Kisahku tentang Toleransi Beragama: Tak Ada Sekat dalam Pergaulan
"Lakum diinukum waliyadiin"
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Q.S Al-Kafirun : 6)
Islam sebagai agama rahmatallil 'alamin (rahmat bagi semesta alam) sangat menjunjung tinggi konsep saling menghargai dan menghormati antar sesama.
Dalam memilih teman bergaul, saya tidak pernah bertanya atau mempermasalahkan tentang apa agama yang dianutnya.
Sedari kecil, saya sudah terbiasa bertemu dan bergaul dengan non muslim. Bagi saya, agama bukanlah sekat dalam memilih pergaulan.
Saya memiliki tetangga dengan agama nasrani, hubungannya biasa saja seperti hubungan bertetangga yang baik pada umumnya, tak ada pembatas agama diantara kami.
Jika ramadan dan hari raya lebaran tiba, mereka pun ikut merayakan karena sebagian keluarganya ada yang beragama muslim. Jika hari raya natal, mereka juga merayakan tanpa ada gangguan dari tetangga muslim.
Di lingkungan sekolah dan kampus pun demikian.
Sewaktu kuliah, saya dibimbing oleh dosen bimbingan penelitian seorang nasrani dan hindu.
Meskipun kami berbeda agama, tak ada rasa gak enakan diantara kami. Bimbingan dilakukan selayaknya mahasiswa dan dosen yang perhatian terhadap mahasiswanya. Saya pun menghormati dan menghargai dosen tanpa memandang agamanya.
Teman kuliah juga ada beberapa yang berbeda agama. Tak jarang kami saling berkunjung ke rumah untuk menjaga tali silaturahim, mengerjakan tugas bersama dan hang out bareng.
Pengalaman toleransi beragama juga saya rasakan saat menjadi penyiar disalah satu stasiun radio swasta.
Ada seorang rekan kerja senior dengan agama yang berbeda dengan agama saya. Istrinya super duper baik. Makanan dan cemilan hampir tiap saat dibawain sebagai teman siaran saya. Sebagai balasannya, saya mengirimkan sebuah lagu lewat udara sebagai ucapan terima kasih.
Kami berteman baik, meskipun lebih banyak menyapa via radio.
Atasan saya di radio juga seorang non muslim. Pada saat bulan ramadan, ada segmentasi siar khusus ramadan menjelang berbuka puasa, dan siapapun yang bertugas siaran pada jadwal tersebut, selalu mendapatkan takjil untuk berbuka puasa. Kami juga selalu disediain THR menjelang lebaran.
Saya pun biasanya memberikan kue kering khas lebaran untuk beliau nikmati bersama keluarga.
Perbedaan memang bisa menjadi kekuatan jika dipandang secara positif namun bisa memicu konflik jika dipandang secara negatif.
Dalam surah Al Mumtahanah ayat ke-8 dalam alquran, Allah tidak melarang kita untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama dan tidak (pula) mengusir dari negeri kita. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Kehidupan yang rukun dalam menerima kemajemukan menyadarkan kita bahwa realitas kehidupan di Indonesia adalah heterogen. Tidak memaksakan untuk satu warna karena kita memang terlahir berbeda.
Sungguh indahnya hidup bertoleransi.