Memutar Kembali Malcolm X, Menjawab Tantangan sebagai Agen Perubahan di Bulan Ramadan
Film bertema religi kadang memiliki nasib tragis. Dianggap pas untuk orang-orang yang menganut agama tertentu. Pasar film terkait agama hanyalah mereka yang meminatinya dan masuk kategori pemeluk teguh.
Hal ini bisa dipahami bila kita melihat sepak terjang agama dalam sejarah peradaban manusia. Agama masih dianggap sebagai isu sentral sehingga selalu menarik perhatian dunia dari masa ke masa.
Agama adalah subjek "seksi" dan sensitif yang tak pernah boleh dibicarakan sembarangan. Masing-masing agama dianggap memiliki kaveling masing-masing yang tak boleh bersentuhan, apalagi bersinggungan.
Bila menggunakan alur pemikiran ini maka membicarakan film bertema agama bisa menjadi masalah.
Banyak sutradara di seluruh dunia terus berjuang untuk menggarap aneka film bertema agama. Tujuannya tentu tidak untuk kepentingan komersial atau agitasi belaka.
Di baliknya, mereka coba mengirim pesan tertentu melalui perjuangan kreatif dan artistik untuk mengangkat kisah iman, renungan-renungan filosofis yang mendalam, berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perdebatan berabad-abad, hingga mencari makna melalui interpretasi yang selaras zaman.
Karena itu, sasaran film religi tidak semata-mata untuk penganut agama tertentu. Penonton religius bukanlah kaum yang lebih berhak memonopolinya.
Sama seperti seseorang yang menganut salah satu agama bisa menikmati film yang sama sekali tidak berkaitan dengan agama, begitu juga penonton bisa bebas menikmati film bertama agama apa pun untuk menemukan nilai di sana, entah hiburan, pengetahuan, hingga kepuasan emosional tertentu.
Apalagi tidak semua film religi dikupas secara terang benderang. Terkadang diramu secara halus, bahkan tidak menyinggung anasir agama sama sekali. Namun, memuat perjuangan kebaikan, keadilan, kesetaraan, dan cinta kasih yang sesungguhnya menjadi nilai yang diperjuangkan dan ditawarkan setiap agama.
"Ben-Hur" (1959), "Schindler's List" (1993), "Silence" (2016), dan "Minari" (2020) adalah beberapa contoh film religi yang menampilkan kisah terkait Kekristenan tetapi bisa dinikmati siapa saja tanpa memandang latar belakang tertentu.
"Ben-Hur" adalah film alkitabiah yang mendapat apresiasi luas . Kisah tentang seorang pria bernama Judah Ben-Hur yang dijual sebagai budak. Ajang balapan kereta menjadi pintu pembebasan baginya dan keluarganya.
Digarap secara epik untuk mengangkat kisah disekitar waktu yang sama dengan kehidupan Yesus Kristus. Namun, pentonton sama sekali tidak digiring untuk jatuh cinta pada alkitab. Banyak aksi dan tontonan memikat dengan pesan-pesan universal yang membuatnya menjadi salah satu film Hollywood yang bisa bertahan dalam lintasan waktu.
Steven Spielberg menggarap "Schindler's List" dengan Liam Neeson yang memerankan Oskar Schindler, seorang industrialis yang tinggal di Polandia pada masa pendudukan Jerman.
Ia tampil sebagai penyelamat orang-orang Yahudi dari penganiayaan Nazi. Pesan film berdurasi 195 menit ini jelas sangat kuat. Film ikonik yang mendapat tempat tersendiri di hati orang Yahudi dan mampu menembus sekat agama.
Film panjang hampir tiga jam. Karya Martin Scorsese yang dianggap remeh. Kisah dua pendeta Jesuit yang melakukan perjalanan ke Jepang mencari mentor mereka. Memang kurang menarik bagi yang susah menyelami nuansa meditative.
Namun "Silence" itu menunjukkan satu hal yang berlaku umum. Bagaimana perjuangan setiap orang yang telah mengabdikan diri pada keyakinan tertentu.
"Minari" adalah contoh film yang agak otobiografis. Berkisah tentang masa kcil sutradara Lee Isaac Chung. Ia mengikuti sebuah keluarga Korea yang menjadi petani di Arkansas.
Tidak ada detail tentang unsur-unsur religius. Film berdurasi 115 menit dengan latar 1980-an itu sesungguhnya menyelipkan pesan terdalam dari sebuah keyakinan akan campur tangan Tuhan yang tergadang tidak terlihat dan disadari.
