TRADISI

Tradisi Ramadhan di Salah Satu Desa Kecil di Kediri

1 April 2022   09:41 Diperbarui: 1 April 2022   10:04 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Ramadhan di Salah Satu Desa Kecil di Kediri
Dok. pribadi

Halo semua, wah ga terasa sebentar lagi bulan ramadan tiba. Umat muslim tengah bersuka cita menyambut bulan suci yang penuh kemuliaan ini. Pastinya kalian juga sangat menanti bulan kan. Bagaimana tidak, segala amalan-amalan kecil yang kita perbuat balasannya saja bisa lebih dari hari-hari biasanya. Bulan Ramdhan identik dengan kesucian, kekhusu`an, keramaian. Bulan Ramadhan yang Allah Ta'ala utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, sehingga dipilih-Nya sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang merupakan salah satu rukun Islam.

Sungguh Allah Ta'ala memuliakan bulan yang penuh berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu cara untuk menggapai kemuliaan di akhirat kelak, Allah memberikan kesempatan bagi hamba-hamba Allah Ta'ala yang bertakwa untuk berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Seorang muslim mengambil teladan dari para ulama salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendapatkan pahala kebaikan, pengampunan serta keridhaan dari Allah Ta'ala, agar di akhirat kelak mereka akan merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah Ta'ala dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka.

Para muslim juga bersiap menyambut bulan ini. Persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh yang dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau kurangnya keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nah para muslim di Kediri khususnya desaku memiliki tradisi unik dalam menyambut bulan Ramdhan dengan membawa makanan yang di wadahi "ambeng" atau "marangan besar" atau  "timbo"  ke mushola atau masjid. Tapi bukan timbo untuk nyuci ya guys, ini bentuknya bulat mungkin dalanya sekitar 10 cm. Dan diameternya sekitar 34 cm. Tradisi ini dinamakan "megengan" . Istilah megengan secara harfiah berarti "menahan". Kata menahan erat kaitannya dengan puasa, bahkan bisa dikatakan sebagai inti pelajaran dari puasa itu sendiri. Rupanya, itu juga merupakan pesan dan seruan bagi masyarakat untuk mempersiapkan salah satu rukun Islam. Tradisi semacam ini mungkin sulit ditemukan di daerah lain karena sifatnya lebih kedaerahan. Megengan merupakan ciri khas Muslim Jawa sebagai bentuk penghormatan terhadap Islam.

      

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Setiap keluarga, terutama para ibu, bisa memanjakan diri dengan memasak. Ada salah satu makanan yang bisa di katakan di wajibkan dalam megengan yaitu kue "apem". Kue apem ini memiliki filosofi yang dalam, dari dalam bisa diartikan sebagai simbol permintaan maaf.

Sejarah awal tradisi Megengan sulit dilacak. Namun, anggapan yang kuat adalah bahwa hal itu berasal dari pemikiran Sunan Kaliyaga. Seorang wali dikenal dengan kecerdasan dan kreativitasnya yang tinggi dalam seni dan budaya.

Perintah megengan tidak langsung ada dalam Islam. Namun perintah untuk berbagi/sedekah,  menjaga silaturahmi dan berdzikir sebagaimana shalat tercermin dalam Islam. Megengan merupakan salah satu bentuk penerapan nilai-nilai Islam yang dikemas dalam sebuah tradisi yang disebut megengan.

Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan megengan. Di desa saya biasanya masyarakat bersatu untuk doa bersama di musholla setelah sholat tarawih. Sederhananya, dengan meganan ini kita terpanggil untuk menerapkan nilai-nilai Islam melalui tradisi lokal. Tentu, megengan memiliki manfaat bagi diri sendiri, orang lain, bahkan orang yang sudah meninggal.

Masyarakat desa masih ada adat seperti itu karena memang culture atau budaya yang masih kental dan masyarakat desa juga sulit terpengaruh dengan budaya kota atau budaya westren. Tradisi ini merupakan tradisi warisan nenek moyang yang sampai saat ini masih tetap di lestarikan oleh masyarakat setempat dengan penuh riang gembira dalam rangka menyambut datangnya bulan suci.

Tidak hanya megengan, pada H-1 puasa biasanya disiang hari masyarakat juga berkenjung ke makan kerabat dekat yang telah meninggal. Tradisi ini dinamakan "nyekar".

Nyekar berasal dari kata Jawa sekar yang berarti kembang atau bunga. Dalam praktiknya, memang ziarah ini melibatkan penaburan bunga di atas makam yang dikunjungi. Di dalam nyakar, yang pasti dan umum terjadi, adalah pembersihan makam dan pembacaan doa, yasin, serta surat-surat pendek Al-Quran.

Nyekar  bisa dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama dengan anggota keluarga lain, baik laki-laki maupun perempuan. Tradisi nyekar sebelum Ramadan ini muncul dari keinginan umat Islam untuk memasuki Bulan Suci dengan keadaan bersih dan penuh "kekuatan". Mereka ingin segala kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja, dimaafkan oleh teman-teman, saudara-saudara, dan seluruh keluarga agar mereka bisa menjalani puasa dengan lancar, tenang, dan tulus. Permohonan maaf ini juga mereka tujukan pada anggota keluarga dan leluhur mereka yang sudah meninggal sekaligus untuk meringankan beban anggota-anggota keluarga yang sudah wafat itu. Nyekar akan mengingatkan diri mereka bahwa setiap manusia kelak juga akan mengalami kematian. Diyakini bahwa tradisi ini diperkenalkan oleh para wali yang di satu sisi meneruskan tradisi penghormatan kepada roh leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut ajaran Hindu-Budha saat itu dan di sisi lain menyelaraskan dan membingkainya dengan ajaran Islam. Secara teologis, tradisi ini memang masih memiliki hubungan dengan akidah Islam tentang kematian bahwa setelah manusia meninggal, rohnya akan meninggalkan jasad dan akan berada di alam barzakh hingga nanti hari kebangkitan atau hari kiamat. Sedangkan ziarah kubur juga memiliki dasar-dasarnya di dalam Islam sebagaimana termaktub dalam hadits nabi yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, dan at-Tarmizi: "Dahulu aku telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat." (Hairus Salim HS).

Nah kalian sudah tahu kan tradisi di desaku seperti apa. Memang adat jawa sangat sulit hilang di beberapa desa kecil di Jawa Timur. Karena mereka menganggap bahwa tradisi yang baik harus tetap dilestarikan dengan riang gembira dan ikhlas sehingga penuh dengan keberkahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun