Goro Menyambut Ramadhan: Membangun Kesadaran Kolektif
*****
Seiring matahari yang semakin tinggi di langit, hasil dari kerja keras kami mulai terlihat jelas. Jalan yang tadinya berantakan, kini telah berubah menjadi rapi dan menyenangkan untuk dipandang. Batang nangka yang tumbang telah dipotong dan ditata dengan rapi di tepi jalan, sementara ranting dan daun yang berjatuhan dikumpulkan di satu tempat, menunggu untuk menjadi kompos atau diubah menjadi abu.
*****
Di tengah kesibukan, canda dan tawa terus bergema, mengisi udara dengan keceriaan yang menular. Saling sindir menjadi bumbu yang menambah keakraban, seringkali berakhir dengan gelak tawa yang memecah keseriusan pekerjaan. Keringat yang mengalir dari dahi ke pipi, akhirnya menetes ke tanah, menjadi saksi bisu atas usaha yang telah dilakukan.
Sudah ada beberapa warga yang berpura-pura bertanya, "Pak ketua (walaupun saya bukan lagi ketua, panggilan tetap melekat), kira-kira kita gotong royong sampai jam berapa ya?" Seolah-olah mereka tidak tahu bahwa makan siang bersama sudah menjadi tradisi.
Saya tersenyum, mengerti penuh akan sindiran tersebut. Ini bukan sekadar pertanyaan, melainkan bagian dari kegembiraan yang tak terpisahkan dari gotong royong. Ini adalah saat-saat dimana kebersamaan menjadi lebih dari sekadar kerja bakti, melainkan juga tentang membangun kenangan dan kehangatan di antara kami semua.
*****
Sambil menikmati istirahat yang sebentar, saya duduk menunggu kedatangan nasi bungkus yang akan mengisi tenaga kami kembali. Saya memperhatikan kulit di sekitar telunjuk dan ibu jari kiri saya yang mulai mengelupas, menampakkan lapisan di bawahnya yang sedikit basah oleh cairan. Telapak tangan kanan saya pun menunjukkan tanda yang sama. Ada rasa perih yang muncul, tapi itu tidak cukup untuk mengalihkan perhatian dari rasa puas akan pekerjaan yang telah kami lakukan.
Ini bukanlah pengalaman baru bagi saya; ini adalah sesuatu yang telah saya alami berulang kali sejak masa kecil. Setiap kali ada gotong royong, dan terutama setelah periode tanpa menggunakan cangkul atau kapak, kulit tangan saya akan bereaksi. Jika saya tidak menggunakan kedua tangan atau tidak membungkus gagang alat dengan kain, kulit telapak tangan saya pasti akan mengelupas dan mengeluarkan cairan. Ini adalah pengingat fisik dari kerja keras dan dedikasi yang telah saya berikan, sebuah tanda kehormatan dari gotong royong yang telah menjadi bagian dari hidup saya.
*****
Dan sebagai penutup, Goro diakhiri dengan makan siang bersama. Nasi bungkus disajikan sebagai tanda terima kasih dan apresiasi atas kerja keras semua yang terlibat. Ini bukan hanya tentang perut yang kenyang, tetapi juga tentang hati yang senang dan puas dengan apa yang telah dicapai bersama.