Munir Sara
Munir Sara Administrasi

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Shopping Dulu Baru Lebaran

25 April 2021   10:11 Diperbarui: 25 April 2021   10:26 3123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shopping Dulu Baru Lebaran
Ilustrasi (sumber : save.id)

Persis pagi buta, ayam pun belum hengkang dari dahan (25/4), laman Warta Ekonomi merilis omongan menteri keuangan, yang isinya begini, "sebelum lebaran ke mall dulu, shopping dulu. Lebaran nanti beli baju baru, biar kala zoom dengan sanak famili, bisa senang sentosa."

Lalu perkara setelah itu jadi blangsak, urusan kemudian. Kalau ini bukan dari Menkeu, tapi dugaan saya saja.

Segala upaya dan bujuk rayu dituangkan, agar rakyat tergoda belanja. Pemerintah kok tak ubahnya seperti sosok SPG Shopee COD? Sampai-sampai bikin HARBOLNAS = hari belanja online nasional.

Niat amat sih? Duit-duit siapa, yang keukeuh suru belanja juga siapa? Yang bicara sih enak, sejak brojol sudah pakai sepatu mentereng.

Tak cukup disitu, para Unicorn yang rata-rata pemilik saham mayoritas bukan orang RI tulen, distimulasi Ongkir gratis Rp.500 miliar. Sudah pasti dari APBN.

Tempo sebelumnya, omongan menteri perdagangan tentang predatory pricing hingga tukang papalele di Tanah Abang sana terkaing-kaing juga peduli apa? Kesannya omong A bikin B besoknya.

Apa tak kira-kira dulu, baru bu menteri keuangan omong begitu? Dikiranya BLT Rp.600 ribu atau PKH Rp.250 ribu per keluarga, sudah cukup untuk wara wiri shopping ke mall atau ke kota untuk ukuran rakyat kecil yang kini tertekan sampai gepeng saja yang belum.

Sekali dia ke mall, buat ngojek atau ongkos ke kota saja sudah tekor. Boro-boro beli baju. Belum buat makan, sekolah anak dan tetek bengek.

Belum tentu cuma beli satu atau dua potong baju baru untuk anak. Bagaimana kalau bini pun turut rewel? Apa tidak berabe? Belum paket data untuk zoom kelak.

Di kampung saya, pelosok NTT sana, untuk belanja baju baru, mesti nyebrang laut 3-4 jam dengan ongkos kapal pulang-pergi Rp.100 ribu. Belum makan minum sepanjang jalan. Terkecuali sepanjang jalan mingkem saja.

Di tengah-tengah kondisi rakyat kecil yang kepepet, masih dikompori belanja juga. Memangnya beli pakai daun? Tentu kita mafhum adanya, konsumsi rumah tangga (household consumption), adalah engine of growth ekonomi. Kontribusinya di atas 50% of GDP/PDB.

Lagi-lagi, konsumsi RT menjadi salah satu tools penting struktur ekonomi nasional. Saya masih ingat, di era SBY keluarlah bahasa nyinyir ini. "Tanpa pemerintah buat suatu apa, ekonomi tetap jalan--tumbuh." Kenapa bisa? Karena konsumsi RT adalah prime mover pertumbuhan ekonomi. Rakyatlah yang bekerja jungkir balik.

Persentase distribusi konsumsi RT terhadap PDB nasional, selalu di atas komponen pertumbuhan lain berdasarkan PDB pengeluaran; seperti belanja pemerintah, LNPRT, investasi, inventory dan net-ekspor. Konsumsi RT menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi.

Apa artinya? Bahwa pengeluaran masyarakatlah yang selama ini menjadi salah satu struktur penting dalam teori pertumbuhan ekonomi nasional.

Maka tanpa peduli rakyat kepepet atau tidak, yang penting antum belanja. Titik. yang penting di data BPS ekonomi tumbuh di atas kertas.

Apa tidak songong namanya, kala rakyat kepepet begitu rupa, dikompori belanja, demi pertumbuhan ekonomi di atas kertas? Memangnya belanja bisa pakai daun jambu?

***

Pak Sarman adalah sosok security di tempat saya yang ulet. Kala dapat shift jaga, dia nangkring di pos tanpa bolos barang sekalipun.

Terkadang berdiri saja bagai sebatang lilin di depan gang, dari lohor ketemu subuh. Pendapatannya tak seberapa. Bininya sudah tiada. Punya anak bernama Ida.

