Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...
Cerpen | Denada
Denada tersipu. Ia memakai hijab ketika tinggal di sini, dua minggu lalu. Hatinya yang menggerakkan agar ia memakai hijab. Beruntung saat kecil ia diajarkan mengaji iqra, dengan memanggil guru di rumah. Sehingga ia bisa mengajari anak-anak iqra. Sejak menjadi guru iqra, ia memutuskan memakai hijab.
"Mas Pring kapan pulang? Bukankah masih di Pekanbaru?"
"Ditanya ganti nanya. Gimana sih? Pantas saja kalau kutelepon tak pernah nyambung."
"Iya mas, di sini susah sinyal. "
"Harusnya kamu cerita padaku."
Denada meminta maaf pada Pring. Setahun sudah ia menjalani ta'aruf dengannya. Ia merasa bersalah. Tetapi Pring mau mengerti alasan Denada mengapa ia memilih tinggal di sini.
"Eh, ada tamu. Mas Pring ya? Ibu ingat. Dulu pernah nengok nak Dena waktu KKN. Gimana kabarnya?" sapa bu Astrid dari kamarnya. Di rumah ini memang hanya ada Bu Astrid dan Denada.
"Alhamdulillah baik bu Astrid. Gimana, ibu sehat selalu kan?"
Perbincangan semakin asik antara Bu Astrid, Pring dan Denada. Hingga saatnya Pring harus pamit.
"Aku pulang dulu Dena. Besok aku harus kembali ke Pekanbaru. Baik-baik di sini. Kalau bisa, pulanglah. Mamamu menunggu. Kangen padamu. Luluhkanlah hatimu. Aku yakin, kamu lembut." Denada hanya mengangguk.
***