Galak Gampil (Sebuah Cerpen)
Maghrib hampir menjelang. Tiga anak kecil masih berkutat dengan alat permainannya di serambi depan.
Main gadget. Apa lagi? Jika dulu bermain identik dengan berlarian ke sana kemari, sekarang bermain adalah duduk diam dengan gadget di tangan.
Permainan di layar tampak demikian seru. Mata ketiganya tak henti menatap layar yang menyajikan gambar berwarna-warni.
"Aku nyilih," kata salah seorang di antara mereka.
Ya, ada tiga anak , tapi gadget cuma dua. Pastinya salah satu hanya jadi penonton atau syukur-syukur jika dipinjami.
"Nih..," kata pemilik gadget pada temannya.
Dengan sigap si peminjam meraih gadget lalu memainkan permainan yang sama dengan gerakan jemari yang tak kalah lincah.
"Belum dibelikan HP, Yan?" tanya anak pertama.
Si peminjam tadi, Yayan, cuma menggeleng.
Sambil memusatkan konsentrasi pada koordinasi antara mata dan jemarinya. Permainan semakin seru.
"Galak gampil mu dapat berapa?"
"Tujuh ratus lima puluh ribu.. ," jawab Yayan
"Hah...? Banyak sekali? Mbok beli HP?" tanya temannya lagi heran.
Yayan menghela nafas. Matanya tak lepas dari layar permainannya.
"Belum boleh sama ibuk ku Don,..,"
"Lha kenapa?"
"Masih kurang katanya,"
"Iya sih, kata Masku kira - kira satu juta seratus sudah dapat HP bagus," jawab Doni, si penanya sok tahu.
"Besok bulikku datang dari Surabaya..biasanya ngasih galak gampil banyak. Mudah-mudahan bisa untuk tambahan beli HP..," tambah Yayan.
"Iya.. kalau kita main bertiga tambah asyik. Gak usah saling meminjam," timpal Aris, anak ketiga yang dari tadi hanya jadi pendengar karena asyik dengan permainannya.
"Yayan..., Ayo maghriban," sebuah teriakan membuyarkan konsentrasi ketiganya.
"Sedikit lagi, Buk..," jawab Yayan malas. Duuh, kok cepat sekali sih Maghribnya. Heran, kemarin waktu puasa Maghrib terasa lama sekali datangnya sekarang puasanya habis, Maghrib seolah datang lebih cepat.
"Ayo..Ndang...Aris sama Doni juga.. Sudah qomat itu...,"tambah ibu Yayan yang sudah memakai atasan mukenah, siap berangkat ke langgar.
Dengan malas Yayan mengembalikan HP pada temannya, lalu ketiganya bergegas menuju ke langgar yang tak jauh dari rumah.
Malam semakin larut. Meski jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan ibuk belum menyuruh Yayan dan Sari untuk segera tidur. Maklumlah , liburan masih kurang empat hari lagi.
Yayan duduk di kelas lima sedangkan Sari masih duduk di TK. Keduanya sedang asyik menonton sebuah acara televisi.
"Pak.., Bulik Surti kapan ya ke Malang?" tanya Yayan mendekati bapaknya.
"Mungkin besok Le, kenapa?" tanya bapak balik.
"Kangen sama Bulikmu?"
Yayan tersenyum. Demikian juga ibuk yang sedang menyiapkan bumbu-bumbu untuk jualan besok pagi.
Ya, ibuk adalah penjual pecel dan lontong sayur di depan rumah setiap pagi. Malam hari adalah saat ibuk menyiapkan bumbu dan membuat berbagai macam masakan.
Bulik Surti adalah adik bapak satu-satunya. Bulik Surti mempunyai usaha warung yang cukup besar di Surabaya. Karenanya uang Bulik Surti banyak, dan yang paling disenangi Yayan, Bulik sangat loman.
Apalagi pada Yayan yang begitu akrab dengan Dadik anak Bulik Surti satu satunya.
"Pak, kalau galak gampil ku itu buat beli HP kurang berapa ya?"tanya Yayan lagi.
Bapak menghela nafas . Diletakkannya obeng yang dari tadi dipakai untuk memperbaiki magic jar yang rusak.
"Kenapa harus beli HP? Pinjam punya ibuk atau bapak 'kan bisa?" jawab bapak lagi.
Yayan mulai cemberut.
"Tidak enak Pak.. pinjam-pinjam terus.., lagipula HP bapak dan ibuk kurang support kalau buat nge-game..,"
"Halah, game-game terus ae.. sebentar lagi sudah masuk sekolah, Le...," jawab bapak sambil kembali meneruskan pekerjaannya.
Wajah Yayan semakin mendung. Bapak selalu begitu, pikirnya.
"Yayan, ayo ndang tidur sana..," kata ibuk sambil menggendong Sari yang tertidur di bangku menuju ke kamar. Yayan mengikuti ibuk dari belakang.
"Buk, aku jadi dibelikan HP atau tidak?" tanya Yayan sambil membaringkan tubuhnya di dipan. Ada dua dipan di kamar mereka. Satu buat Sari, satu buat Yayan.
"Jadi Le.., tapi kan masih kurang uangnya?" jawab ibuk sabar.
"Mudah-mudahan besok Bulik Surti datang ya Buk? Biasanya galak gampilnya banyak," kata Yayan lagi.
"Hush, tidak boleh arep-arep begitu.. tidak baik," kata ibuk mengingatkan.
Yayan tersenyum kecil. Guru agamanya juga bilang begitu. Tidak boleh mengharap bahkan minta uang saat lebaran. Mengurangi keikhlasan silaturahmi, kata bu guru.
Tapi dari lebaran ke lebaran tiap anak pasti hafal siapa saja saudara yang selalu memberi galak gampil. Utamanya yang jumlahnya banyak.
Ibuk keluar dari kamar anak-anak meninggalkan Yayan yang masih berkutat dengan bayangannya tentang HP baru.
"Belum selesai Pak?" tanya ibuk sambil mendekati bapak masih asyik dengan obeng dan dan peralatan lainnya.
"Sedikit lagi..," jawab bapak singkat.
"Pak, uang Yayan bagaimana?" bisik ibuk hati-hati.
Bapak menghela nafas panjang.
"Yang 300 kemarin dipakai bayar listrik sama air kan? Tapi minggu depan ada yang minta tolong membetulkan atap dapur. Nanti kita ganti," jawab bapak tak kalah pelan.
Garapan bapak sebagai tukang serabutan memang sedang sepi. Tidak seperti biasanya, tidak ada yang minta tolong memperbaiki sesuatu pada bapak di sekitar Lebaran tahun ini. Garapan baru ada mulai minggu depan.
Ibuk mengangguk. Berarti uang yang dipercayakan padanya tinggal 450 ribu.
Ah, makin jauh dari HP impian Yayan, pikir ibuk.
Semua diam. Hanya televisi yang masih terus menyiarkan acara komedi yang semakin lama terasa semakin tidak lucu.
Sambil mengupas bawang ibuk terus memutar otak memikirkan jawaban untuk pertanyaan tentang HP dari Yayan besok dan besok nya lagi.
***
Arti istilah:
Galak gampil : THR lebaran
Nyilih : pinjam
Arep arep : mengharapkan
Ndang : cepat
Loman : pemurah, suka memberi