Memutar Kembali Malcolm X
Beberapa contoh di atas ingin menunjukkan bahwa film-film religi Kristen di atas layak dikonsumsi luas. Begitu juga dari posisi sebaliknya, "Malcom X" hadir sebagai salah satu contoh terbaik.
Film ini sudah ada di pasaran lebih dari dua decade. Diperankan Denzel Washington, Angela Bassett, Spike Lee, Albert Hall, Al Freeman Jr., dan Delroy Lindo.
Film yang dijagokan meraih Oscar ini menggambarkan momen paling krusial dalam hidup Malcom X. Perjuangannya dalam situasi sulit, menjadi seorang kriminal, masuk Islam, hingga melakukan perjalanan spiritual ke Mekkah.
Banyak kritikus memuji Washington yang dianggap sebagai penampilan terbaiknya di depan layar. Ia bisa memerankan dengan apik pergulatan hidup sebagai seorang kulit hitam dalam titik terendah, hingga pada tahap hijrah secara rohani.
Malcolm lahir dari keluarga kulit hitam. Ibu berasal dari Karibia dan sang ayah, keturunan Afrika-Amerika, berprofesei sebagai aktivis.
Sejak kecil, Malcom sudah harus berhadapan dengan kenyataan pahit. Ayahnya tewas dalam musibah kebakaran yang dilakukan Black Legion, kelompok supremasi kulit putih.
Kesehatan sang ibu pun terpengaruh. Mentalnya terguncang hingga harus diamankan di rumah sakit jiwa.
Malcolm kecil lalu diasuh keluarga lain. Sebagai siswa paling cerdas di sekolah, ia sudah memiliki cita-cita menjadi pengacara. Ia berniat meneruskan perjuangan sang ayah untuk membela kaumnya.
Tantangan terus bermunculan. Guru disekolah justru memberinya suntikan pesimisme bahwa cita-cita tersebut mustahil tercapai.
Masa remajanya harus dihabiskan di penjara, buntut permainan lotere yang menggodanya untuk menjadi perampok. Bersama temanya Shorty, Malcolm dijatuhi hukuman nyaris 10 tahun penjara.
Agen perubahan
Momen krusial dalam hidupnya terjadi dalam situasi sulit itu. Ia berkenalan dengan Baines, anggota Nation of Islam. Sayangnya, indoktrinasi dari organisasi itu membuatnya justru jatuh ke ekstrem lain. Ia sama seperti mereka. Menjadi kaum dengan rasa benci akut kepada orang kulit putih.
Nama Litte ditanggalkan dan diganti X, hasil bujuk rayu Elijah Muhammad, ketua Nation of Islam. Dengan nama baru itu, ia bertindak sebagai "misionaris."
Ia cukup sukses dalam kerja pewartaan itu. Terbukti ia menarik simpati luas dan banyak orang menyebut diri sebagai pengikutnya.
Dalam perjalanan waktu, Malcolm X berbenturan dengan Nation of Islam. Dalam situasi ini, ia memutuskan melakukan ziarah ke Mekkah. Ia mau pergi ke sumber ajaran yang sebenarnya.
Buah dari perjalanan itu sungguh bernilai. Mengubahnya dari seorang kriminal, ekstremis kulit hitam, menjadi aktivis hak asasi manusia.
Ia sampai pada kesadaran inklusif bahwa agama bukan untuk memisahkan satu dari yang lain. Agama bukan untuk membangun tembok dengan balutan kecurigaan dan kebencian. Agam bukan sarang rasisme, diskriminasi, dan intoleransi.
Meski sudah berusia lebih dari 20 tahun, Malcolm X masih dan akan senantiasa relevan. Setiap orang, apa pun agamanya, diajak untuk merefleksikan kembali hakikat dan panggilan keagamaannya.
Apakah kita masih pada taraf beragama (sekadar menjalankan ritual) atau sudah mencapai tingkat keimanan (sampai pada penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam hidup sehari-hari)?
Malcom ingin mengajak setiap orang, apa pun latar belakangnya, untuk ikut serta menjadi agen perubahan (agent of change) di dalam konteks kehidupan masing-masing.
Di bulan Ramadan dan menjelang Hari Raya Paskah, apakah kita pun bersedia untuk ikut menjadi pembawa perubahan yang positif di sekitar kita?
Yuk putar kembali Malcolm X di sela-sela ibadah kita!
+++++++
Malcolm X
Tahun Rilis: 1992
Genre: Biographical Drama
Produksi: 40 Acres and a Mule Filmworks
Sutradara: Spike Lee
Pemain: Denzel Washington, Angela Bassett, Albert Hall, Al Freeman Jr. Delroy Lindo
Durasi: 193 menit