Mengajarkan Anak Ibadah Puasa, Relevansi Praktis Hari Pendidikan Nasional
Ramadan adalah waktu spesial. Tidak hanya bagi orang dewasa tetapi juga anak-anak. Tidak hanya terkait pemenuhan kewajiban agama, tetapi juga bagaimana menanamkan kesadaran dan kecerdasan spiritual kepada generasi penerus.
Saban 2 Mei bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional. Bukan kebetulan peringatan yang diangkat dari hari lahir pahlawan pendidikan, Ki Hajar Dewantara itu, terjadi di bulan Ramadan. Pendidikan pada dasarnya tidak hanya menyasar aspek intelektual semata, tetapi juga spritual.
Secara etimologis kata pendidikan berasal dari bahasa Latin, ducere. Kata itu berarti "menuntun, mengarahkan, atau memimpin." Awalan "e" berarti "keluar." Dengan demikian pendidikan dalam arti paling sederhana adalah "kegiatan menuntun keluar."
Menuntun ini bisa mengacu pada banyak hal. Begitu juga "keluar" dapat dimaksudkan pada banyak aspek. Untuk membuat pengertian ini lebih jelas, definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia sekiranya bisa mewakili. Di sana disebutkan pendidikan sebagai "proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan."
Masih mengacu pada sumber yang sama, dalam penerapannya, pendidikan ini bisa mengacu pada banyak hal, mulai dari pendidikan akademik dan nonakademik, pendidikan formal dan informal. Begitu juga terdapat pendidikan keagamaan yang mana mengacu pada "pengajaran dengan sasaran utama memberikan pengetahuan keagamaan dan menanamkan sikap hidup beragama."
Keteladanan Orang Tua
Pada definisi terakhir itu kita bisa menempatkan maksud dan tujuan mengajak dan mengajarkan anak tentang Ramadan. Selama bulan puasa ini, para orang tua bisa mengambil bagian dalam proses pendidikan spiritual pada anak-anaknya.
Pendidikan itu pada dasarnya sebuah proses. Begitu juga perbuatan mendidik mensyaratkan arahan dan pendampingan dari orang-orang tertentu. Dalam konteks Ramadan, seorang anak bisa belajar tentang puasa misalnya, melalui bantuan pendampingan dan pendidikan orang tua. Anak dan orang tua sama-sama berproses agar kewajiban agama itu bisa dipahami sang anak. Kemudian ia menjalankannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Ada orang tua mulai memperkenalkan puasa sejak anaknya berusia tujuh tahun misalnya. Tak sedikit orang tua yang baru mulai mengajak anaknya berpuasa saat berusia sembilan atau sepuluh tahun. Namun kepada sang anak, puasa itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Katakanlah berpuasa setengah hari.
Orang tua beralasan, memperkenalkan puasa lebih awal akan membuat mereka bisa lebih cepat mengenal kewajiban agama itu. Pada waktunya, mereka akan dengan mudah ambil bagian secara penuh.
Sebagai sebuah proses, mengajari anak berpuasa memang tidak mudah. Seorang anak memang tidak harus berpuasa sebelum mencapai pubertas. Namun begitu, tidak ada kata terlalu dini untuk mulai mempersiapkan anak-anak. Beberapa strategi dan pertimbangan ini sekiranya bisa dipraktikkan.
Pertama, ada ungkapan "practice makes perfect." Cara terbaik untuk mengasah keterampilan atau membuat satu lebih baik adalah dengan berlatih tanpa henti. Latihan akan membuat sempurna.
Demikian juga bisa diterapkan pada anak untuk mulai mengajak mereka berpuasa. Anak-anak perlu dilatih untuk berpuasa melalui proses bertahap. Misalnya mulai dari durasi tiga jam, lalu meningkat menjadi lima jam, lantas setengah hari. Pada waktunya, mereka akan mampu menghadapi tantangan berpuasa selama sehari penuh.
Kedua, orang tua perlu memperhatikan asupan selama anak berpuasa. Bagaimanapun mereka sedang dalam tahap pertumbuhan. Perlu memperhatikan gizi seimbang.
Pada waktu yang sama, orang tua perlu mengontrol pola konsumsi sang anak. Jangan sampai asupan makanan didominasi oleh unsur-unsur yang bisa mengganggu kesehatan, atau bahkan mengganggu puasa. Misalnya, makanan asin dan manis berlebihan yang bisa meningkatkan rasa haus.
Sebagai gantinya, baiknya menyediakan makanan tinggi serat dan protein. Tujuannya untuk membuat mereka bisa kenyang lebih lama.
Ketiga, tidak ada salahnya memberikan penghargaan kepada anak. Melalui sistem "reward" yang jelas, sang anak tentu akan terpacu untuk mencapai tujuan. Misalnya saja bila anak bisa berpuasa teratur selama beberapa hari, atau seminggu, dengan durasi yang konsisten, maka kepada mereka akan diganjar hadiah tertentu.
Hadiah tidak harus mahal. Tidak juga berupa mainan semata. Bisa jadi hadiah itu dalam bentuk makanan ekstra yang menjadi kesukaan mereka. Hal ini tentu akan memacu sang anak bersemangat menjalani hari-hari puasa selanjutnya.
