Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat
Mak Meugang, Tradisi Ramadan Warisan Sultan, Dari Daging Turun Ke Hati
Ternyata tradisi Meugang atau Mak Meugang bukan tradisi sembarangan di Aceh kala Ramadan. Bagi para menantu baru (yang laki-laki) mengantarkan daging atau masakan menu daging menjelang puasa Ramadhan menjadi pertanda, apakah ia seorang yang peduli dengan keluarga "Mak Tuannya atau Besannya".
Bahkan jika kantong sedang cekak, menurut kebiasaan yang berlaku tetap saja diusahakan dengan banyak cara, yang penting ada bawaan yang bisa dijadikan bahan antaran untuk keluarga istri.
Begitu juga bagi para suami, menjadi sebuah tradisi yang tak bisa ditinggalkan. Jika tidak membelinya sendiri, maka ia bisa menemani istrinya berbelanja saat pagi hari usai Subuh.
Mengapa harus pagi?, biasanya para pedagang membuka lapak dadakannya sehari sebelum H-3 ramadhan. Bentuknya seperti sebuah gubuk di tengah sawah dengan palang besar di bagian tengahnya sebagai alat untuk menggantung daging sapi atau kerbau hasil sembelihan untuk dijual.
Di hari H Makmeugang para pedagang telah menyiapkan lapaknya sejak malam hari, dilanjutkan dengan pemotongan ternak dan pagi sekali usai Subuh mereka telah stand by.
Bagi para ibu "pemburu daging meugang", daging sapinya selain masih segar juga masih lengkap. Bagi yang mau masak semur, tentu ia akan memilih daging Sampil (chuck).
Jenis daging ini biasanya diolah menjadi bakso, semur, atau sup. Bagian daging sapi ini bisanya dipotong menjadi beberapa jenis potongan. Umumnya potongan daging sapi pada bagian sampil atau chuck ini dinamai dengan top blade, ranch steak, dan shoulder steak.
Ada bagian has dalam atau tenderloin (untuk steak), has luar, sirloin (untuk steak), buntut, oxtail (ini paling diburu para ibu untuk bahan sop yang lembut), gandik atau topside (untuk yang suka masak rendang), iga sapi atau rib (juga untuk steak), tanjung , rump (untuk yang suka -sate), perut sapi, flank (untuk soto babat yang aduhai enaknya), brisket atau sandung lamur (tetalan yang mantap), sengkel atau shank (untuk gulai), sampil atau chuck (punuk untuk sop).
Dengan berbagai jenis "kelengkapan" bahan olahan dari sapi untuk menu tertentu, tentu saja harus diburu langsung di jam pertama. Jika terlambat hanya akan tinggal sisa atau harus berada di antrian belakang dari kerumunan.
Sajiannya bukan hanya daging sapi atau kerbau, namun juga dilengkapi berbagai jenis hidangan tradisional lain. Manok Masam Keueng, sejenis masakan berbahan ayam dengan kuah yang sedikit pedas, Sie Rebuh-masakah berupa daging yang direbus dan diberi kuah rempah kental, Sie-Daging Masak Aceh.
Dan uniknya, hampir setiap tahun para ibu atau pasangan baru (yang baru belajar pedul dengan Meugang) sudah punya kenalan penjual daging sehingga bisa via telepon untuk membantu disiapkan pesanannya.
Semua makin mudah, bisa di bayar online (bayar dimuka, sekalian sebagai tanda serisu dan tanda tak bisa mengelaknya si tukang daging--kan udah bayar duluan!).
Tradisi Meugang atau Mak Meugang
Mengapa tradisinya disebut Meugang?.
Ada cerita unik, bahwa ternyata istilah "gang" ini diambil dari bahasa Aceh yang berarti pasar. Karena di saat jelang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, keramaian itu membuncah, maka muncul istilah "Makmu that gang nyan" atau Makmeugang yang berarti makmur sekali pasarnya. Benar tidaknya, wallauhualam
Banyak sebutan yang disematkan pada tradisi menyiapkan daging yang diperuntukkan untuk menyambut ramadhan dan menjadi hidangan awal saat sahur.
