Dilla Hardina
Dilla Hardina Penulis

Kelilingilah dirimu dengan orang-orang yang pantas mendapatkan keajaibanmu🌻

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Pilihan

Menelusuri Jejak-jejak Peradaban Kediri Melalui "Kediri Lintas Masa #1"

1 April 2023   06:39 Diperbarui: 1 April 2023   06:59 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menelusuri Jejak-jejak Peradaban Kediri Melalui "Kediri Lintas Masa #1"
Dok. pribadi

Lelah mengikuti tren dan hiruk pikuk perkembangan dunia yang semakin melesat jauh, mari sejenak menepi dan berkontemplasi membicarakan sejarah peradaban Kediri.

Pada pertengahan Maret 2023, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri menggelar seminar nasional bertajuk "Kediri Lintas Masa #1" dalam rangka hari jadi Kabupaten Kediri yang ke 1219. Acara ini diselenggarakan di Auditorium Monumen Simpang Lima Gumul lantai 6.

Seminar kultural-historis ini diikuti oleh lebih dari 100 peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa, guru, budayawan, sejarawan, dan kalangan lain yang memiliki ketertarikan dan perhatian lebih di bidang sejarah-budaya.

Seminar ini begitu menarik karena menghadirkan para narasumber yang profesional di bidangnya.

Tiga narasumber tersebut yakni Kayato Hardani (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), Dwi Cahyono (budayawan dan akademisi), dan Ninie Soesanti (Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi).

PRODUK BUDAYA ZAMAN KLASIK

Kayato Hardani menjelaskan bahwa asal usul pemilihan hari jadi Kabupaten Kediri tanggal 25 Maret berasal dari Prasasti Harinjing yang ditemukan di kawasan Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Tepatnya berada di lereng Gunung Kelud.

Dalam satu batu prasasti, terdapat tiga cerita atau informasi yang berbeda. Hanya saja, ketiga cerita tersebut masih berkaitan satu sama lain.

Bagian depan prasasti diberi nama Harinjing A yang mengisahkan tentang seorang pendeta dari Culanggi bernama Bhagawanta Dhari. Ia mendapatkan hak Sima (keringanan pajak) karena telah berjasa dalam membendung sungai Harinjing. Sungai ini dimanfaatkan oleh warga lokal untuk berbagai keperluan, terutama untuk mengairi sawah. Keterangan waktu pada prasasti bagian depan ini adalah 11 Suklapaksa bulan Caitra 726 Saka (25 Maret 804 M).

Sementara itu, Prasasti Harinjing B yang terdapat di bagian belakang larik 1-23, mengisahkan bahwa Sri Maharaja Rakai Dyah Tulodhong mengakui hak-hak Pendeta Culanggi karena mereka menjaga saluran sungai Harinjing.

Adapun isi Prasasti Harinjing C terdapat di bagian belakang larik ke 23-28. Prasasti tersebut menyebutkan bahwa Bhagawanti masih memperoleh hak-hak sebagai orang yang berjasa dalam membendung sungai meskipun raja telah meninggal.   

Beberapa poin yang saya tangkap dari pemaparan Bapak Kayato adalah sebagai berikut:

  1. Rakyat Biasa Hanya Figuran

Melalui prasasti ini, dapat diketahui bahwa masyarakat di era kerajaan masa lampau tidak banyak mengabadikan cerita-cerita yang terdapat di alam atau pedesaan. Jika kalian membaca kasusastraan kuno, kebanyakan cerita tersebut mengangkat latar tempat atau setting yang berpusat di kerajaan dengan tokoh-tokoh bangsawan sebagai tokohnya.

Hal ini karena wilayah pedesaan atau alam di masa lampau cenderung hanya digambarkan sebagai "tempelan" saja. Oleh karena itu, banyak peneliti budaya dan sejarah yang merasa kesulitan dalam menggali informasi seputar tentang masyarakat biasa di masa lampau.

  1. Interpretasi Toponim Prasasti Harinjing

Melalui analisis dan interpretasi dari prasasti Harinjing, saya juga banyak belajar tentang kosakata Bahasa Jawa Kuno yang mungkin belum pernah saya dengar sebelumnya.

Beber kosakata tersebut seperti:

  • Wulanggi = berenang

  • Harinjing = keranjang

  • Bagi = rusak

  • Paradah = hukuman

  • Lalateng = hama

  • Bubul = retakan tanah

  • Garaga = burung berkicau

  • Kukap = sukun

  • Watu walu = batu alam

  • Rangga = bunga

  • Manggehan = tegas

  • Kadiri = diperintah atau dikuasai

Masih banyak lagi kosakata Jawa Kuno yang sangat menarik untuk dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa daerah mengalami evolusi dan pergantian istilah di berbagai kosakata.

  1. Nama Daerah = Nama Pohon

Masyarakat Jawa, terutama di kawasan Kediri dan sekitarnya di masa lampau hidup berdampingan dengan alam. Segala jenis pohon menjadi bagian dalam kehidupan yang tidak terpisahkan.

Sangat menarik jika menelusuri ragam dusun, desa, atau kecamatan yang memiliki nama yang sama dengan nama pohon.

Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat masyarakat zaman dulu memang menjadikan pohon sebagai acuan nama daerah.

Jadi, setiap pemukiman mempunyai pusat kosmik berupa pohon yang berbeda-beda, tentu dengan sepengatahuan dari warga lokalnya.

