Ngujuban (Tradisi Suku Sunda di Kuningan-Jabar Jelang Bulan Puasa Ramadhan)
NGUJUBAN
(Tradisi Suku Sunda di Kuningan-Jabar menyambut Bulan Suci Ramadhan)
Oleh: Hendra Wijaya
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, beranekaragam suku-bangsa-bahasa- agama dan budaya. Dari 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia (Sensus BPS tahuan 2010), Suku Sunda adalah salahsatunya.
Suku Sunda, dikenal dengan 'urang Sunda' adalah suku terbesar di wilayah pulau Jawa bagian Barat (Jawa Barat dan Banten). Sama dengan suku suku lain di Indonesia, Suku Sunda memiliki tradisi, kebudyaan yang 'unik' yang menjadi 'kearifan lokal' yang geniun, yang tetap dilestarikan hingga kini.
Salah satu Tradisi yang saat ini masih dilakukan adalah Tradisi 'Ngujuban' yang masih dilestarikan oleh Suku Sunda yang berada di daerah Kuningan-Cirebon dan sekitarnya.
Ngujuban, seperti yang difahami oleh orang Sunda merupakan permohonan doa Kepada Yang Maha Kuasa oleh seorang atau keluarga tertentu yang dilakukan saat hari perayaan (Idul Fitri/Idul Adha), muludan (Maulid Nabi SAW), Jelang Awal Bulan Puasa Ramadhan dan juga malam jum'at kliwon.
Selain doa yang dipanjatkan oleh yang dituakan/ sesepuh, disediakan juga sesajen (sajian). Sesajen itu ada yang berupa 7 bunga berbeda rupa, teh manis, kopi pahit, kopi manis, air putih, nasi, lauk pauk, rokok/cerutu.
Sesajen tersebut sebagai symbol penuh syukur atas segala anugerah yang telah dilimpahkan Yang Maha Kuasa. Setelah berdoa, seluruh sesajen tersebut di santap bersama keluarga atau berbagi dengan tetangga.
(Sesajen/sajian Ngujuban di era modern)
Ngujuban Jelang Puasa Ramadhan
Tiap Jelang awal Puasa Ramadhan, Seperti biasa, Sore harinya Ibu Yati Setiawati yang Asli Kuningan-Jabar sudah menyiapkan Sajen (sajian) diatas meja makan:Kopi hitam, teh manis, air putih, 'kue pasar', pisang, nasi+lauk pauk, dan rokok, yang disusun rapih.
Dengan Khusu, di depan seluruh sajian itu Ibu setengah baya itu terlihat berdoa-seperti sedang berkomunikasi dengan Yang Maha Pencipta.
Lima Belas menit berlalu, setelahnya kami di persilahkan untuk menikmati seluruh sajen yang terhidang itu. Seluruh putra putrinya, cucu cucunya terlihat antusias- sangat senang mereka berharap barokah dari doa-doa yang telah di panjatkan sang Ibu atau neneknya itu
Ibu Yati Setiawati, Perempuan berusia 64 Tahun itu bercerita, "Tradisi Ngujuban itu menurut abah-buyutnya telah dilakukan oleh para Wali sebagai media syiar Islam (Saat itu masyarakat masih sangat di pengaruhi hinduisme-pen.), dilanjutkan oleh para'wanga tua' /orang tua/leluhur kita.
Dahulu, waktu masih tinggal di Kampung (di daerah Kuningan-Jabar) yang berdoa saat Ngujuban itu orang yang 'dituakan'/tokoh spiritual, tempat ngujubannya di 'Goah' (ruang tempat menyimpanan padi/beras) dan ada dupa (kemenyan yang di bakar, terasa agak ada mistiknya memang", tuturnya. Seiring waktu, Masyarakat Sunda Banyak yang merantau (migrasi).
Di tengah modernitas, Ngujuban tidak lagi mesti dilakukan di 'Goah' dengan dupa mengepul , kembang 7 rupa yang nantinya dicampur dengan air untuk mandi pun tidak mesti diadakan. Seperti Ngujuban hari ini. Namun demikian, Spiritulaisme Ngujubannya tak hilang sama sekali: Berdoa-Bersyukur-Berbagi.
Selamat menuanaikan Ibadah Puasa Ramadhan bagi yang menjalankankannya. Selalu Berdoa-Bersyukur-Berbagi.
*Hendra Wijaya, Urang Sunda dari Kuningan-Jabar, Tinggal di Tangerang