Paus Yohanes Paulus II, Idul Fitri, dan 4 Langkah Memaafkan
"Aku memaafkanmu, sahabat. Aku mengampunimu."
Demikian kata-kata mendiang Paus Yohanes Paulus II saat bertemu Mehmet Ali Agca, seorang Turki yang dua tahun sebelumnya hendak membunuhnya. Perjumpaan bersejarah di penjara Rebibbia Italia itu terjadi dua hari setelah Natal di tahun 1983.
Sosok pemimpin tertinggi Gereja Katolik sejagad yang menghembuskan nafas terakhir pada 2 April 2005 menunjukkan sebuah contoh pengampunan.
Paus asal Polandia itu hampir meregang nyawa pada 13 Mei 1981 ketika tiga tembakan mengenai perut dan tangannya.
Kejadian itu sungguh menggemparkan. Tidak hanya karena menyasar seorang tokoh penting yang sangat dihormati miliaran penduduk bumi.
Juga, pemuda dua puluhan tahun punya kenekatan tingkat "dewa" melancarkan aksinya di alun-alun Santo Petrus, Vatikan, yang merupakan tempat suci sekaligus rumah Bapa Suci.
Bahkan, paus yang bernama asli Karol Jzef Wojtya itu sudah memberi maaf pada sang pelaku ketika dia berada dalam ambulans yang melarikannya ke rumah sakit Gemelli, beberapa saat setelah peristiwa nahas itu.
Hal itu tertuang dalam Why He's a Saint, buku yang ditulis Monsinyur Slawomir Oder untuk tujuan kanonisasi (proses menjadi santo atau santa) Yohanes Paulus II.
Proses untuk memberi gelar orang kudus pada Paus Yohanes Paulus II memang berlangsung begitu cepat.
Tidak perlu masa tunggu lima tahun sebelum proses penyelidikan dimulai sebagaimana biasanya, lalu beatifikasi pada 1 Mei 2011 dan kanonisasi tak lebih dari tiga tahun setelahnya, tepatnya pada 27 April 2014.
Paus Yohanes Paulus II bahkan mengungkapkan pemberian maaf secara terbuka pada Mei 1981, lalu menggenapi pernyataan itu dengan kunjungan pada Agca di penjara.
Almarhum lalu membuat semacam risalah panjang tentang kekuatan pengampunan dan perlunya pengampunan dalam masyarakat. Ia menjadikan peristiwa yang baru saja dialami sebagai contoh nyata.
"Tindakan pengampunan adalah syarat pertama dan mendasar agar kita tidak terpecah dan ditempatkan satu sama lain seperti musuh," ungkap penerus Paus Yohanes Paulus I itu.
Kekuatan memaafkan
Apa yang dilakukan Yohanes Paulus II itu bisa jadi terlalu besar untuk semua orang. Tidak banyak yang bisa melakukannya.
Namun, dari peristiwa itu terkandung pesan yang bisa diterima semua pihak. Memaafkan itu perlu dalam kehidupan bersama. Dengan takaran dan tingkat persoalan berbeda-beda, memaafkan adalah kata kunci yang perlu dipegang teguh.
Kita menggunakan momen Idul Fitri sebagai kesempatan untuk memaafkan dan meminta maaf. Itulah puncak dari ziarah panjang selama satu bulan masa puasa.
Selain menahan dan mengendalikan berbagai syahwat baik perut maupun seksual, para pemeluk teguh yang sungguh memaknai bulan Ramadan sebagai momentum pembaharuan diri, termasuk dalam relasi dengan diri sendiri dan orang lain.
Salah satu wujud nyata dari pembaruan diri itu adalah laku memaafkan dan memberi maaf.
Apakah sulit melakukannya? Tampaknya tidak. Jelas, ini berlaku untuk hal-hal yang tampaknya sederhana dan kepada orang-orang yang sudah dikenal.
Bagaimana bila itu terjadi pada hal-hal besar seperti contoh Paus Yohanes Paulus II dan melibatkan orang yang sama sekali tidak dikenal, bahkan dianggap sebagai musuh yang jelas-jelas mengancam nyawa?
Memaafkan itu sungguh menantang. Terkadang kita salah memahami arti memaafkan itu.
Ada yang menganggap memaafkan berarti dengan sendirinya melupakan apa yang terjadi dan menyepelehkan masalah yang terjadi. Juga dianggap memberikan keuntungan kepada orang lain secara cuma-cuma.
Memaafkan sesungguhnya adalah memilih untuk melepaskan kemarahan, sakit hati, dan keinginan untuk balas dendam.
Tidak hanya itu. Justru memaafkan itu dengan sendirinya membantu diri sendiri. Membuat si pemberi maaf itu sembuh dari sedih, kecewa, benci, dan berganti menemukan kedamaian.
Bila tidak memaafkan, maka luka batin itu tidak akan tertutup, apalagi sembuh. Malah akan berpengaruh ke berbagai bidang kehidupan orang tersebut.
Beberapa dampak dari memendam amarah dan dendam antara lain: menjadi temperamental bahkan dengan orang-orang terdekat, sulit "move on" untuk membangun hubungan yang baru, malah bisa berdampak buruk bagi kesehatannya.
Sebuah penelitian tahun 2016, menyebutkan maaf sangat membantu mengurangi stres. Stres itu dipicu oleh kemarahan dan kebencian yang menstimulus tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin.
Berkurangnya stres dengan sendirinya menghindarkan diri dari ketegangan otot, masalah jantung, dan penurunan fungsi kekebalan tubuh,
Sebaliknya akan menggerek kualitas hidup. Kurangnya kecemasan, tidur lebih baik, kesehatan emosional lebih baik, dan empati terhadap orang lain semakin tebal.
Dari sebuah pengalaman memaafkan kita akan belajar dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
"Ketika Anda memaafkan, Anda tidak mengatakan apa yang dilakukan seseorang itu baik-baik saja. Anda memutuskan untuk melepaskan beban emosi yang macet dan belum terselesaikan," tandas Kim Egel, seorang terapis di San Diego, California, melansir www.healthline.com.
Empat Langkah
Berbicara tentang memaafkan itu jelas mudah. Apakah dalam tindakan nyata akan semudah itu pula? Ternyata tidak.
Butuh keberanian, jiwa besar, dan momentum untuk melakukannya. Terkadang memaafkan itu menjadi sulit karena besarnya masalah juga tidak adanya niat baik dari pihak lain untuk meminta maaf.
Robert Enright, psikolog dan profesor yang memelopori studi ilmiah tentang memaafkan, coba memberikan tip.
Ada empat langkah yang bisa dilakukan, sebagaimana diuraikan Jullian Coleman Wheeler, seorang mentor, pembicara, dan penulis yang fokus pada perkembangan pribadi di medium.com (14/3/2017).
Jullian sangat mengandalkan keempat langkah itu untuk menghadapi setiap pasiennya, termasuk yang menderita depresi.
Pertama, mengungkapkan kemarahan Anda dengan mengeksplorasi bagaimana Anda menghindari atau menangani emosi tersebut.
Dalam banyak hal, terkadang kita sengaja menyembunyikan kemarahan, kecuali bila ia meledak dengan tanpa bisa ditutup-tutupi lagi.
Kita sengaja menutupi dari orang lain, bahkan diri sendiri. Untuk itu butuh keberanian untuk berkata jujur tentang kemarahan.
Kedua, membuat keputusan untuk memaafkan. Mulailah dengan mengakui pengampunan adalah jalan terbaik.
Sungguh sifat manusia, sulit memaafkan seseorang yang telah menyakiti begitu saja. Hanya saja, perlu disadari menahan amarah tidak menyakiti orang lain, tetapi justru menyakiti diri sendiri.
Dampaknya seperti sudah disebutkan di atas. Mendatangkan sakit baik fisik maupun emosi, baik bagi diri sendiri maupun orang di sekitar.
Ketiga, memupuk sikap memaafkan dengan mengembangkan welas asih bagi pelaku. Dengan kata lain, bertindaklah untuk memaafkan.
Renungkan apakah tindakan itu karena niat jahat atau keadaan dalam kehidupan pelaku. Kita diajak untuk membingkai ulang masalah yang ada dengan cara baru. Melihat suatu persoalan dari sudut pandang berbeda.
Keempat, bebaskan diri dari penjara emosional. Lepaskan emosi yang berbahaya dan renungkan bagaimana Anda tumbuh dari pengalaman dan tindakan memaafkan itu.
Melihat sisi positif dari setiap persoalan. Memandang bahwa masalah serupa juga dialami orang lain, bahkan ada yang mengalami persoalan yang jauh lebih berat.
Akhirnya, memaafkan tidak hanya berguna bagi pertumbuhan afeksi, mental, dan diri seseorang, tetapi juga menjadi contoh terbaik bagi orang lain.
Bila seorang anak mendapatkan contoh ini dari keluarganya maka ia akan belajar dan tumbuh dengan memegang nilai tersebut. Begitu juga dalam konteks kehidupan yang lebih luas baik dalam organisasi, pemerintahan, maupun agama yang bisa berpengaruh pada kehidupan banyak orang.
Apakah pada Lebaran ini Anda sungguh menghabiskan waktu untuk melakukan hal ini?
Bila tidak, tak perlu khawatir. Sebab, memaafkan adalah perjuangan seumur hidup. Ia mesti terus diupayakan dan dihayati dalam setiap perjalanan hidup, baik kemarin, hari ini, maupun di masa mendatang.