Waktu kongko-kongko, awak bertanya, "kenapa om Sarman tak kawin sekali lagi. Apa lagi cuaca Bogor yang kadang dingin tak ketulungan? Toh om belum tampak tua bangka sebagaimana pak Rojali yang usianya sudah di tepi alam baka." Jawabnya, "mana sanggup kasih makan pak. Yang ada malah dosa, bini melarat."

Pak Sarman betul. Kebutuhan tetek bengek anak bini bukan soal remeh. Apalagi ukuran bini di abad ini, paket data juga memakan ongkos yang tak terkira mahalnya; yang perlu dipikirkan suami secara sungguh-sungguh.

Biar bini tak menderam-deram saban hari karena pendapatan kecil, biarkan dia main Tik Tok barang sedikit waktu saja di sela-sela urus anak dan dapur. Bila tidak, akan mutung kepanjangan dari maghrib hingga beduk subuh.

Satu-satunya pendapatan pak Sarman adalah dari tanggung renteng warga RT. Nah, sekarang tak sedikit warga kena PHK, bonus dipotong perusahaan. Otomatis tak sedikit yang nunggak iuran RT. Pak Sarman ikut-ikutan kena efek.

Pak Roni yang tukang ojek, saban hari nagkring berlama-lama hingga tertidur di jok motor sampai roboh ke tanah kerana kepulasan. Kelamaan ngetem akibat sepi penumpang. Tak ramai seperti biasa. Pendapatan melorot selama Corona merebak.

Kalau normal saja, pak Roni bisa bawa pulang uang -/+ Rp.300 ribu/hari. Sekarang syukur-syukur dapat goban. Buat beli bensin saja garuk kepala. Belum untuk makan minum di rumah. Kirim ke kampung. Boro-boro shopping ke mall.

Bu Menkeu, bagaimana caranya, orang-orang seperti pak Sarman dan Roni ini, belanja sesuka hati di mall seperti yang ibu ajarkan? Memang penting pertumbuhan ekonomi di atas kertas itu.

Semua demi pamor ibu; selaku menteri keuangan terbaik di seluruh dunia. Entah dari alam nyata hingga alam baka; semua akui. Hanya Rizal Ramli saja yang terkadang uring-uringan dengan menuding ibu selaku SPG utang bank dunia/IMF.

Selaku menteri yang baik, mestinya dalam kondisi yang uncertainty atau tak menentu begini, ibu Menkeu anjurkan masyarakat saving money. Bila ada kebutuhan tiba-tiba, semisal bini yang hamil tua dan tiba-tiba si bayi brojol tak terkira tengah malam, sudah siap-siap. Atau tiba-tiba pengen berbini dua---sudah ada saving money. Yang ini cuma kelakar.

***

Kalaulah kita plototin data BPS, daya beli masyarakat (purchasing power) belumlah bagus-bagus amat. Dari data BI terkait Indeks penjualan riil (IPR) misal, secara m-t-m memang ada geliat pertumbuhan. Namun secara y-o-y, menunjukkan; masih di zona negatif.

Begitu pula kalau kita lihat laju pertumbuhan konsumsi RT yang masih berada di zona negatif. Ada banyak faktor disini. Terutama yang berkaitan pendapatan masyarakat.

Kalau masih banyak orang nestapa seperti pak Sarman atau Roni, apa iya IPR akan meroket? Konsumsi RT akan nungging dan terbang seperti rudal tanpa suatu aral? Apalagi kalangan middle up yang doyan belanja juga masih mawas-- anggurin fulus di bank.

Struktur ekonomi kita kebanyakan melihat pengeluaran saja sebagai ukuran. Padahal, pendapatan masyarakat, adalah faktor penting yang terkait dengan IPR atau laju pertumbuhan konsumsi RT.

Lagi pula, di tengah larangan mudik begini, mau pakai baju baru kemana? Baju baru tampak mentereng kalau di pakai di pelosok kampung. Kalau pakai di Jakarta, siapa yang toleh? Toh rata-rata orang kota ke desa juga terkadang unjuk pamor.

Demi pamor ibu selaku Menkeu terbaik seantero dunia dan pertumbuhan ekonomi yang konsumtif tersebut, apakah kami terpaksa merogoh kocek untuk shopping lebaran? Meski setelahnya kelimpungan soal tetek bengek kebutuhan yang tentu tak cuma-cuma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun