudah bersiap di lobi salah satu hotel yang terletak di jantung kota Mataram. Harusnya, aku segera berangkat untuk menjelajah Lombok Tengah. Namun, rekan perjalananku, yang baru kukenal, tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Teleponku tidak diangkat. Pesan singkat di WA tidak kunjung dibalas. Aku masih bersabar menunggunya hingga pukul 7. Namun apa daya, dalam perjalanan kita kerap mendapatkan hal-hal di luar kuasa kita. Memang salah bergantung kepada orang lain. 

Kusapa satpam hotel dan bertanya mengenai sewa motor. Dengan ia sigap menghubungi temannya dan motor datang tak lama kemudian. Untunglah, rencana perjalananku jadi terlaksana. 

Itulah sekelumit cerita yang menjadi bagian panjang dari perjalananku selama 2 hari di Lombok pada bulan November lalu. Perjalanan yang membuat teman-teman kuliahku terhenyak karena sepulang dari sana, aku melangsungkan seminar hasil tesisku. 

Diam-diam saja sudah kuselesaikan penelitianku dan memenuhi persyaratan untuk pendaftaran seminar hasil penelitian. Momen ke Lombok pun kujadikan sebagai momen pengisian energi untuk menghadapi tiga dosen penguji di seminar itu.

Sebenarnya, agenda utamaku bukanlah ke Lombok, melainkan ke Sumbawa. Di sana, aku menemani sepupu yang menikah dengan orang Sumbawa. Oleh karena pernah bertugas selama 3,5 tahun di sana, aku didapuk menemani sepupuku, menjadi penunjuk jalan sekaligus menjadi saksi pernikahan. Begitu akad dan resepsi selesai dilangsungkan, aku berangkat ke Lombok lebih dulu dan sendirian.

Lombok adalah salah satu destinasi super prioritas di Indonesia. Orang-orang melihat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika sekarang yang sebegitu indahnya. 

Pasti Bangga Berwisata di Indonesia kalau sudah main di Lombok, apalagi kalau kesampaian nonton Moto GP. Pertama kali aku datang ke Lombok, Juni 2011, kebanyakan orang hanya mengenal Rinjani, Senggigi, dan Gili Trawangan. 

Selebihnya, sepi. Bahkan pernah aku datang ke Pantai Seger dan Tanjung Aan (yang sekarang termasuk dalam kawasan KEK Mandalika) itu sendiri, tidak ada orang sama sekali. Dan aku merasakan keindahan pantai-pantai Lombok itu seperti pantai pribadiku.

Baru kemudian dimulai dengan program Visit Lombok-Sumbawa 2012, pelan-pelan Lombok bertransformasi. Aku menjadi saksi hidup bagaimana industri pariwisata yang dikelola dengan baik dapat mengubah wilayah dan masyarakatnya. Kunci keberhasilan Lombok, selain memang memiliki banyak potensi keindahan alam, adalah kemampuannya mempertahankan identitas. 

Identitas itu semakin kuat ketika Lombok mengusung Halal-tourisme karena memang Lombok dikenal sebagai pulau seribu masjid yang memiliki identitas Islam yang kuat dalam sejarah Nahdatul Wathan. Desa Sembalun misalnya pernah mendapat penghargaan sebagai Destinasi Bulan Madu Halal Terbaik Dunia Tahun 2016. 

Nah, dalam liburanku selama 2 hari itu, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kalau pantai di kawasan Mandalika, bisa dibilang aku sudah khatam. Aku ingin mengunjungi wisata air terjun yang ada di Lombok. Dan alhamdulillah, selama 2 hari itu aku berhasil mengunjungi 5 air terjun, meski 2 di antaranya tidak memuaskan.

