Stop Flexing: Bijak Bermedsos bukan Berhenti Bermedsos
Media sosial muncul dan hadir sebagai sarana berkomunikasi, juga aplikasi yang memberikan banyak manfaat, diantaranya media iklan, media hiburan, media dokumentasi, juga sebagai sarana untuk mengais pundi-pundi rupiah.
Jauh sebelum ada medsos, keberadaan televisi dan juga radio begitu dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Kita bisa menyaksikan berita dari seantero dunia dari televisi, kita.
Belakangan ramai, trend flexing di kalangan artis yang juga merambah pada masyarakat. Memang tidak ada salahnya kita meluapkan uphoria atas apa yang kita dapatkan, kita miliki juga kita capai. Masalahnya, hampir kebanyakan kasus flexing yang terjadi adalah pamer yang memberikan dampak negative pada masyarakat luas.
Banyak kasus flexing justru berujung pada kasus terkuaknya skandal korupsi yang di lakukan oleh seseorang, bahkan merembet pada kasus yang lebih luas.
Rhenald Kasali dalam akun Youtubenya, (Pemilik Rumah Perubahan) memaparkan banyak hal mengenai flexing sejak dua tahun lalu dalam beberapa postingannya. Orang kaya mengapa kekayaannya kok di pamer-pamerkan? Orang yang sesungguhnya kaya, akan cenderung diam dan tidak berisik.
Penulis ingat beberapa konglomerat lama model Jack Ma, di Indonesia ada Datuk Sri Taher. Keduanya terkenal dengan filosofi bisnis juga nilai-nilai hidup yang tidak saja mengagumkan tapi juga dijadikan panutan.
Banyak orang yang mengaku kaya sebagaimana dipaparkan oleh Rhenald Kasali begitu berisik akan apa yang dimilikinya, apakah barang yang dipakai itu asli, barang yang dipakai milik sendiri tidak pinjam, yang orang lihat hanyalah kemegahan dan spektakulernya saja.
Kira-kira jika ada sosialita yang sesungguhnya tidak terlalu kaya namun pamer mengklaim berlian dalam ilustrasi diatas sebagai miliknya. Apakah kita akan begitu saja percaya. Padahal dilansir dari Bisnis.Com harganya mencapai 1,10 T.
Bulan Ramadhan bahkan sudah hampir meninggalkan kita. Jelang sepuluh hari terakhir, apakah kita benar-benar sudah banyak melakukan perenungan atas tindakan dalam kehidupan sehari-hari kita.
Bermedsos sudah mandarah daging, bahkan segala hal memerlukan bantuan medsos. Flexing sendiri memiliki dampak buruk bagi masyarakat (netizen) yang melihat postingan berita. Acap kali hujatan, cacian, makian justru keluar dari netizen karena mereka geram atas sikap individu yang telah melakukan flexing.
Ditengah kesulitan banyak masyarakat memenuhi kebutuhan pokok, ditengah sulitnya mengais rupiah dan memenuhi kebutuhan agar dapur tetap bisa mengepul, masih banyak sosok yang gemar melakukan flexing.
Lantas bagaimana etika atau adab kita saat menjumpai banyak postingan flexing di media sosial? Postingan tentang artis yang baru saja membeli mobil ini padahal bulan lalu baru saja membeli mobil mewah merk lain.
Daripada mengeluarkan hujatan atau cacian yang justru berpotensi menghilangkan atau mengurangi pahala puasa kita alangkah bijaknya jika kita tidak ikut menghujat, unfollow atau menutup notifikasi dari akun yang bersangkutan.
Memilih untuk berlaku tegas dengan melindungi kesehatan mental kita adalah bagian dari respek pada diri sendiri. Jika tidak bermanfaat untuk apa? Tidak mungkin kita benar-benar bisa puasa medsos, hal yang bisa kita lakukan adalah memilih dan memilah, medsos mana yang masih relevan sesuai dengan kebutuhan kita. Jika kita tidak memerlukan banyak akun medsos, maka membiarkan atau unisntal sementara juga tak masalah asal kita tidak menghapus akun saja. Mana tau dikemudian hari kita membutuhkan, maka kita tidak perlu repot-repot membuat lagi.
Flexing, penulis asumsikan sudah masuk menjadi gaya hidup bagi segelintir orang seperti artis, beberapa public figure, juga pejabat. Memang tidak semuanya melakukan flexing, namun realitanya memang demikian. Pamer berlebih tentang materi atau barang-barang mewah juga gaya hidup.
Puasa sendiri mengajarkan kita untuk menahan diri, dalam makna ini tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, juga nafsu. Perkaranya, nafsu yang ada pada manusia tidak hanya menyangkut pada kebutuhan biologis saja, namun lebih dari itu juga nafsu mendapatkan pengakuan baik dari lingkungan pertemanan, lingkungan pekerjaan, juga merambah pada masyarakat luas.
Al-Qur'an menjelaskan tentang larangan untuk berlebihan atau melampaui batas. Melansir pendapat Kurniawan Nata Dipura dalam Banten. nu.or.id. Sikap berlebihan atau melampau batas cenderung pada Ghuluw yaitu sikap atau perbuatan yang berlebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat baik berupa keyakinan maupun perbuatan.
Islam sendiri menganjurkan konsep keseimbangan dalam memenuhi berbagai kecenderungan yang ada pada diri manusia.
Allah dalam QS. Al-A'raf: 31 menjelaskan :
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Ayat tersebut jelas melarang kita untuk melakukan tindakan berlebihan, meskipun tidak secera eksplisit menyebutkan tindakan yang berlebihan seperti flexing. Namun, jelas bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.
Apakah kita tidak boleh berbagi kebahagiaan atau bersyukur atas kepemilikan kita akan harta, atau materi? Jawabannya versi penulis sah-sah saja. Tapi idealnya kita tau batas. Mana yang sebaiknya kita ekspose ke publik atau kita simpan. Jangan sampai akibat flexing kita justru celaka, bisa jadi karena kita pamer berlebihan kita justru mengundang bahaya, rampok atau maling misalnya.