Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022
Pekerja di Jakarta, Ramadan, dan Kesehatan Mental
Naik kendaraan pribadi macet, naik transportasi umum pun padat dan macet. Itulah keseharian pekerja di Jakarta yang tinggal di wilayah Jabodetabek.
"Kerja di Jakarta, kau bakal tua di jalan, sudah untung kalau tidak stres," kata-kata seorang kawan itu masih terngiang di telinga saya.
Padahal sudah belasan tahun yang lalu terucap, dari sebuah obrolan ngalor-ngidul di tepi jalan. Sambil menikmati nasi kucing dan segelas teh jahe.
Kini, saya masih menganggap ucapannya benar. Saya bekerja di Jakarta dengan segala hiruk pikuknya, sedangkan kawan itu masih saja tinggal di Solo dengan slow living yang terlihat nyaman.
Beberapa hari lalu, untuk kesekian puluh kalinya (atau mungkin kesekian ratus kalinya), saya melihat dua orang nyaris baku hantam. Sebuah pemandangan yang barangkali sudah terlalu biasa di Stasiun Manggarai dan stasiun-stasiun KRL lainnya.
Seorang lelaki tampak berusaha memaksakan diri masuk ke dalam KRL Commuter Line yang sudah padat penumpang. Tak kunjung berhasil mendorong tubuhnya, ia justru memantik emosi penumpang yang terlebih dahulu berdiri di bibir pintu kereta.
Keduanya nyaris adu fisik, dan memang lebih seringnya seperti itu ketika terjadi insiden di tengah keramaian penumpang kereta listrik. Selalu nyaris berkelahi, tapi tak pernah benar-benar saling adu jotos.
"Woi, puasa woii...! Sabar jangan berantem!" teriak entah siapa, dari tengah kerumunan orang.
Ya, bahkan di bulan Ramadan, ketika sebagian besar masyarakat tengah menunaikan ibadah puasa, masih ada jiwa-jiwa yang rentan terbakar emosinya.
Ketika kesabaran akan mudah ditukar dengan pahala di bulan Ramadan, rupanya masih banyak yang gagal mengelolanya.
Tak hanya di kepadatan kereta, di jalan raya pun demikian adanya. Masih banyak pengendara kendaraan bermotor yang saling potong di jalan.
Sembrono berkendara, dan tak jarang saling umpat tanpa pernah berkaca pada dirinya sendiri. Bahkan jalur transjakarta yang seharusnya steril, diserobot tiap hari oleh para pengendara yang kesabarannya setipis tisu.
Kemacetan tiap hari menjadi pemicu rentannya kesehatan mental. Perjalanan lama dan melelahkan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya, dapat menyebabkan masalah kesehatan mental bagi pekerja di Jakarta.
Situasi di jalanan bisa saja meningkatkan risiko stres, depresi, kecemasan, hingga penurunan produktivitas kerja. Ditambah dengan segala permasalahan hidup seperti biaya hidup tinggi dan kebutuhan hidup yang menghantui.
Efeknya emosi menjadi tidak stabil, mudah marah, serta mudah tersinggung. Fisik yang lelah, memicu pada kesehatan mental yang rentan.
Terlebih ketika kita terjebak di perjalanan terlalu lama, ditambah dengan risiko akibat cuaca yang tak menentu belakangan ini, dari mulai hujan deras, panas terik, hingga banjir.
Bulan Ramadan semestinya bisa menjadi momen untuk mengendalikan diri dan menjaga kesehatan mental. Puasa akan membantu seseorang menjadi lebih tenang, sabar, berperilaku positif, dan lebih fokus.
Memang, bagi pekerja di Jakarta, bulan Ramadan layaknya bulan-bulan lainnya. Jalanan masih saja padat, demikian pula di transportasi massal saat jam-jam sibuk.
Oleh karena itu pengendalian diri dan benar-benar niat untuk berpuasa menjadi sangat penting agar dapat menuntaskan ujian ketika faktor-faktor eksternal mencoba mengusik mental kita.
Puasa tanpa kekhusyukan beribadah juga apalah gunanya. Maka serangkaian puasa dan ibadah wajib serta sunnah diharapkan mampu menyeimbangkan diri menjadi lebih terkendali dalam kesalehan.
Menjaga kestabilan emosi dan menumbuhkan empati menjadi kunci bagaimana puasa Ramadan dapat membantu memperbaiki kesehatan mental kita.
Puasa mengajarkan kita merasakan bagaimana rasanya seharian menahan lapar dan haus. Hal inilah yang akan mendorong empati keluar dari diri kita, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang kurang beruntung.
Empati akan menjadikan kita lebih peduli terhadap sesama. Rasa egois pun setidaknya bakal berkurang.
Saat berada di tengah kepadatan penumpang KRL, sedikit desakan, dorongan, bahkan injakan, dapat menyulut emosi seseorang. Demikian pula di jalan raya, sebuah manuver menyalip terkadang membuat orang nyaris naik pitam.
Maka, di bulan suci ini, jika kita niatkan berpuasa dengan sebenar-benarnya, setidaknya umpatan kasar akan terganti dengan istighfar dari lisan yang terjaga.
Ramadan, seharusnya menjadi kampus sekaligus arena untuk mengasah kepedulian dan kesabaran kita. Ketika empati mulai tumbuh, dan emosi mulai dapat dikendalikan, di situlah kita akan memetik hasilnya.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY TOPIC
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025