Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan
Risalah tentang Waktu Imsak (Berhenti Makan-Minum) Saat Akan Berpuasa
Ilustrasi: katakanlah Anda melakukan makan sahur di ruang publik, kemudian Anda imsak (berhenti makan-minum) sesuai dengan standar fajar shadiq yang ditetapkan Kemenag RI (matahari -20 derajat di bawah horizon). Dan pada saat dan tempat yang sama, Anda melihat beberapa orang Muslim lain yang masih terus makan-minum dan merokok. Jangan lantas menyalahkan mereka! Sebab boleh jadi, mereka itu mengikuti standar fajar shadiq yang 15 derajat atau bahkan 12 derajat, sehingga waktu imsaknya jauh lebih telat.
*-*-*
Perbedaan waktu imsak (berhenti makan-minum) yang terjadi antar lembaga dan/atau antar negara dipicu terutama karena perbedaan kriteria ketinggian matahari di bawah horizon, yang menjadi acuan dasar untuk menentukan waktu fajar dan imsak.
(Sebelum lanjut ditegaskan: semua kata "imsak" di risalah ini bermakna waktu berhenti makan-minum dan/atau awal waktu shalat subuh. Bukan dalam pengertian jadwal imsakiyah yang ditetapkan 10 menit sebelum fajar/adzan subuh).
Dan setidaknya ada tiga variabel utama yang perlu diperhatikan terkait cara menghitung dan mengukur kapan berakhirnya malam, atau kapan waktu tibanya fajar untuk shalat subuh dan imsak: pertama, pengertian tentang "benang putih dan benang hitam" yang disebutkan dalam Quran; Kedua, perbedaan fajar shadiq dan fajar semu; Dan ketiga, perbedaan pengertian fajar menurut hadits-hadits Nabi dan makna fajar yang berbasis teori ilmu astronomi.
Benang putih dan Benang Merah
Di dalam Quran, hanya ada satu ayat yang secara eksplisit menjelaskan waktu imsak (berhenti makan-minum) atau permulaan waktu shalat subuh, yaitu penggalan firman Allah di QS Al-Baqarah, ayat 187, yang berbunyi:
... ...
"...dan makan-minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..."
Buku-buku klasik Islam di bidang tafsir, hadits dan fikhi telah mengulas panjang lebar tentang arti benang putih dan benang hitam di ayat itu. Namun semua penjelasan tersebut tetap saja tidak/belum bisa memastikan secara presisi (melalui angka atau derajat) dan bagaimana membedakan dan mengukur secara praktis tentang benang putih dari benang hitam di ayat itu.
Imam At-Thabari (w. 310H dalam tafsirnya: "Jami'ul-Bayan 'an Ta'wil Ay Al-Quran" versi digitaal Maktabah Shamela, jilid 3, hlm. 509-539), misalnya, menukil puluhan riwayat yang mencoba menjelaskan makna benang putih dan benang hitam itu, antara lain:
Ungkapan "benang putih" bermakna cahaya siang hari, semburan cahaya matahari, yang menerangi jalan.
Sementara arti "benang hitam" adalah gelap malam, subuh yang bohong.
Diriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi bernama Udai bin Hatim bertanya tentang bagaimana melakukan sahur untuk puasa, dan Rasulullah saw mengatakan: makan dan minumlah hingga kamu (matamu) dapat membedakan antara benang putih dan benang putih. Selanjutnya, (begitu sehabis sahur) saya mengamati benang putih dan benang hitam, namun saya tetap tidak bisa membedakannya. Lalu Udai bin Hatim berkata, saya kembali menemui Rasulullah saw dan menyampaikan: Ya Rasulullah, saya tidak paham makna praktis antara benang putih dan benang merah... Kemudian Rasulullah saw menjelaskan bahwa benang putih itu adalah terangnya siang dan benang hitam adalah gelap malam.
Di riwayat lain disebutkan bahwa pada awalnya, berdasarkan ayat tersebut, ketika akan berpusasa, sebagian sahabat Nabi sengaja mengikatkan benang putih dan benang hitam di kaki mereka, dan ketika bangun untuk sahur, mereka tetap melakukan makan-minum hingga waktu di mana mata mereka bisa membedakan antara benang putih dan benang putih.
Mungkin karena saking sulitnya memastikan maksud ungkapan "benang putih dan benang putih", sehingga muncul pandangan yang lebih ektrem. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa makna benang putih adalah siang itu sendiri, bukan fajar. Argumennya: akhir/ujung siang adalah terbenamnya matahari, maka secara logika, awal siang juga seharusnya ditandai dengan terbit matahari. Dengan kata lain, benang putih diartikan siang atau putihnya siang, dan benang hitam diartikan malam atau hitamnya malam.