Pohon atau tanaman memiliki peran penting, seperti sumber pangan dan papan. Oleh karena itu, masyarakat Jawa cenderung mengindahkan eksistensi pohon-pohon, sehingga mengabadikannya ke dalam nama-nama daerah.

PERAN RAJA KADIRI DALAM PERKEMBANGAN PERADABAN NUSANTARA MASA HINDU-BUDDHA

Kabupaten Kediri terkenal sebagai daerah tertua nomor tiga se-Indonesia. Hal ini karena peradaban di Kediri telah dibangun sejak abad ke-8, tepatnya pada tahun 804. 

Dwi Cahyono memaparkan bahwa Kediri adalah wilayah yang sangat subur yang memiliki kekayaan alam melimpah.

Sungai Brantas dan Gunung Kelud adalah bentang alam yang memiliki andil besar dalam membangun peradaban di Kediri.

"Bagi Kediri, gunung dan sungai merupakan berkah sekaligus bencana yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangannya dari masa ke masa." Tutur Dwi.

Beberapa poin penting yang patut digarisbawahi dari pemaparan materi Dwi Cahyono yakni sebagai berikut:

  1. Sungai Brantas adalah Pusat Peradaban Kediri

Sungai Brantas merupakan sungai terbesar di Jawa yang menjadi pusat peradaban masyarakat. Di masa kerajaan Kediri, Majapahit, sampai pendudukan Hindia-Belanda.

Sungai Brantas disulap menjadi jalan raya yang penuh sesak dengan kapal-kapal sungai yang berlayar.  Berbagai kapal tersebut mengangkut hasil bumi maupun komoditi lain yang dibutuhkan masyarakat.

Peradaban Kediri yang sangat maju di masa lampau dapat diketahui dari macam-macam prasasti yang ditemukan di kawasan Jawa.

Ada tiga prasasti yang ditemukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, yakni mencakup Prasasti Pinggir Sari (Ngantru-Tulungagung), Prasasti Hantang (Ngunut-Tulungagung), dan Prasasti Ceker (Ploso, Kediri).

Zaman kerajaan dahulu, pemanfaatan sungai Brantas sangat maksimal untuk menunjang kehidupan masyarakat di sekitarnya.

"Pengertian maritim di masa lampau tidak hanya laut, tapi juga maritim sungai. Tempat terjauh yang dapat dilalui oleh kapal sungai juga berusaha dikuasai oleh raja-raja Kediri (ekspansi)." ujar Dwi.

  1. Transformasi Kemiliteran

Peradaban di Kediri tidak hanya maju dari segi maritim dan ekonomi, tetapi juga dari segi kemiliteran. Hal ini dapat diketahui dari penciptaan jabatan, pangkat, atau bagian yang lebih spesifik dari berbagai unit kesatuan.

Jadi, militer di masa kerajaan Kediri tidak hanya terbatas pada satuan besar, tetapi juga ada spesialisasi tugas. Contohnya yakni pengelompokan prajurit berdasarkan senjata, yakni seperti pemanah, ahli tombak panjang, ahli kapak. Selain itu, ada pula spesialisasi kemiliteran berdasarkan kendaraannya, seperti ahli penunggang gajah, penunggang kuda, dan lain sebagainya.

KESUSASTERAAN DI KEDIRI BERKEMBANG PESAT

Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi, Ninie Soesanti mengatakan bahwa tidak semua prasasti dapat dikatakan sebagai data sejarah. Hal ini karena setiap sumber data sejarah harus melalui proses verifikasi dan pengujian yang cukup panjang untuk menyatakan bahwa peninggalan tersebut memang layak menjadi data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketentuan ini juga berlaku pada produk-produk kesusasteraan.

Majunya peradaban di suatu daerah dapat ditandai dengan suburnya kasusastraan di daerah tersebut. Hal ini juga berlaku pada kerajaan Kediri yang memiliki perkembangan sastra sangat pesat. 

Hal ini tidak terlepas dari peran raja-raja Kediri yang memiliki kontribusi besar dalam memperhatikan kebudayaan dan kesusasteraan di daerahnya.

Bisa dibilang, raja Kediri adalah pengayom para pujangga sekaligus ahli dalam bersastra.

"Karya sastra adalah wadah pemikiran, perenungan, yang meninggalkan nilai-nilai, baik keagamaan, etika, kosmologi, dan yang lainnya." ujar Ninie.

Beberapa larya sastra di era Kediri di antaranya yaitu Kakawin Baratayudha, Kitab Kresnayana, Kitab Sumarasantaka, Kitab Hariwangsa, Kitab Smaradhahana, dan lain sebagainya.

Acara seminar kebudayaan ini begitu membuka cakrawala pemikiran bahwa Kediri adalah pusat peradaban yang maju pada abad ke-8.

Kebudayaan dan sejarah adalah harus terus dijaga dan dilestarikan, apalagi peminatnya juga tidak banyak. Di sinilah peran pemerintah dalam nguri-nguri budaya sangat diperlukan. Dhito Pramono, Bupati Kediri adalah contoh nyata seorang pemimpin yang mau menjaga dan menggerakkan kebudayaan di kabupaten yang dipimpinnya. Hal ini bisa menjadi contoh bagi para pemimpin daerah lain untuk ikut melestarikan dan menelusuri jejak-jejak peninggalan sejarah di daerahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun