Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com
Pola Konsumtif Bukan Kebiasaan Orang Beriman
Sungguh, Ramadan bulan penuh kemulian. Sudah semestinya, orang beriman berbahagia dalam naungan bulan mulia. Masih terekam di benak, tausiyah KH. Budi Ashari menyoal ciri orang mulia. Yaitu mereka yang berbahagia, menyambut datangnya Ramadan mulia.
Dalam hal ini, dibutuhkan jawaban yang sangat jujur dari hati. Bagaimana sikap kita, menghadapi Ramadan tiba. Naudibillah, kalau biasa-biasa saja. Senyampang nyawa dikandung badan, mari segera bergerak dan berbenah. Merapatkan barisan ke orang-orang soleh solihah, agar di akhir hidup berada di golongan orang-orang beruntung-- amin
Baca : Kompasianers Seberapa Ramadankah Kalian ?
Kompasianer, bagaimana Ramadan kalian sejauh ini?
Kemungkinan, ada diantara kita mulai memenuhi undangan buka puasa. Atau merencakan hangout satu gengs, janjian ngabuburit lanjut berkegiatan bersama. Atau ada memikirkan menu berbuka dan sahur, selain dikonsumsi sendiri ada ide dibisniskan. Apapun, semoga Ramadan menjadi jalan menuju kebaikan.
Dan ternyata soal pola konsumsi, bisa menjadi (salah satu) tolak ukur iman seseorang. Saya mendapatkan ilmunya, dari kajian bersama Ustad Fitrian Kadir Lc. Menyimak dan meresapi materi ini, saya merasakan universalitas islam tercermin. Bahkan Islam, sampai mengatur soal pola konsumsi makanan.
Iya, bener soal makan.
Kegiatan tiga kali sekali, yang tidak pernah bosan dilakukan dari lahir sampai sekarang--- Maha sempurna Alloh dengan segala penciptaan kehidupan yang dasyat ini. Konon dari perkara konsumsi (makan), kalau dirunut terkait dengan carut marut keluarga dan lebih besar lagi (carut marut) bangsa.
Misalnya soal minyak goreng langka, yang ketika barang muncul mendadak harganya selangit. Semua itu (kalau diperhatikan) tidak lepas, dari soal perut atau pola konsumsi masa kini.
Cara efektif membenahi hal ini, adalah dimulai dari unit terkecil (individu) dipraktekkan ke komunitas terkecil yaitu keluarga. Butuh effort tidak sebentar dan berkesinambungan, tetapi kalau tidak dimulai tidak bakal terjadi perubahan.
Menariknya orang beriman, ketika Alloh SWT membicarakan konsumsi (output), langsung paham soal produksi (input). Konsumsi yang diridhoi adalah yang halal, maka otomatis terhubung dengan pemasukan yang halal juga. Konon sedekah, kalau dari harta haram Alloh tidak menerima.
Ibadurrahman ( Hamba Yang Maha Penyayang-- sekelompok manusia yang dipuji kemuliaanya oleh Alloh), dalam pola konsumsi berada ditengah alias tidak kikir dan atau tidak boros. Mereka bisa mengukur kadar diri dan kadar harta.
Dalam soal membelanjakan harta, ibadurrahman memegang prinsip keadilan. Maka kalau ada pepatah "Besar pasak daripada tiang", kemungkinan besar tidak berlaku bagi kelompok dicintai Alloh SWT.
Pola Konsumtif Bukan Kebiasaan Orang Beriman
"Hari ini kita dibombardir dengan semangat untuk konsumtif dari segala sisi" jelas Ustadz Fitrian
Mulai dari keluar rumah, naik motor, berpindah naik di dalam kereta, di stasiun, di jalan menuju kantor, kita disuguhi iklan dari segala penjuru.
Pun saat rebahan di dalam kamar, kemudian membuka smartphone. Iklan ini dan itu muncul, menggoda pertahanan diri. Bahkan hari ini, ada yang menawarkan fasilitas untuk hidup konsumtif. Ketika ditawari berbelanja tetapi tidak ada duit, maka ada lembaga atau perusahaan yang menawarkan fasilitas kredit.
Beda dulu beda sekarang.
Sahabat di jaman Rasulullah, utang terjadi hanya dalam keadaan darurat. Sampai Kanjeng Nabi bersabda, orang yang memberi utang pahalanya bisa tinggi dari yang menerima. Malaikat Jibril mempersaksikan Nabi mulia, bahwa sahabat tidak berutang kecuali dalam keadaan terdesak.
Sementara sekarang, utang sudah menjadi bagian life style. Kita yang jelas tidak butuh satu barang, tiba-tiba tertarik membeli karena ada discount. Kita yang tidak punya uang, mendadak berbelanja karena ada "buy now pay later". Kita paham konsep membeli sesuai kebutuhan, tetapi iming-iming program 11-11 atau 12-12 menggoyahkan pertahanan. Ujung-ujungnya, kita dibentuk menjadi manusia konsumtif.
"Ini bagian pola konsumsi yang tidak dilakukan ibadurahman," tegas Ustadz.
------
Ibadurrahman, adalah standart sikap yang berorientasi pada kebaikan dunia dan akhirat. Karena Alloh melihat hambaNya, bukan dari banyak harta tetapi dari cara menyikapi harta. Ada sahabat Nabi yang kaya raya (misalnya Abdurahma bin Auf), tetapi ada sahabat yang miskin harta.
Tetapi sahabat adalah manusia hebat, focusnya justru pada cara menyikapi harta dipunya. Sahabat dengan banyak harta tidak serta merta sombong, demikian pula yang miskin tidak rendah diri.
Saya ingat kisah Abdurahman bin Auf yang menangis, karena apapun yang dikerjakan selalu mendatangkan uang. Sahabat mulia ini dilanda rasa kawatir, bahwa bagiannya (kemuliaan) di akhirat tak bersisa -- karena telah habis di dunia.
Kemudian Abdurrahman bin Auf, disarankan rajin bersedekah. Sampai masyarakat dalam satu wilayah, tidak ada satupun yang tidak pernah berurusan dengan kebaikan beliau. Sepeninggalnya, sahabat mulia mewariskan harta cukup banyak.
Kita bisa berkaca, sebegitu kuat agama islam membangun karakter seseorang. Bahwa kaya harta atau miskin harta, tidak sama sekali memengaruhi keimanan. Mereka golongan Ibadurrahman, diselamatkan dari sifat kikir dan sifat boros. Mereka adalah orang-orang degan standard sukses, diukur dari kacamata Al Quran.
Subhanalloh, mari kita introspeksi. Tentang sikap sejauh ini, adakah indikasi sifat ibadurrahman sudah ada di dalam diri. Atau masih jauh, bahkan tidak ada tanda (ibadurrahman) sama sekali.
Paling simpel, bisa dimulai dari mengukur apakah diri termasuk konsumtif. Semoga bermanfaat.