Selain itu, ada sejumlah riwayat yang memberikan kesan kuat bahwa Rasulullah saw pernah makan sahur bersama Huzaifah, di saat langit relatif sudah cukup terang. Dan Hudzaifah menggambarkannya dengan kalimat: "...sudah pagi, hanya saja, matahari belum terbit."
Di riwayat lain, Hudzaifah menjelaskan dengan suasana yang berbeda: "Saya pernah makan sahur bersama Rasulullah saw, dan pada saat itu, saya sudah bisa melihat dan mengidentifikasi posisi/letak panah". Artinya suasananya sudah cukup terang.
Makna Fajar Shadiq dan Fajar Kadzib
Ulama jumhur sepakat bahwa waktu shalat subuh atau awal imsak (berhenti makan-minum saat berpuasa) adalah munculnya fajar shadiq (fajar nyata). Bukan mengacu pada munculnya fajar kadzib (fajar semu).
Namun dari uraian para ulama tersebut, tidak ditemukan juga ukuran yang jelas dan pasti tentang jam berapa persisnya fajar shadiq itu muncul. Namun demikian, para ulama memberikan penjelasan ciri-ciri atau bentuknya masing-masing: fajar shadiq dan pajar kadzib.
Ciri-ciri fajar kadzib (fajar semu)
Fajar kadzib, secara letterlejik, bermakna fajar yang bohong. Di ufuk timur terlihat berbentuk mustathil (yang diilustrasikan tampak seperti ekor serigala). Biasa disebut cahaya zodiak. Kadang dinamai fajar pertama dan fajar semu. Disebut semu, karena dia muncul lalu menghilang, yang kemudian disusul kemunculan fajar shadiq (fajar nyata).
Ciri-ciri fajar shadiq
Fajar shadiq berbentuk mustathir (cahaya sudah menyebar), membentuk serupa garis yang membentang di ufuk timur (tariqatun mu'taridatun fi al-ufuk). Sebaran cahayanya bisa membantu untuk mengidentifikasi dan melihat puncak gunung atau jalur jalan.
Kesimpulannya, Quran dan Sunnah Nabi membagi periode waktu sebelum terbit matahari menjadi dua bagian: benang putih dan benang hitam atau fajar kadzib dan fajar shadiq.
Makna fajar (dawn atau twilight) menurut ilmu astronomi
Sementara pakar astronomi mengklasifikasi dan membagi periode waktu sebelum terbit matahari menjadi tiga lapis, dengan mengacu pada posisi matahari di bawah horizon, yang berpengaruh pada tingkat dan sebaran kecerlangannya (Lihat Pandu Pribadi dkk, "Penentuan Awal Waktu Shalat Subuh dan Isya Berbasis Perbandingan Tingkat Kecerlangan Langit", Penerbit K-Media, Yogyakarta, 2019), yaitu:
Pertama, fajar astronomi (astronomical twilight atau astronomical dawn) ketika matahari berada pada ketinggian 18 hingga 12 derajat di bawah horizon. Pada rentang waktu ini, langit masih cukup gelap sehingga benda-benda di sekitar tidak/belum dapat dibedakan. Jika dikonversi ke satuan waktu, 18 derajat tersebut kira-kira sekitar 65 menit sebelum terbit matahari.
Kedua, fajar nautika (nautical twilight atau nautical dawn) ketika matahari berada pada ketinggian 12 hingga 6 derajat. Pada rentang waktu ini, langit sudah remang-remang namun belum cukup untuk melihat secara jelas batas horizon di pantai dan awan. Jika dikonversi ke satuan waktu, 12 derajat tersebut kira-kira sekitar 40 menit sebelum terbit matahari.
Ketiga, fajar sipil (civil twilight atau civil dawn) ketika matahari berada pada ketinggian 6 sampai 0 derajat dibawah horizon. Ciri fajar sipil adalah hamburan cahaya matahari di ufuk sudah cukup terang, sehingga benda-benda di sekitar dengan mudah bisa dibedakan tanpa membutuhkan bantuan lampu. Jika dikonversi ke satu waktu, 6 derajat tersebut kira-kira sekitar 15 menit sebelum terbit matahari.
Lembaga/Institusi Pengukur posisi matahari di bawah horizon/ufuk pada dini-pagi hari
Tentu saja seorang Muslim tak perlu repot-repot mengamati tanda-tanda fajar setiap kali ingin berpuasa. Sebab, secara internasional, saat ini tercatat setidaknya ada 22 lembaga/negara yang mengukur waktu shalat di setiap titik di muka bumi (Lihat misalnya aplikasi online MuslimPro, pada feature prayer time conventions), yang menghitung dan menentukan waktu fajar/shalat shubuh.
Namun masing-masing dari 22 lembaga/negara ini berbeda acuan dan kriteria waktu fajar (terkait syarat berapa derajat posisi matahari di bawah horizon jelang pagi hari). Konsekuensinya, mereka juga berbeda dalam menentukan waktu imsak atau awal waktu shalat subuh.
Berikut adalah gambaran posisi matahari di bawah horizon pada dini-pagi hari, dan jarak rentang waktunya dengan waktu terbit matahari.
- Jika posisi matahari berada pada 12 derajat di bawah horizon/ufuk timur, berarti rentang waktu antara fajar shadiq dan terbit matahari sekitar 40 menit. Kriteria paling rendah (12 derajat) ini digunakan oleh Musulmans de France (ex-UOIF) Perancis.
- Jika posisi matahari berada pada 15 derajat di bawah horizon/ufuk timur, berarti rentang waktu antara fajar shadiq dan terbit matahari sekitar 53 menit. Kriteria ini digunakan oleh Basque Country Spanyol dan France Angel-150 Perancis.
- Jika posisi matahari berada pada 16 derajat di bawah horizon/ufuk timur, berarti rentang waktu antara fajar shadiq dan terbit matahari sekitar 57 menit. Kriteria 16 derajat ini digunakan Shia Ithna Ashari (Jafari) di berbagai negara, terutama di Iran dan Irak.
- Jika posisi matahari berada pada 17,7 derajat di bawah horizon/ufuk timur, berarti rentang waktu antara fajar shadiq dan terbit matahari sekitar 63 menit. Kriteria 17,7 derajat ini digunakan oleh University of Tehran, Iran.
- Jika posisi matahari berada pada 18 derajat di bawah horizon/ufuk timur, berarti rentang waktu antara fajar shadiq dan terbit matahari sekitar 65 menit. Kriteria 18 derajat ini digunakan antara lain oleh Islamic University Karachi, Pakistan; Aljazair, Turki, France Angel-18.
- Jika posisi matahari berada pada 18,5 derajat di bawah horizon/ufuk timur, berarti rentang waktu antara fajar shadiq dan terbit matahari sekitar 67 menit. Kriteria 18,5 derajat ini digunakan oleh Ummul-Qura Saudi Arabia.
- Jika posisi matahari berada pada 20 derajat di bawah horizon/ufuk timur, berarti rentang waktu antara fajar shadiq dan terbit matahari sekitar 73 menit. Kriteria 20 derajat ini digunakan antara lain oleh Indonesia, Malaysia, Brunei, Mesir dan Muslim World League (MWL).
Sebagai ilustrasi: jika mengikuti standar Indonesia (menggunakan kriteria 20 derajat), berarti waktu imsak/fajar shadiq pada Jumat 22 Maret 2024 untuk wilayah Jakarta adalah pukul 04.41 WIB. Pada hari-tanggal yang sama, jika di-switch ke standar Ummul-Qura di Saudi Arabia (menggunakan kriteria 18,5 derajat), waktu imsak akan berubah menjadi pukul 04.47 WIB, atau terpaut sekitar 6 menit.
Bahkan jika disandingkan antara waktu imsak yang menggunakan kriteria tertinggi (20 derajat) dengan kriteria yang terendah (12 derajat), maka selisih waktu imsaknya bisa terpaut lebih dari 30 menit. Contoh: sekali lagi, pada hari Jumat 22 Maret 2024 waktu imsak/fajar di Jakarta dan sekitarnya adalah pukul 04.41 WIB berdasarkan kriteria 20 derajat. Pada hari-tanggal yang sama, jika di-switch ke standar Musulmans de Fance Angel-12, Perancis (menggunakan kriteria 12 derajat), maka waktu imsak menjadi pukul 05.13 WIB, yang berarti terpaut dan lebih telat 32 menit.
Kementerian Agama RI dan kritera 20 derajat
Seperti diketahui, Kementeran Agama RI juga NU dan Muhammadiyah, sudah lama menetapkan dan memutuskan: fajar shadiq, sebagai penentu awal waktu shubuh dan imsak, muncul saat matahari pada posisi -20 derajat di ufuk timur.
Pertanyaannya: kenapa Kementerian Agama RI, termasuk NU dan Muhammadiyah, memilih pendapat bahwa fajar shadiq, sebagai penentu awal waktu shubuh, muncul saat matahari pada posisi -20 derajat di ufuk timur? Padahal secara astronomi, fajar (astronomical twilight) baru muncul ketika matahari pada posisi 18 derajat di bawah horizon. Dengan kata lain, menurut acuan baku astronomi, ketika matahari berada pada 20 derajat di bawah horizon, berarti masih malam, dan belum masuk waktu fajar. Itulah sebabnya, muncul dugaan bahkan tuduhan bahwa jadwal shalat subuh yang dikeluarkan oleh Kemenag RI, lebih cepat dari seharusnya.
Untuk menjawab pertanyaan dan uneg-uneg tersebut, pada 2018, di Labuan Bajo NTT, Kemenag melakukan pengukuran ulang tentang waktu shalat subuh. Hasilnya menunjukkan bahwa jadwal shalat subuh yang sudah diedarkan itu sudah benar. Fajar shadiq, sebagai penentu awal waktu shubuh, muncul saat matahari pada posisi -20 derajat.
Selanjutnya, pada 27-29 Juli 2022, di kawasan Observatorium Nasional (Obsnas) BRIN di Timau, Kupang, Kemenag RI bekerjasama dengan Pusat Riset Antariksa BRIN kembali melakukan pengamatan baru. Hasilnya dipublikasikan dengan foto-foto hasil pengamatannya dan lagi-lagi menegaskan: fajar shadiq sudah muncul ketika posisi matahari -20 derajat (Lihat: https://kemenag.go.id/opini/pengukuran-fajar-di-timau-konfirmasi-kebenaran-jadwal-salat-subuh-kemenag-zd3jl7 ).
Makna imsak dan shalat fajar
Secara bahasa, imsak bermakna menahan atau berhenti melakukan suatu kegiatan apa saja. Dikaitkan dengan puasa, makna imsak adalah waktu berhenti makan-minum.
Waktu imsak itu adalah juga awal waktu shalat fajar. Dan shalat fajar adalah nama lain untuk shalat subuh. Hanya di hampir semua negara-negara Arab, warga lebih sering menggunakan shalat fajar di banding shalat subuh.
Nah, di hampir semua negara, setiap tiba bulan Ramadhan, beredar jadwal imsakiyah yang mencatumkan waktu imsak yang biasanya ditetapkan sekitar 10 menit sebelum waktu fajar (shalat subuh), dengan alasan kehati-hatian. Artinya setiap Muslim dianjurkan untuk berhenti makan-minum 10 menit sebelum adzan subuh.
Misal, jika awal waktu shalat fajar adalah pukul 04.40, maka waktu imsaknya adalah pukul 04.30. Acuan dasarnya, sebagai langkah pengamanan atau kehati-hatian.
Cuma, sependek penelusuran saya terhadap buku-buku klasik Islam di bidang tafsir, hadits-hadits Nabi dan fikhi, tidak ada satupun hadits Nabi yang memerintahkan atau bahkan sekedar menganjurkan untuk membuat jadwal imsakiyah 10 menit ataupun 5 menit sebelum waktu shalat subuh.
Dan secara pribadi, selama ini, saya tidak pernah mengikuti jadwal imsakiyah. Artinya, saat berpuasa, saya berhenti makan-minum hanya ketika tiba waktu (adzan) shalat subuh.
Kesimpulan:
Mengacu pada uraian di atas, untuk sementara, saya berkesimpulan:
- Fajar kadzib (fajar semu) yang digambarkan dalam banyak buku-buku fikhi dan tafsir lebih identik dengan fajar astronomi (astronomical twilight atau astronomical dawn), yakni ketika matahari berada pada ketinggian 18 hingga 12 derajat di bawah horizon, dan langit masih cukup gelap.
- Sementara rumusan fajar shadiq lebih identik dengan fajar nautika (nautical twilight atau nautical dawn) di kalangan pakar astronomi, yakni ketika matahari berada pada ketinggian 12 hingga 6 derajat di bawah horizon, dan langit masih cukup gelap atau remang-remang.
- Katakanlah Anda melakukan makan sahur di ruang publik, kemudian Anda imsak (berhenti makan-minum) sesuai dengan standar fajar shadiq yang ditetapkan Kemenag RI (matahari -20 derajat di bawah horizon). Dan pada saat dan tempat yang sama, Anda melihat beberapa orang Muslin lain yang masih terus makan-minum dan merokok. Jangan lantas menyalahkan mereka! Sebab boleh jadi, mereka itu mengikuti standar fajar shadiq yang 15 derajat atau bahkan 12 derajat, sehingga waktu imsaknya jauh lebih telat.
Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 22 Maret 2024/ 12 Ramadhan 1445H