Keempat, sebagai bagian dari sistem penghargaan, setiap perkembangan anak dalam berpuasa harus tetap berada dalam pantauan dan pengamatan orang tua. Bila perlu orang tua membuat kalender warna-warni untuk menandai setiap perjalanan puasa sang buah hati.
Kalender itu bisa di tempel di dinding yang juga bisa dilihat sang anak. Untuk setiap hari yang berhasil dilalui dengan sukses bisa ditandai dengan stiker menarik dan kata-kata penyemangat. Hal seperti ini tentu memantik rasa percaya diri dan membuat sang anak merasa dihargai.
Kelima, orang tua tidak hanya bertugas untuk mengarahkan dan memantau puasa anak. Perlu kiranya melibatkan anak lebih jauh, misalnya mengajak mereka untuk terlibat menyiapkan makanan atau meja. Semakin seorang anak dilibatkan dalam proses sehari-hari maka niscaya akan timbul rasa tanggung jawab.
Keenam, tentu kepada setiap anak, sebelum mulai berpuasa, kepada mereka sejauh dapat diberikan arahan dan penjelasan mengapa harus berpuasa. Setiap anak tentu memiliki rasa ingin tahu terhadap apa yang dimintai untuk dilakukan.
Alih-alih memeram rasa penasaran sang anak, baiknya para orang tua memberikan pemahaman tentang pentingnya Ramadan bagi mereka. Bisa meluangkan waktu untuk memberikan penjelasan mengapa seseorang harus berpuasa. Sambil dengan itu mendorong sang anak untuk membaca Alquran atau doa bersama.
Ada banyak cara untuk mengajari anak berpuasa. Bisa melalui buku-buku atau melalui komunikasi langsung atau pembicaraan tatap muka.
Penting kiranya orang tua menyadari bahwa tidak semua anak akan mengalami pengalaman berpuasa yang sama. Ada kalanya muncul perbandingan di antara anak-anak atau di kalangan orang tua. Untuk itu seorang anak berpuasa tidak pertama-tama karena melihat anak orang lain telah berbuat demikian.
Ketujuh, memimpin dengan memberi contoh (lead by example). Orang tua menjadi anutan. Sebelum meminta seorang anak untuk melakukan kewajiban agama, orang tua harus terlebih dahulu memberi teladan. Tidak semata-mata melalui kata-kata tetapi perbuatan.
Teladan yang baik tentu akan menggerakan anak. Seorang anak akan cenderung bertindak mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Untuk itu sulit membayangkan seorang anak bisa berpuasa dengan baik bila orang tua tidak memberikan contoh sepatutnya.
Sekali lagi pendidikan keagamaan adalah proses. Serentak keteladanan. Mengharapkan seorang anak bisa bertumbuh dan berkembang dalam aspek rohani, maka orang tua harus terlibat aktif dalam setiap proses itu. Keterlibatan orang tua di antaranya melalui contoh nyata.
Langkah Praktis
Ada banyak cara yang bisa ditempuh orang tua untuk mulai menanamkan pendidikan keagamaan terkait puasa sejak awal. Latihan berpuasa yang dilakukan seorang anak bisa mengambil sejumlah tip berikut ini.
Untuk anak yang belum menginjak usia tujuh tahun, bisa mulai menempuh cara-cara seperti ini. Pertama, membangunkan mereka untuk sahur dan membiarkan mereka makan bersama. Lalu izinkan mereka bermain sebentar lantas tidur.
Kedua, bangunkan anak sekitar pukul 11 pagi atau satu jam sebelum tengah hari (Dzuhur) untuk berbuka puasa. Selanjutnya mereka diizinkan untuk makan sampai sebelum salat Dzuhur.
Ketiga, selanjutnya anak-anak bisa diajak untuk berbuka puasa lagi saat Ashar. Mereka makan dan minum, lantas kepada mereka juga diajak untuk ikut terlibat dalam rutinitas tersebut.
Selanjutnya untuk anak berusia delapan hingga sepuluh tahun, proses yang ditempuh tak jauh berbeda dengan yang berusia lebih muda. Mulai dengan membangunkan mereka untuk sahur, membiarkan mereka makan dan minum, sambil menajarkan mereka tentang pentingnya makan sahur agar tetap terhidrasi sepanjang hari.
Berikutnya memberikan mereka kesempatan berbuka puasa saat Dzuhur untuk memulihkan tenaga sekaligus mengisi amunisi untuk berpuasa hingga maghrib. Bila sampai mereka berhasil melakukannya maka akan menjadi sebuah pencapaian tersendiri.
Dengan pertimbangan dan cara-cara di atas sekiranya seorang anak bisa mendapatkan pendidikan keagamaan yang baik. Mengajari dan membimbing mereka untuk memahami dan terlibat dalam aktivitas puasa misalnya adalah langkah besar dari sebuah proses pendidikan keagamaan. Bila demikian, maka Hari Pendidikan Nasional tahun ini akan mendapatkan makna yang lebih relevan dan praktis.