Menyoal Tradisi Takbiran yang Lebih Baik dan Bermakna
Merayakan Idul Fitri bagi umat Muslim di Indonesia sudah menjadi momen yang dinantikan setiap tahunnya. Selain berkumpul bersama keluarga, bermaaf-maafan, dan saling memberi ucapan selamat, terdapat pula ritual takbiran yang biasa dilakukan untuk menyemarakkan hari kemenangan ini. Namun dalam perkembangannya belakangan, tradisi takbiran mengalami berbagai perubahan dan diskusi, apakah takbiran di masjid atau keliling kampung dengan kendaraan yang lebih baik untuk diterapkan?
Pro dan Kontra Takbiran di Masjid
Takbiran di masjid merupakan cara yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat, terutama di pedesaan dan pinggiran kota. Dengan mengumandangkan kalimat thoyyibah seperti Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah dari dalam masjid, suasana khidmat dan khusyuk dapat tercipta. Masjid selain sebagai tempat ibadah sholat juga berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan di lingkungan sekitar. Dengan demikian, menjalankan takbiran bermula dari masjid dirasa lebih bermanfaat dan memberi makna spiritual yang mendalam bagi umat Muslim.
Namun di sisi lain, sebagian pihak mempertanyakan efektivitas jika takbiran hanya dilakukan di masjid saja. Mengingat saat ini sebagian besar masyarakat tinggal di perkotaan dengan kesibukan masing-masing. Mengandalkan takbiran dari masjid saja dikhawatirkan tidak dapat menjangkau segenap lapisan masyarakat secara merata. Terlebih di kota-kota besar, lokasi masjid seringkali berjauhan satu sama lain dan lautan bangunan bisa menghalangi suara takbiran.
Fenomena Takbiran Bergerak Keliling
Beberapa tahun terakhir, muncul fenomena baru yakni takbiran bergerak dengan menggunakan berbagai kendaraan seperti mobil, motor, bahkan truk yang dihias dan dilengkapi pengeras suara untuk mengumandangkan takbir keliling kampung atau perkotaan. Cara ini dinilai lebih efektif untuk membangun semangat dan euforia merayakan kemenangan umat Muslim di hari raya yang fitri ini.
Selain itu, takbiran bergerak dianggap lebih menghibur dan atraktif terutama bagi anak-anak dan kaum muda. Sikap kreatif dalam memodifikasi kendaraan takbir dengan hiasan bernuansa keagamaan serta aksesoris lainnya seperti terompet atau mercon menjadi nilai tambah dari metode takbiran ini. Di beberapa daerah, rute perjalanan takbiran bergerak bahkan dijadikan agenda wisata dengan mengeksplorasi jalanan bersejarah, kawasan heritage, atau pusat keramaian kota setempat.
Walau demikian, pelaksanaan takbiran bergerak juga tidak lepas dari sejumlah kelemahan. Yang pertama adalah potensi gangguan terhadap lalu lintas jika armada peserta takbiran tidak terkoordinasi dengan baik sehingga menimbulkan kemacetan. Selain itu, ancaman akan kebisingan dan polusi suara juga perlu diwaspadai, terutama jika takbiran dilakukan di malam hari menjelang sahur. Belum lagi jika tidak terkendali, prosesi ini bisa disalahgunakan untuk menimbulkan kekacauan lalu lintas, pencemaran lingkungan, atau tujuan di luar konteks perayaan keagamaan semata.
Menyinergikan Dua Tradisi
Melihat pro dan kontra kedua metode takbiran di atas, kita perlu melihat jalan tengah agar tradisi ini tetap lestari dan bermakna bagi umat Islam. Paradigma "baik itu yang lama atau yang baru, tergantung manfaatnya" bisa menjadi landasan utama. Masjid sebagai pusat keagamaan di masyarakat tetap perlu dilibatkan agar nilai-nilai religiusitas seperti kekhusyukan dan keberkahan takbiran terus terjaga.
Namun di sisi lain, mengadopsi metode takbiran bergerak juga penting agar pesan dan euforia kemenangan bisa menjangkau lebih luas hingga masyarakat perkotaan. Kuncinya adalah melakukan sinergi antara kedua tradisi ini dengan perencanaan dan pengawasan yang ketat dari pihak yang berwenang. Pemerintah daerah, kepolisian, dan pemuka agama perlu duduk bersama untuk menyusun aturan pelaksanaan takbiran bergerak.
Masjid dapat mengkoordinir rute dan waktu pelaksanaan pawai takbiran bergerak agar tertib dan tidak melanggar aturan lalu lintas serta tidak mengganggu masyarakat sekitar. Peserta pawai juga perlu diberikan edukasi terkait etika dalam mengumandangkan takbir di jalanan seperti tidak berteriak berlebihan atau menggunakan pengeras suara sekeras mungkin yang bisa menganggu ketentraman warga. Tak kalah penting, aspek keselamatan seperti tertib berlalu lintas dan menjaga kebersihan lingkungan dari sampah harus diutamakan.
Prinsip silaturahmi, saling menegur dan mengingatkan sesama umat juga menjadi kunci suksesnya sinergi ini. Apabila ada pelaksanaan yang dinilai melanggar aturan atau kurang baik, masyarakat juga harus giat mengingatkan dengan cara yang bijak dan santun.
Penutup
Di akhir tulisan ini, penulis berharap agar segenap lapisan masyarakat Muslim di Indonesia bisa menyikapi perbedaan cara melaksanakan takbiran dengan bijak dan tidak mudah terprovokasi. Yang terpenting adalah tetap menjaga kekhidmatan dan kebersamaan di hari yang mulia ini. Saling mengingatkan dengan cara yang baik dan tidak saling menjatuhkan.
Dengan mensinergikan dua tradisi di atas, insya Allah takbiran akan dapat bermakna baik ketika dijalankan secara bersama-sama di masjid maupun melibatkan pawai bergerak di jalanan. Semoga momentum Idul Fitri ini bisa membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi kita semua.
Wallahu a'lam bisshawab.