Sarung, Sejarah dan Filosofinya
Tema Ramadhan Bercerita hari ke 24 ini adalah tentang sarung. Outfit yang satu ini sangat banyak muncul di bulan Ramadhan.
Sarung di masa lalu identik dengan busana yang dikenakan oleh para santri, namun dalam perkembangannya tidak lagi. Kini sarung banyak dipakai untuk melakukan berbagai macam aktivitas, seperti sholat, bepergian atau menghadiri undangan.
Bentuknya yang merupakan lembaran kain dan disambung di bagian tepinya selalu mengalami perkembangan.
Coraknya semakin beragam, demikian pula modelnya. Bahkan sekarang ada sarung semi celana ataupun sarung lucu untuk anak -anak.
Meski demikian tampaknya model sarung klasik masih lebih digemari.
Sebagai outfit untuk sholat atau acara -acara lain sarung bisa dikombinasikan dengan jas, hem, baju takwa, kaos polo atau bahkan kaos biasa. Asal bisa menyesuaikan warnanya tampilan sarung akan tampak bagus.
Meski begitu banyak pemakainya, sarung bukan busana asli Indonesia. Sarung mulai masuk Indonesia pada abad ke 14, dibawa oleh para pedagang dari Arab dan India. Nah, sejak saat itu sarung menjadi busana yang sering dipakai oleh orang Indonesia.
Di balik tampilannya yang banyak disukai orang sarung ternyata menyimpan berbagai filosofi yang menarik.
Bentuknya yang longgar dan tanpa ikatan atau kancing mengajarkan pada pemakainya untuk memiliki pemikiran yang longgar atau lapang dalam menerima kebaikan dan melepaskan diri dari ikatan-ikatan rasa sombong, takabur juga sifat-sifat negatif lainnya.
Selain untuk busana dalam keseharian sarung bisa dimanfaatkan untuk selimut, alas duduk, bahkan untuk penutup kepala di kala panas matahari. Ini bermakna agar para pemakainya belajar menjadi manusia yang bisa banyak memberikan manfaat bagi orang sekitarnya.
Ya, karena agama mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi manusia yang lain.
Salam Ramadhan...:)