Menyikapi Perbedaan Penetapan 1 Syawal
Lebaran Jum'at atau Sabtu?
Pertanyaan di atas hari-hari ini sering ditanyakan ke penulis. Anda pun mungkin beberapa kali mendengarnya, atau ditanya hal yang sama.
Pertanyaan itu muncul karena di tahun ini kemungkinan ada perbedaan penetapan tanggal 1 Syawal, atau hari Iedul Fitri.
PP Muhammadiyah telah resmi menetapkan Hari Raya Idul Fitri 2023 jatuh pada Jumat, 21 April 2023. Hal ini sesuai dengan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0E/2023 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah 1444 H.
Sementara Pemerintah melalui Kemenag baru akan menggelar sidang isbat penentuan Hari Raya Idul Fitri 2023 pada Kamis (20/4/2023) atau bertepatan dengan 29 Ramadhan 1444 H.
Keputusan sidang isbat tersebut nantinya akan diambil dari informasi awal berdasarkan hasil hisab atau perhitungan secara astronomis. Hasil hisab tersebut kemudian akan dikonfirmasi lagi lewat hasil lapangan melalui mekanisme pemantauan (rukyatul) hilal.
Rukyah dan Hisab Sebagai Metode Penetapan Awal Ramadan dan Idul Fitri
Ada dua metode yang dipergunakan dalam menetapkan awal bulan Hijriah, yaitu rukyat hilal dan hisab. Dalam tradisi keislaman di Indonesia, metode rukyah merupakan kekhasan Nahdatul Ulama, sedangkan hisab menjadi kekhasan Muhammadiyah. Kedua metode itu sah untuk dipergunakan dalam menentukan awal bulan Hijriyah.
Rukyatul Hilal
Rukyat adalah cara menentukan awal bulan dengan mengamati penampakan bulan sabit (hilal) yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak, baik dengan mata secara langsung maupun dengan alat bantu optik seperti teleskop. Jika jarak waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, secara ilmiah hilal mustahil terlihat. Rasulullah saw. bersabda,
"Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadan) dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban tiga puluh hari." (HR. Bukhari, 2/1810)
Rukyatul hilal sebagai metode yang sah dalam menentukan awal puasa dan hari raya merupakan ijmak ulama. Hal ini berkaitan dengan kondisi umat pada masa Nabi saw. yang belum familier dengan hisab. Diriwayatkan dari Ibn Umar, Nabi saw. bersabda,
"Kita adalah umat yang umi, tidak bisa membaca dan menghitung. Bulan itu begini dan begini (maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari). (HR. Bukhari, 2/1814)
Hisab
Hisab merupakan penghitungan ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi patokan dalam menentukan masuknya waktu salat, sementara perkiraan posisi bulan menjadi patokan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Meskipun tidak secara persis dipergunakan pada zaman Rasulullah saw., tetapi ia menjadi metode yang sah dalam menentukan awal Ramadan dan awal Syawal. Sandarannya adalah firman Allah Swt.:
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)." (QS. Yunus: 5)
PP Muhammad telah menetapkan 1 Syawal tanggal 21 April hari Jumat.Sementara pemerintah baru akan melakukan pemantauan (rukyah) hilal pada hari Kamis.
Kalau hari Kamis itu Hilal sudah terlihat, maka berari besok sudah memasuki bulan baru (Syawal). Sehingga tanggal 1 Syawal jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April.
Jika demikian, maka tidak ada permasalahan.Tidak ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan Pemerintah dan NU.
Permasalahannya adalah jika di hari Kamis itu hilal belum tampak. Yang artinya hari esoknya (Jumat) masih bulan Ramadan, dan tanggal 1 Syawalnya jatuh pada hari Sabtu tanggal 22 April. Sehingga terjadi perbedaan hari Iedul Fitri.
Jadi, ikut mana lebarannya, Muhammadiyah atau Pemerintah (dan NU)?
Telah dijelaskan di atas masing-masing menggunakan metode yang dibenarkan oleh agama. Jadi keputusan keduanya dapat diikuti. Anda dapat melaksanakan salat Iedul Fitri hari Jumat atau Sabtu. Tidak perlu perbedaan ini dibesar-besarkan atau dijadikan bahan pertentangan.
Bagi warga Muhammadiyah, jelas harus mengikuti keputusan organisasinya. Begitupun warga NU. Dan bagi Muslim yang secara organisasi tidak terikat kepada kedua ormas itu, dapat mengikuti keputusan pemerintah (ulul amri).
Allah Swt berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu." (QS. An-Nisa: 59)
Menurut para ahli tafsir, ulul amri berarti ulama, ahli fikih, atau penguasa. Mekanisme penetapan awal Ramadan dan Syawal dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan para ulama dan ahli fikih. Seorang muslim tidak boleh menentukan awal Ramadan dan Syawal berdasarkan kehendaknya sendiri karena harus merujuk pada ulama yang memegang otoritas dalam persoalan ini. Allah Swt. berfirman,
"Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Anbiya: 7)
Mengutamakan Kebersamaan dalam Beragama
Pilihan kita selaku Muslim yang tidak terikat kedua organisasi, Muhammadiyah dan NU, hendaknya didasarkan atas pilihan yang mengutamakan kebersamaan (i'tilaf),bukan mencari-cari kenyamanan semata (tatabbu' al-rukhash wa al-hiyal), dan tidak cenderung memperbesar perbedaan pendapat (ikhtilaf).
Jadi silahkan, Anda mau lebaran Jumat atau Sabtu.