Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?
Tradisi Mengaji "Pusaro" Jelang Ramadhan di Piaman
Dan hari melihat bulan itu telah diumumkan, Ahad (4/3).
Mengaji pusara, tentu yang dikajikan orang yang sudah mendahului kita semua. Baik ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, buyut dan lain sebagainya.
Yang punya pertalian dengan yang meninggal itulah yang disebut sebagai punya hajat untuk mengaji pusara.
Dan mereka membawa makanan dan minuman untuk yang ikut mengaji di pusara itu, sebagai hadiah yang pahalanya teruntuk bagi yang sudah meninggal.
Biasanya, pengurus masjid raya dalam kampung mengumumkan kepada masyarakat kapan hari mengaji pusara, dan kapan pula hari bergotong royong membersihkan rimba pusara.
Di sebagian kampung, mengaji pusara dilakukan dua kali dalam setahun, yakni jelang puasa, dan saat lebaran.
Namun, di sebagian kampung lainnya hanya sekali setahun, yakni lebaran saja. Dan itu dilakukan secara turun temurun.
Menurut para ulama kampung di Padang Pariaman, mengaji pusara bagian terpenting dalam mengingat kematian.
Sebab, setiap yang bernyawa akan merasakan yang namanya kematian. Kemudian, mengaji pusara juga bagian dari hadiah pahala kita yang hidup terhadap yang meninggal.
Apalagi yang sudah meninggal itu umumnya meninggalkan banyak jasa dan harta. Sebut tanah yang berbidang, yang dinikmati oleh kita saat ini.
Sangat patut rasanya dikajikan orang tersebut oleh yang masih hidup saat ini. Dan demikian mutlak adanya.