Air Terjun Benang Kelambu

Air Terjun Benang Kelambu. Dokumentasi pribadi.
Air Terjun Benang Kelambu. Dokumentasi pribadi.
Kisahku yang menunggu teman perjalanan di hotel tadi adalah perjalanan hari kedua. Pada akhirnya, bermodalkan Google Maps, aku jalan sendiri ke Lombok Tengah. Tidak sulit untuk menemukan air terjun ini. Jalanan mulus. Penunjuk jalan sudah baik. Sempat aku berhenti dan bertanya dengan warga lokal untuk memastikan arah, dan alhamdulillah, tidak ada masalah dalam perjalanan.

Air terjun ini bersumber dari alur kawasan hutan kaki Gunung Rinjani. Dilihat dari atas, air mengalir seperti tirai, seperti kelambu. Air tersebut mengalir melalui sela-sela pepohonan gambung yang lebat, dan curahannya tidak terpusat pada satu titik saja. Tinggi curahannya sekitar 40 meter. Indah sekali.

Konon, air terjun ini adalah tempat pemandian Dewi Anjani yang mendiami Gunung Rinjani. Sebagian masyarakat ada yang percaya bahwa berendam atau mandi di bagian bawah pancuran air terjun benang kelambu berkhasiat bisa menyembuhkan bermacam-macam penyakit sekaligus membuat kita awet muda.

Aku tentu saja mencoba pengalaman mandi di air terjun Benang Kelambu. Mendunglah yang menghentikanku berlama-lama di sini karena mengerikan juga kalau hujan terlampau gebu dan sulit untuk menaiki anak tangga. Uniknya selama bercengkerama di sini aku berkenalan dengan pengunjung lain yang sama-sama berasal dari Palembang. Berkat dialah aku bisa mendapatkan foto diriku berlatar air terjun ini sekaligus bersama-sama ke tujuan selanjutnya.

Setelah berganti baju karena basah kuyup sehabis mandi, menghabiskan semangkuk mi dan nasi sambil menunggu hujan reda, kami baru tahu ternyata di lokasi ini ada beberapa air terjun lain yang berdekatan. Untuk rute treking (yang disarankan dengan pemandu) ada jalan khusus agar mendapatkan total 5 air terjun di satu kawasan, yang terbagus tetap Air Terjun Benang Kelambu. Setelah hujan reda, kami pun menuju ke Air Terjun Benang Stokel yang terdekat. Di perjalanan kami sempat didekati monyet babon. 

Mengerikan juga ternyata. Sayangnya, yang kami dapatkan adalah air terjun berwarna cokelat pekat. Airnya melimpah dan kotor karena hujan. Dari penjaga warung kami juga dapatkan info bahwa Air Terjun Benang Stokel sudah tidak seperti dulu. Gempa besar Lombok beberapa tahun lalu membuat ada longsoran tanah menimpa kolam air di bawahnya. Kini, kolam tersebut sudah menghilang.

Dokumentasi pribadi.
Dokumentasi pribadi.

Menyadari waktu masih ada, kami melihat Maps dengan mencari-cari lokasi air terjun lain. Kami dapatkan Air Terjun Babak Pelangi yang sayangnya ketika kami sampai situasinya setali tiga uang dengan Benang Stokel. Cokelat pekat. Sedihnya, kami dapatkan lagi informasi bahwa kolam alami air terjun ini sudah rusak akibat longsoran beberapa waktu lalu. Lucunya, longsor ini adalah akibat adanya pengerukan di lahan pribadi di Desa di atasnya (Aik Berik). 

Salah satu kunci penting pariwisata adalah sustainibility. Kesadaran masyarakat dan Pemerintah dibutuhkan untuk tetap menjaga keberlangsungan dan keasrian alam. Baru-baru ini ada berita heboh karena Air Terjun Kedung Kandang yang begitu eksotis lenyap akibat pembangunan jalan. Ironis.

Air Terjun Tiu Kelep

Mundur satu hari dari Benang Kelambu, aku mengunjungi Air Terjun Tiu Kelep di Senaru, Lombok Utara. Di lokasi ini juga terdapat Air Terjun Sendang Gile. Keduanya sama masyhur dengan Benang Kelambu.


Selepas perjalanan dari Sumbawa, aku dijemput rekanku di Mataram. Dia bekerja di KPPN Mataram. Kayaknya sih, ada prinsip yang unik dari sesama insan perbendaharaan, meski tidak begitu kenal/tidak akrab, kalau bertemu ya bisa langsung menyatu. Tadinya aku minta temani dia jalan-jalan, tetapi dia sudah punya rencana hunting ke pantai. Ya, dia hobi fotografi.

Aku dikenalkan dengan temannya yang kemudian mengantarku dengan motor ke Tiu Kelep. Dari Mataram, ada 2 rute untuk mencapai Senaru. Pertama kamu bisa jalan menyusuri pesisir. Jalannya lebih jauh dan berliku. 

Kedua, kamu bisa melewati Bukit Pusuk. Bukit Pusuk ini lokasi yang rawan longsor dan memacu adrenalin karena ketinggiannya. Namun, secara jarak, lebih dekat. Kami melewati rute kedua dan pemandangannya luar biasa meski benar-benar harus pegangan, karena rasanya badan mau merosot ketika menanjak.

Butuh waktu lebih dari 2 jam dengan sepeda motor untuk mencapai Tiu Kelep. Idealnya memang memakai mobil. 

Karena sudah lelah, aku terpaksa menerima tawaran guide lokal untuk mengantar kami dengan ojek hingga ke Sendang Gile. Ada peraturan untuk tidak boleh membawa motor pribadi ke dalam. Aku paham, ini untuk memberdayakan perekonomian warga setempat. Apalagi saat memandu kami ia bercerita kondisi yang begitu sepi sejak awal pandemi. Turis-turis berkurang drastis. 

Dokumentasi pribadi.
Dokumentasi pribadi.

Sedihnya, aku tidak membawa ponselku yang bermasalah saat ke Tiu Kelep, hanya ada kamera go pro ala-ala untuk merekam perjalanan tersebut. 

Air Terjun Tiu Kelep memang seindah itu. Dari Sendang Gile, kita hanya perlu berjalan kaki sekitar setengah jam saja. Rutenya tidak berat. Hanya penting untuk tidak pakai sepatu (karena bakal melewati sungai) apalagi sandal jepit (karena licin). Pakailah sendal gunung ya, Kawan. 

Air terjun Tiu Kelep ini juga terdampak Gempa Lombok. Kolam di bawahnya juga ikut tertimpa. Sang pemandu mewanti-wanti kami untuk tidak mandi di bawah air terjun ini karena masih ada potensi longsor atau batu-batu jatuh menimpa. Ya, saya menurut saja sehingga saya hanya bisa menikmati air terjun ini dari jarak tertentu. Lagipula, percikan airnya deras sekali. Seperti namanya, Tiu Kelep, buih (air) yang terbang. Kamera biasa akan tempias. Sulit mengambil gambar yang bagus.

Untuk mandi, disarankan ke Sendang Gile. Sendang Gile juga dipercaya punya khasiat pengobatan laiknya Benang Kelambu. Tentu saja aku mandi di situ (silakan lihat di videonya ya, haha).

Memikirkan Lombok Kembali

Tentu saja, Lombok selalu berkesan di hati. Seringkali kuucapkan dalam hati, jika suatu saat aku mutasi, rela kok kalau ditempatkan di Lombok-Sumbawa lagi. Paling ideal sih di KPPN Selong. Dekat dengan bandara Praya dan pusat dari lingkungan yang Islami. Lombok Timur pun masih menyisakan banyak tempat yang perlu dijelajahi.

Begitulah cerita perjalananku November lalu. Semoga bisa membuatmu penasaran dengan Lombok dan akan mengunjungi destinasi yang bukan pantai-pantai saja :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun