orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.
Cerpen | Rembulan dalam Stoples Kaca
Marsiti dan anak-anak rindu. Marsiti rindu suaminya. Anak-anak rindu bapaknya.
Bang Toyib, Bang Toyib, mengapa tak pulang-pulang? Anakmu, anakmu panggil-panggil namamu.*
"Kapan Bapak pulang, Mak?"
"Iya, Mak, kapan Bapak pulang?"
"Sabar ya, Nak," hibur Marsiti, "Bapak masih mengambil hilal."
"Hilal itu apa sih, Mak?"
Marsiti terdiam. Ia tidak memiliki informasi tentang hilal meskipun kata itu sering disebutnya dan pernah juga dibencinya.
"Apa ya, pokoknya hilal. Hilal ya hilal," ucap Marsiti sekenanya.
"Kata temanku, hilal itu rembulan."
Marsti jadi ingat. Bang Toyib pernah cerita setiap menjelang malam Hari Raya orang-orang selalu ingin melihat hilal. Ada yang memakai teropong diarahkan ke langit. Ada yang menggunakan mata telanjang.
Mengapa hilal dicari-cari setiap menjelang Idul Fitri? Mengapa tidak mencari baju baru, sandal baru, sarung baru, mukena baru? Hilal kok dicari. Orang zaman sekarang memang aneh, gumam Marsiti.
Kabarnya, orang-orang di kota suka berselisih soal hilal. Ada yang mengatakan hilal telah muncul. Ada yang membantah hilal belum kelihatan. Siapa yang benar? Marsiti tidak tahu.