Kami menyebutnya Meugang, tapi ada juga yang menyebutnya Makmeugang, atau haghi mamagang, atau uroe Meugang. Dalam kondisi ekonomi yang syulit sekalipun, daging meugang "harus" diadakan.
Meugang sendiri memiliki arti ‘memotong’ atau ‘memotong daging’. Dalam tradisi ini, masyarakat Aceh melakukan pemotongan hewan ternak seperti sapi atau kambing dan kemudian membagikan dagingnya kepada keluarga, tetangga, dan orang yang membutuhkan.
Kini tradisi Meugang telah masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kemendikbud dengan nomor registrasi 201600295, yang didaftarkan pada tahun 2016.
Jika dulu biasa dilakukan dengan memotong sendiri ternaknya mirip Qurban, kini beralih dengan membelinya di pasar pada para penjual daging.
Menurut tradisinya, Meugang juga dikaitkan dengan adanya cara orang Aceh, memuliakan tiga peristiwa. Pertama, satu hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan (meugang puasa), hari terakhir berpuasa atau satu hari sebelum memasuki hari raya Idul Fitri (meugang uroe raya puasa), dan sehari sebelum Idul Adha (meugang uroe raya haji).
Karena gembira dengan datangnya ramadhan, maka tradisi ini ada.
Di kampung tradisi ini akan sangat kental terasa, para menantu singgah ke rumah mertuanya, para anak pulang mengantara daging untuk orang tuanya atau saudara-saudaranya.
Ini juga menjadi momen menunjukkan kepedulain kepada keluarga dan sanak saudara. Mengantar bingkisan daging untuk orang tua, keluarga jauh, kerabat walimah. Lau tradisi ini tumbuh berkembang menjadi sakral bagi masyarakat Aceh.
Biasanya anak-anak yang telah berkeluarga akan mengirimkan daging untuk keluarganya maupun keluarga suami atau istrinya, sebagai bentuk penghormatan dan ucapan menyambut Ramadhan. Apalagi bagi pasangan yang baru menikah, seserahan meugang , menjadi buah tangan bagi keluarga besar mereka yang baru.
Darimana tradisi Meugang berasal awal mulanya?
Menurut penuturan pakar kebudayaan dan juga para orang tua, ini ada kaitannya dengan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Meugang diadakan oleh Sultan sebagai tanda gembira dan syukur atas datangnya bulan ramadhan penuh berkah.
Selanjutnya meski tak disediakan langsung oleh Sultan jatah daging meugangnya, lalu diatur dalam aturang khusus bernama Qanun, tentang tradisi makmeugang dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi (Undang-undang Kesultanan Aceh).
Setelah Kerajaan Aceh ditaklukkan oleh Belanda, tradisi ini sudah tidak lagi dilaksanakan oleh raja mulai 1873. Tetapi karena hal tersebut telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh, akhirnya tradisi Meugang tersebut tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun.
Wujud Kepedulian Keluarga dan Sesama
Bagi masyarakat Aceh, makmeugang merupakan momentum penting yang harus dirayakan walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Mereka mengumpulkan uang demi menyambut tradisi makmeugang ini, tidak terkecuali orang yang sangat miskin sekalipun.
Makmeugang juga menjadi saat bisa berkumpul, menikmati awal Ramadhan bersama keluarga. Menikmati hidangan daging, saat santap sahur pertama bulan suci Ramadhan. Disinilah nilai kesakralan dan kekeluargaan yang hangat dan sangat luar biasa.
Dalam pandangan masyarakat Aceh, lauk pauk daging yang terhidang saat makmeugang merupakan berkah. Bukan soal jenis lauk mahalnya, tapi kebersamaannya.
Dan dengan hadirnya tradisi berbagi daging saat Mak Meugang, bisa mempererat silaturahim antar keluarga dan sesama. Dari kebaikan melalui daging mak meugang, bisa turun ke hati yang gembira menyambut ramadan mubarak!.
referensi: 1