Dua Wajah Kematian
Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as dalam Filsafat Ajaran Islam yang ditulis tahun 1896 berpandangan sama dengan Ibnu Sina dan Mulla Sadra dalam memandang ruh dan tubuh bahwa kedua memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani. Pada Filsafat Ajaran Islam halaman 8, kita membaca:
"Hendaklah diketahui bahwa menurut Al-Quran Syarif keadaan-keadaan thabi’i (alami) manusia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan keadaan-keadaan akhlaki dan rohani-nya. Bahkan cara manusia makan-minum pun mempengaruhi keadaan-keadaan akhlak dan rohani manusia."
Dan seperti Mulla Sadra, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad membagi jiwa manusia ke dalam tiga tingkatan. Hanya saja berbeda penyebutan: al-Nafs al-Nabatiyah, beliau sebut dengan istilah al-Nafs al-Ammarah, al-Nafs al-Hayawaniyah dengan al-Nafs al-Lawwamah, dan al-Nafs al-Nathiqiyah sebagai al-Nafs al-Muthmainnah. Penamaan ini beliau rujuk dari redaksi Qur'ani: QS Yusuf: 53, QS Al-Qiyamah: 2 dan QS Al-Fajr: 27.
Nada Sinis Neurosains
Mendekati ujung tulisan, saya beri sedikit ruang untuk para fans garis keras neurosains yang secara menegasi keberadaan ruh. Efek biologis, ungkap Matt Gilford dalam Jiwa Biologis: Pengaruh Biokimia dan Neurologi Terhadap Kepribadian, dapat memiliki efek mendalam pada diri kita yang sebenarnya. Penyakit degeneratif otak dapat mengikis kepribadian, kerusakan otak dapat menyebabkan perubahan mendadak dalam karakter, tumor dapat mengubah perasaan kita dan ketidakseimbangan biokimia secara radikal dapat merubah suasana hati kita. Ahli saraf telah menggali jauh ke dalam otak dan menemukan bahwa depresi, cinta, kebaikan, kesopanan, agresi, berpikir abstrak, penilaian, kesabaran, naluri dan kenangan telah ternyata memiliki dasar biokimia, bukan yang spiritual, dan semua bisa dengan radikal dipengaruhi oleh kerusakan otak dan operasi otak. Ini semua hanya mungkin jika kesadaran dan emosi semua berkaitan dengan fisik, dengan tidak perlu konsep “jiwa”.
"Jika ada jiwa, kerusakan otak tidak bisa merusak perasaan emosional kita, tapi kenyataannyaa? Stimulasi listrik dari otak menyebabkan keinginan yang sebenarnya timbul langsung. Jika memori, perilaku dan emosi semuanya dikontrol oleh otak fisik, apa guna jiwa? Setiap kehendak bebas yg diberikan “jiwa” segera diganti oleh kimia biologi maka mengapa begitu banyak penyakit memiliki efek yang tak terkendali pada kepribadian. Ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa gagasan jiwa adalah sesat. Semuanya biologis," ungkapnya dengan pedas.
Kita menerka ke arah mana seretan pandangan ini. Dalam bingkai gagasan dan pandangan hal itu sah-sah saja. Hanya satu hal yang pasti bahwa kematian adalah hal niscaya yang kabar buruknya akan menjemput siapapun - dan tidak pernah membeda-bedakan apakah ia percaya atau tidak akan adanya ruh - lalu kemudian ia akan membukakan satu pintu yang tak mengenal kata kembali untuk menemukan kebenaran atas segala yang diperdebatkan oleh kita sebelum memasukinya. Dan pada saat itu, kita berharap bisa mengatakan seperti yang diungkapkan Umar al-Faruq, "Laa hisaaba lii."