Agus Sutisna
Agus Sutisna Dosen

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Ramadhan Talks (3): Ngabuburit Jangan Sekadar Menunggu Maghrib

16 Maret 2024   05:00 Diperbarui: 16 Maret 2024   05:25 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramadhan Talks (3): Ngabuburit Jangan Sekadar Menunggu Maghrib
www.tempo.co

Hingga batas tertentu, agama atau praktik keberagamaan dan budaya, khususnya dalam mayarakat Muslim Indonesia sudah sejak dulu tidak dapat dipisahkan. Setidaknya pada dimensi praksis, keduanya kerap saling mengisi dan "melengkapi".

Di satu sisi esensi kaidah-kaidah agama banyak yang memberi isi atau ruh pada berbagai bentuk perilaku, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan keseharian masyarakat yang bersifat lokal, otentik dan partikular. 

Di sisi lain, praktik keberagamaan juga banyak yang diwarnai oleh nilai-nilai sosio-kultural yang lahir dan berkembang dalam masyarakat setempat.

Dalam kerangka pikir itulah saya melihat fenomena menarik seputar Ngabuburit yang secara siklis berulang setiap tahun kehadirannya. Dan seakan telah menjadi salah satu ciri khas bulan Ramadan, khususnya terkait dengan amalan ibadah puasanya. Kurang lebih sama dengan kegiatan Bukber, buka puasa bersama. 

Konsep dan Fiqih Ngabuburit

Istilah Ngabuburit berasal dari kata dasar Burit (Bahasa Sunda), artinya Sore atau Petang. Ditambahi dengan awalan "Nga" menjadi "Ngabuburit" (kata kerja). Artinya adalah aktifitas yang dilakukan pada sore atau petang hari menjelang malam. Dalam konteks Ramadan, Ngabuburit adalah aktifitas yang dilakukan dalam rangka menunggu waktu Maghrib, waktunya berbuka puasa.

Ngabuburit sebagaimana dimaksud dalam pengertian diatas itu lazimnya dilakukan oleh para remaja dan anak-anak yang telah ikut menjalani ibadah puasa (shaum) sebagai cara untuk meringankan beban penantian waktu berbuka dengan berbagai kegiatan.

Misalnya jalan-jalan, main bareng-bareng teman, membaca Al Quran atau kajian Ramadan di Mesjid, atau sekedar kongkow-kongkow, yang semuanya terasa seakan bisa "mempercepat" datangnya waktu berbuka. Setidaknya, itulah yang saya pernah lakukan dan alami semasa kanak-kanak dulu.

Lantas bagaimana hukum Ngabuburit menurut syariat Islam? Atau lebih tepatnya, adakah fiqih puasa mengatur mengenai fenomena Ngabuburit ini? Dari berbagai literatur rujukan yang saya telusuri, fiqih puasa tidak mengatur soal Ngabuburit. Pun tidak ada satupun dalil baik didalam Al Quran, Hadits maupun kesepakatan Ulama yang mengatur tentang Ngabuburit.

Dalam perspektif ilmu Fiqih, ketiadaan dalil tentang sesuatu perbuatan berlaku kaidah Al aslu fi asya' al ibahah malam yaarid dalilu tahrimi. Artinya asal dari sesuatu atau benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Atau, bisa juga merujuk pada kaidah Al-aslu fil af'al ath thoyidu bi ahkami syar'iy, asal perbuatan terikat hukum syara'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun