RuRy
RuRy Wiraswasta

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Artikel Utama

Momen Terberat bagi Perantau adalah Ketika Harus Kembali Pergi!

26 April 2023   12:44 Diperbarui: 27 April 2023   00:31 3778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen Terberat bagi Perantau adalah Ketika Harus Kembali Pergi!
Ilustrasi pergi merantau. Sumber: Antara Foto/Fauzan via Kompas.com

Menjadi perantau atau bekerja di luar daerah sebenarnya bukanlah pilihan. Banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa seseorang harus pergi meninggalkan kampung dan keluarga tercinta. Seperti, tuntutan ekonomi, penempatan kerja, penugasan, atau menyelesaikan studi.

Pergi jauh meninggalkan keluarga dalam waktu tertentu menimbulkan rasa haru dan pilu. Tuntutan ekonomi menjadi alasan kebanyakan orang untuk pergi demi sebuah harapan dan impian.

Bagi perantau, momen Idulfitri adalah masa dimana titik kebahagiaan itu mampu direngkuh. Namun, waktu seakan begitu cepat berlalu, dan mereka harus memaksa kaki untuk kembali melangkah pergi, meski dengan berat hati.

Dari pengalaman pribadi

Setidaknya saya pernah mengalami bagaimana rasanya meninggalkan sesuatu yang sesungguhnya amat berat untuk ditinggalkan.

Tahun 90'an adalah dimana saya kali pertama merantau meninggalkan orangtua dan kampung halaman. Waktu itu hari-hari seakan terasa berat, bukan masalah beban pekerjaan yang harus saya pikul, namun rasa kangen yang terus menghantui perasaan.

Mungkin karena saat itu saya pertama jauh dari keluarga, sehingga membutuhkan proses untuk adaptasi supaya betah di perantauan. Tak jarang ketika rindu pada orangtua  muncul, saya pun memutuskan pulang kampung meski belum lama kerja, yang penting ada ongkos untuk membeli tiket bus.

Beberapa tahun sejak pertama merantau pulang mendadak sering saya lakukan. Alasannya satu, kangen! Entah mengapa kalau rindu kepada orangtua saat itu tak mampu saya bendung.

Begitu juga ketika pamit akan kembali pergi kerja, kaki terasa berat untuk melangkah. Apalagi saat itu ibu selalu mengantarkan saya sampai pinggir jalan hingga naik ojeg. Seakan ingin meronta dan menangis karena rasa berat untuk meninggalkan ibu yang tinggal sendirian.

Saya dan ibu kala itu hanya hidup berdua dengan segala keterbatasan. Di usia yang harusnya masih bersekolah, namun saya terpaksa pergi untuk mengais rupiah. Terpaksa meninggalkan bangku pelajaran dan ibu sendirian di rumah menjadi beban berat bagi saya saat itu.

Merantaulah dan keluar dari zona nyaman. Temukanlah arti perjuangan dan makna hidup. Disana kamu akan merasakan betapa keluarga adalah anugerah terbesar dari Tuhan.

Ilustrasi pergi merantau.(Foto: sahabatnesia.com)
Ilustrasi pergi merantau.(Foto: sahabatnesia.com)

Pelajaran hidup dari merantau

Selain bermaafan, momen lebaran bisa dijadikan untuk evaluasi lika-liku perjalanan hidup yang sudah terlewati. Pulang kampung bukan semata melepas lelah atau hanya untuk menumpahkan rasa rindu. Banyak hal yang perlu dikaji, entah itu perjalanan karier, pekerjaan, atau planning ke depan. 

Terpisah dengan anggota keluarga dan bekerja di lain daerah bukan keinginan kebanyakan orang. Sebagian besar dari kita memiliki harapan yang sama, ingin bisa mendapatkan pekerjaan yang tidak jauh dari tempat tinggal agar tetap bisa bersama keluarga. Hanya saja kenyataannya tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan. 

Waktu berlalu begitu cepat, dan tak terasa umur pun semakin bertambah. Pengalaman demi pengalaman pun kian mewarnai perjalanan hidup saya. Sepanjang masa selama merantau puluhan tahun ada hal yang dari dulu masih tetap membekas dan terasa hingga kini. Yaitu, beratnya langkah kaki untuk kembali pergi. 

Kondisi finansial masa lalu yang memaksa saya harus pergi dini untuk merantau meninggalkan kampung dan orangtua memberikan saya banyak pelajaran. Dari sana saya banyak memetik hikmah hingga menjadikan saya seperti sekarang ini. 

Terlepas dari semua itu, jauh dari keluarga sejak remaja menjadikan saya bisa lebih menghargai waktu. Beratnya melangkah meninggalkan keluarga dan kampung halaman saya jadikan cambuk semangat dalam meraih cita-cita. 

Dari merantau juga saya mendapatkan banyak sahabat dari berbagai daerah dengan latarbelakang adat, suku, dan agama yang berbeda-beda. Tentu saja dalam lingkup pergaulan yang sehat dan positif. 

Merantau bagi saya bukan hanya masalah pekerjaan, tetapi juga mencari pergaulan positif yang bisa membentuk kita ke arah yang lebih baik. Karena tidak jarang dari merantau menjadikan sebagian orang malah berubah tidak semakin baik, justru sebaliknya. Semua tidak terlepas dari pergaulan. 

Selain itu, merantau juga tidak hanya soal mencari nafkah, namun juga momen sekolah kehidupan, pilah-pilah dalam memilih teman juga tidak kalah penting dari pekerjaan yang kita lakoni itu sendiri. 

Kalau kita mau jujur dan realistis, seorang teman bisa membawa perubahan positif bagi diri kita, namun tidak menutup kemungkinan juga bisa membawa kita ke jurang kemunduran. 

Terlebih bagi yang awal mulai merantau dan masih awam dengan dunia luar biasanya rentan terkontaminasi pergaulan yang kurang baik. Peganglah prinsip bahwa kita keluar rumah jauh dari keluarga untuk berjuang mewujudkan harapan. Semua itu dibutuhkan integritas dan keteguhan hati. 

Ingatlah ketika kaki berat untuk melangkah pergi, namun terkalahkan oleh asa dan mimpi. Karena dari mimpi-mimpi itulah seseorang harus meninggalkan sementara orang-orang yang dicintai demi kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. 

RuRy

26/04/2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun