Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.
5 Alasan Mudik, yang Pertama Paling Utama
Pada akhir bulan Ramadan selalu para pekerja berburu cuti kerja, agar dapat mudik alias pulang ke kampung halaman. Meski harus dengan beaya mahal serta menghadapi kemacetan di jalan saat menuju ke kampung halaman, dan kelelahan karena kita dalam hari-hari puasa akhir. Namun kita sangat bersemangat untuk mudik.
Ada beberapa alasan mendasar yang menjadi penyebab kita sangat ingin mudik. Mau tahu alasannya?
1. Kerinduan pada orang tua dan keluarga
Saat penulis pertama kali merantau ke Jakarta, alasan utama mudik adalah ingin bertemu orang tua di kampung halaman. Hari Raya Idul Fitri setelah sholat Ied adalah saat paling tepat untuk mengucapkan selamat Lebaran (sungkeman) sekaligus minta maaf kepada orang tua. Juga kalau kita sudah berhasil, lalu memberikan hadiah kepada orang tua.
Memang beberapa tahun kemudian setelah orang tua meninggal dunia, kita tidak begitu nekad untuk mudik. Selama masih ada orang tua, kita sangat ingin berbakti kepada orang tua.
Karena setelah orang tua meninggal dunia, kita paling bertemu saudara atau paman / bibi, teman dan tetangga masa kecil. Yang nilainya tidak setinggi dibandingkan orang tua.
Mudik ke kampung halaman sekaligus kesempatan untuk reuni keluarga.
2. Berkumpul di rumah masa kecil
Suasana rumah di masa kecil meski kondisi rumah jelek, namun memiiki nilai nostalgia yang tinggi. Kita masih ingat saat pertama kali belajar berjalan, belajar naik sepeda maupun makan makanan masakan Ibu sehabis sekolah. Semua ini memiliki nilai historis yang tinggi.
3. Menghilangkan rasa rindu pada kuliner tradisional
Meski di Jakarta semua tersedia, namun kuliner tradisional dengan citarasa khas kedaerahan tidak mungkin dapat dirasakan di Jakarta. Contoh saja, bila kita makan di kampung halaman untuk menyenduk makanan masih menggunakan senduk dari daun yang disebut suru, dan menggunakan piring dari daun yang disebut pincuk. Di Jakarta semua sudah disajikan dengan piring dan senduk. Jadi rasanya sangat berbeda. Juga jajan pasar khas kedaerahan jarang diketemukan lengkap. Suasana pasar tradisional yang khas juga membawa memory tersendiri. Belum lagi menikmati masakan Ibu adalah citarasa yang paling langka.
4. Tempat-tempat penuh kenangan
Jalan kaki ke sekolah yang kadang-kadang sambil mencuri mangga di rumah yang kita lewati sering membawa kenangan tersendiri. Kenakalan masa kecil tentu membuat kita tersenyum disaat kita sekarang bisa membeli apapun karena sudah memiliki jabatan. Kenangan akan suasana sekolah, saat kita terkena hukuman harus berlari memutari lapangan basket, tempat kita bersembunyi saat membolos dan saat mengalami cinta monyet sangat merindukan suasana kala itu. Meski saat itu kita masih mencapainya dengan bersepeda, tapi rasanya sangat asyik bersenda gurau bersama teman-teman sebaya.
5. Menggunakan bahasa daerah
Bila di Jakarta, berkomunikasi dengan tetangga maupun teman kerja selalu menggunakan bahasa persatuan bahasa Indonesia, karena kita bertemu dengan aneka suku ada Batak, Minang, Jawa, Ambon, Sunda, Bugis maupun Banjar. Pada saat mudik (karena kebetulan kampung halaman penulis dari Jawa), kita langsung bisa berbahasa Jawa, baik di rumah, tetangga maupun pasar. Mungkin sama halnya dengan teman dari suku Minang bila mudik ke Sumatera Barat, pasti asyik berkomunikasi dalam bahasa Minang.
Inilah alasan dasar kenapa kerinduan pada kampung halaman begitu besar. Betapa besar kendala, pasti kita berusaha atasi.