Supartono JW
Supartono JW Konsultan

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

1445 H (11) Tertib, Maka Menertibkan

21 Maret 2024   06:58 Diperbarui: 21 Maret 2024   07:33 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1445 H (11) Tertib, Maka Menertibkan
Ilustrasi Supartono JW

(1) Orang yang tertib, tentu akan mampu, berkompetensi, membantu menertibkan.

(2) Ikut membiarkan hal yang kita tahu bahwa itu salah, karena kita juga tidak tertib, tidak ikut menertibkan yang salah, menjadikan kita ikut bersalah (berdosa).

(Supartono JW.21032024)

Tertib diri, maka dapat menertibkan. Mengapa?  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tertib artinya teratur; menurut aturan; rapi. Selanjutnya, tertib artinya juga merujuk pada sopan atau dengan sepatutnya. Selain itu, tertib artinya juga mengacu pada aturan; peraturan yang benar dan baik. (Baca: aturan Allah dan aturan yang dibuat manusia).

Karenanya, orang yang tertib, tentu orang yang terdidik dengan benar dan baik dalam hal agama dan pendidikan (sekolah/kampus), di kehidupan dunia. Cerdas intelegensi dan personality (otak dan hati), maka akan dapat menertibkan dirinya sendiri di mana dan kapan pun, serta dalam hal apa pun, baik untuk urusan duniawi mau pun akhirat dan amanah.

Orang yang tertib, tentu akan dapat membantu orang lain menjadi ikut tertib pada hal-hal yang ada sangkut paut dengan dirinya dalam hal urusan kemaslahatan duniawi. Pun tertib tidak ikut campur pada hal yang tidak harus dicampuri.

Orang yang tertib, di mana pun dan kapan pun berada, sikap dan perbuatannya akan mencerminkan bahwa dirinya adalah orang yang tertib. Sudahkah kita menjadi golongan orang yang tertib dan dapat membantu menertibkan? Di rumah, di lingkungan masyarakat, sekolah, kuliah, pekerjaan, tempat umum, dan tempat beribadah?

Momentum fase magfirah

Bagi yang mengawali ibadah Ramadan 1445 Hijriah, Senin (11/3/2024), maka Kamis (21/3/2024) sudah memasuki fase 10 (sepuluh) hari kedua, maghfiroh (ampunan). Nabi Muhammad SAW menyampaikan, di 10 hari kedua Ramadhan supaya kita mengejar ampunan dari Allah SWT.

Maghfiroh diberikan khusus demi keselamatan orang yang berpuasa dari dosa-dosa yang telah dilakukannya, sebagai bentuk kasih sayang Allah.

Sungguh merugi mereka yang hingga memasuki sisa waktu terakhir di 10 hari kedua Ramadan, tidak memiliki keinginan kuat menyambut tawaran ampunan Allah.

Dalam Surat Ali `Imran: 133 dijelaskan, "dan bersegeralah kamu menuju ampunan (maghfiroh) Tuhanmu."

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), magfirah atau maghfirah artinya ampun; maaf. Maghfirah memang dapat dimaknai sebagai pengampunan ataupun pemberian maaf.

Oleh sebab itu, fase ini adalah momentum yang tepat untuk setiap Muslim memperbanyak doa dan memohon ampunan, atas kesalahan dan dosa yang telah  perbuat dengan zikir,  bermuhasabah, instrospeksi diri, sebab telah melakukan dosa dan kesalahan.

Seperti kesalahan dan dosa kepada orang tua, kepada pasanga hidup, kepada anak-anak (bagi orangtua), kepada tetangga, kepada kerabat, sahabat, pihak lain, orang lain, di lingkungan masyarakat, lingkungan pekerjaan, kepada bangsa dan negara sebab tidak menjadi rakyat yang patuh pada peraturan dan undang-undang, tidak punya etika dan moral. Dan, dosa terhadap Allah SAW.

Ikut menertibkan Masjid

Dalam momentum magfirah ini, saya juga mengingatkan kita semua atas kesalahan dan dosa tidak menjadi bagian Muslim yang turut membuat ibadah Ramadan di Masjid, kurang khusu.

Sebabnya, menjadi orang yang tidak peduli, tidak ikut menertibkan suasana di Masjid yang tenang saat ada jamaah yang saling mengobrol, duduk tidak dalam saf sebelum Salat Isya, Salat Tarawih, Salat Witir, mendengarkan ceramah atau kultum, dan saat berdoa.

Tidak menjadi orang yang ikut mengingatkan pengurus Masjid, karena membiarkan Imam yang memimpin Salat tidak memperhatikan tentang ibadah Salat yang meresahkan hati jamaah, membuat tidak tumaninah, karena membaca Surat yang panjang-panjang, ceramah atau kultum tidak sesuai waktu, berlama-lama, tidak efektif, tidak efisian. Tidak berpikir bahwa jamaah menjadi resah, tidak nyaman. Tidak betah. Bahkan malas untuk datang lagi ke Masjid. Para mualaf pun bisa batal menjadi mualaf. Bukan karena Allah, tetapi karena "manusianya".

Tidak turut mengingatkan Imam di Masjid-Masjid, yang saat mengimami Salat Fardu (Subuh, Isya) membaca Surat panjang di rakaat pertama dan kedua,  namun di rakaat ketiga atau rakaat keempat, bacaan Salat Imam lebih cepat dari makmum? Termasuk para Imam di Salat Jumat?

Imam-Imam Salat seperti itu, selain meresahkan hati makmum, tidak membuat nyaman, tidak khusu, juga harus jujur pada diri sendiri, maksudnya mencari pahala yang lebih atau sekadar pamer hafalan Surat panjang kepada makmum? Sekadar ria? Agar dianggap hebat, keren?

Kemudian, terkait tidak menjadi bagian penertiban dan menjaga kekhusuan karena menjadi penyebab remaja atau anak-anak menjadikan Masjid tempat ngobrol, tempat bermain (termasuk memainkan handphone), berlarian, berteriak, dan lainnya, saya melihat ada beberapa faktor yang penyebabnya masalah klasik dan kompleks, yaitu karena masih belum berhasilnya pendidikan di bangku sekolah, kuliah, hingga dalam praktik kehidupan nyata, sampai menjaga etika dan moral di Masjid pun gagal. Di antara faktor penyebabnya:

Pertama, kegagalan pendidikan tentang etika dan moral di rumah, di sekolah, dan lingkungan masyarakat, menjadikan anak-anak dan remaja yang sudah berganti baju menjadi orang tua, tidak  memiliki kompetensi menjadi orang yang tertib dan menertibkan. Jangankan menertibkan anak-anak dan remaja, menertibkan dirinya sendiri juga tidak bisa.

Ada anak-anak atau remaja yang ada di kanan kiri safnya membuat suasana tidak khusu, karena mengobrol, main hp, atau malah bermain dan berlarian, tetap diam seperti patung. Tidak ada reaksi, tidak peduli, tidak ikut menertibkan agar anak-anak dan remaja yang bikin gaduh, tertib.

Peristiwa seperti itu, bahkan dapat dijumpai diberbagai Masjid. Seolah yang harus menjadi penertib di Masjid hanya Pengurus Masjid atau Imam, atau Marbot.

Saya pun jarang mendengar ada ceramah dan kultum, yang mendidik anak-anak, remaja, hingga orangtua agar menjadi pribadi yang tertib dan menertibkan di lingkungan Masjid.

Menertibkan diri sendiri. Membantu menertibkan anak-anak, remaja, dan orangtua yang tidak tertib, mulai dari yang di samping kiri dan kanan saf, mau pun di depan atau belakang saf. Bukan diam mematung, tidak risih, tidak ada reaksi, tidak peduli. Untuk apa datang dan beribadah di Masjid bila hidup hanya untuk diri sendiri?

Kedua, seharusnya seluruh Umat Muslim bersyukur, saat Masjid-masjid diramaikan oleh kehadiran anak-anak dan remaja. Mereka adalah generasi sujud kita. Tidak semua anak-anak senang ke masjid, dan apabila mereka sudah senang ke masjid, kita tidak menjadikan mereka benci masjid gegara ada pengurus Masjid atau Imam atau Marbot yang memarahi mereka karena membuat suasan gaduh, tidak nyaman, ibadah menjadi tidak khusu.

Jangan pernah anggap mereka sebagai pengganggu karena diri kita sendiri tidak terdidik dan memiliki kompetensi bagaimana menjadi orang yang tertib. Lalu, memiliki sumbangsih ikut menjadi penertib yang benar dan baik. Bukan menjadi orang yang tidak bereaksi, tidak peduli, diam, di sekililing saf kita tidak kondusif.

Bila diidentifikasi lebih tajam, selain para makmum, jamaah yang belum berhasil dan terdidik hingga memiliki kompetensi membantu menertibkan kegaduhan di Masjid, para makmum (bapak dan ibu) yang justru berangkat ke Masjid dengan putra-putrinya, malah menjadi penyebab, suasana masjid gaduh, karena membiarkan putra/putrinya lepas dari pengawasannya. Bukan ditertibkan untuk tetap berada di samping kiri/kanan bapak dan ibunya.

Lebih parah, ternyata, banyaknya anak-anak yang sudah mencintai dan rajin ke Masjid, ternyata kehadiran mereka tidak bersama bapak atau ibunya, alias tidak didampingi karena bapak dan ibunya sedang bekerja/ada keperluan/atau memang tidak pernah ke Masjid.

Anak-anak yang tidak didampingi orangtua inilah yang sering terlupa dan tidak teridentifikasi, lalu dibiarkan mereka berada di Masjid, tidak ada yang mengatur atau menertibkan.

Padahal mengatasi persoalan anak-anak yang ke Masjid tidak bersama orangtua, Pengurus Masjid dapat mengatur keberadaan mereka, semisal dititipkan kepada jamaah. Tempatkan anak-anak di samping kiri atau kanan saf orangtua lain bapak atau ibu lain, untuk melindungi sekaligus membuat anak-anak menjadi tertib.

Melalui pengurus atau Imam, jangan memulai Salat atau kegiatan lain seperti ada ceramah/kultum, sebelum memastikan anak-anak yang hadir ke Masjid dengan bapak atau ibunya, ada di samping kiri atau kanannya. Sementara anak-anak yang ke Masjid sendiri, dibantu berada di samping kanan atau kiri bapak dan ibu yang datang ke Masjid tidak bersama orangtuanya.

Bila kita, ikut menjadi penyebab suasana lingkungan sampai Masjid tidak nyaman, karena kita menjadi patung, tidak ada reaksi, tidak ikut peduli menjadi penertib, maka kita pun menjadi penyumbang kesalahan terjadinya suasana lingkungan hingga Masjid tidak kondusif, tidak nyaman.

Untuk itu, difase magfirah ini, sadarilah bahwa Ikut membiarkan hal yang kita tahu bahwa itu salah,  karena kita juga tidak tertib, tidak ikut menertibkan yang salah, menjadikan kita ikut bersalah (berdosa).

Jangan pula, kita termasuk yang ikut-ikutan tidak menjaga etika dan moral, tidak menertibkan diri sendiri, tetapi malah ikutan menjadi pemicu tidak tertib, melanggar aturan, membuat kegaduhan di masyarakat, seperti yang dilakukan oleh para elite partai dan pempimpin negeri ini. Tidak peduli, bahkan sudah tidak punya rasa malu bila dirinya yang tidak tertib, sandiwaranya ditonton rakyat.

Yang pasti, orang yang tertib, tentu akan mampu, berkompetensi, membantu menertibkan. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun