Dua Wajah Kematian
Memento mori, ya ingatlah bahwa kita cepat atau lambat akan mati. Kematian bukanlah sebuah akhir. Ia justru sebuah awal. Awal dari serangkaian panjang tersingkapnya segala tabir yang tersembunyi dari kemampuan indera kita mencerapnya, dari kemampuan akal memikirkannya dan dari kemampuan hati membetikkannya. Sebuah ketersingkapan agung yang bila kita ceroboh selama menjalani kehidupan di dunia ini, kita akan memilih untuk tetap menjadi tanah dan tidak pernah menjadi manusia yang karenanya kita pernah berlaku sombong.
Ke arah ini baris-baris awal syair I'tiraf Abu Nawas mengisyarahkan:
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan, wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi
Duhai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga-Mu, akan tetapi bagaimanapun, sungguh aku tidak akan pernah kuat atas adzab neraka Jahim-Mu.
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii, fa innaka ghaafirudz-dzambil 'azhiimi
Maka anugerahkanlah ampunan-Mu dan ampunilah dosa-dosaku, karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar sekalipun.
Sebelum I'tiraf-nya Abu Nawas, konon Sayyidina Umar bin Khattab senafas dengan itu pernah berkata: "Laa hisaaba li 'Umar." Yakni, bila saja ada sedikit-banyak kebaikan yang sudah beliau lakukan dalam berislam dan bahkan menjadi khalifah Sang Nabi saw, itu tidaklah cukup untuk menghantarkannya sorga. Maka, ungkap beliau, "Setidaknya tidak ada hisab bagi Umar."
Sebuah ungkapan luhur yang lahir dari keluhuran budi pekerti seorang Umar bin Khattab r.a.
Dua Sudut Pandang Terhadap Kematian
Dalam beberapa tulisan, saya menyebutkan bahwa shaum adalah sebentuk kematian yang melaluinya kita bertemua dengan Allah. Sebab, Allah hanya bisa kita 'lihat' setelah kita melalui pintu kematian. Begitu juga dengan sorga yang dijanjikan-Nya. Selama di dunia, kita hanya melihat bayangan dan cerminanya saja. Untuk itu, dalam perspektif kematian seharusnya tidaklah menjadi 'hantu' bagi seorang muslim. Dalam konteks ini, saat menulis tentang shalat Tarawih saya mengutip sebuah hadits yang menyatakan bahwa kematian adalah sebentuk istirahat bagi seorang muslim. Haditsnya berbunyi seperti berikut:
Allahumm-ashlih li diniyalladzi huwa 'ishmatu amri, wa ashlih li dunyaya-llati fiha ma'asyi, wa aslih li akhirati-llati fiha ma'adi, waj'alil-hayata ziyadatan li fi kulli khair, waj'alil-mauta rahatan li min kulli sharrin
Ya Allah, mudahkanlah agamaku yang dengannya urusan-urusanku terlindungi, tetapkanlah bagiku duniaku tempat hidupku, jadikanlah bagiku akhiratku tempat kembaliku, dan jadikanlah kehidupanku sebagai tempatku kembali, dan jadikanlah kematian sebagai penghibur bagiku dari segala keburukan." (HR Muslim, Riyadhus-Shalihin 1472)
Atau, dalam riwayat lainnya, kita membaca bahwa 'Abdallah bin 'Amr meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Tuhfatul mu'mini al-mawtu
"Kematian adalah hadiah bagi seorang mukmin." (Baihaqi dalam Syu'abil Iman, Misykatul-Mashabih 1609)
Namun, tentu saja sangat benar juga bila kita takut dijemput maut saat kita dalam keadaan tidak layak untuk bertemu dengan Sang Pencipta kita. Demi mencegah kelalaian dalam bersiap-siap berhadapan dengannya, diriwayatkan Rasulullah saw bersabda:
Aktsiruu min dzikri haadzimul-ladzdzaati
Perbanyaklah mengingat perusak segala kenikmatan (dunia, yakni maut). (HR Tirmidzi, Riyadhus-Shalihin 578)
Inilah dua wajah kematian yang oleh Rasulullah saw. digambarkan kepada kita. Meskipun Rasulullah saw sendiri di saat akan melepaskan hayat, beliau memilih wajah maut yang indah sebagaimana ungkapan terakhir beliau: "Allahummar Rafiiqal A'la." Yakni, Ya Allah (hamba memilih untuk bersama-Mu, Sahabat Tertinggi-ku) (Sahih al-Bukhari 4463).
Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, "Tidak ada seorang nabi pun yang ruhnya dijemput kecuali diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga dan kemudian ia diberi pilihan (untuk tetap hidup atau meninggal). Saat beliau saw mengatakan Allahummar Rafiiqal A'la," Aku berkata (pada diriku sendiri), "Itu artinya, beliau tidak akan memilih kita."
Itu artinya beliau memilih maut yang dengannya beliau akan segera bertemu dengan Kekasihnya yang Sejati, Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Definisi Kematian Menurut Medis
Dunia kedokteran, lansir Deutche Welle dalam Definisi Kematian Menurut Medis, menetapkan tiga fase kematian: kematian secara klinis, mati otak hingga fase final, yakni kematian secara biologis.
Fase pertama disebut mati klinis ditandai dengan berhentinya pernafasan dan detak jantung. Juga impuls dari otak memudar dan pancaindera tidak lagi bereaksi.Jika orang dipasangi alat kedokteran, akan terlihat di monitor bahwa kurvanya datar dan tidak lagi berdetak. Fase kedua kematian disebut Mati Otak . Pada tahapan ini semua fungsi otak berhenti. Pasien biasanya masih bisa "hidup" karena dibantu alat-alat kedokteran, seperti alat pernafasan alat pacu jantung dan lainnya. Dan, fase ketiga sudah final, yakni kematian biologis, organ tubuh yang diambil juga tidak ada gunanya lagi, karena sudah mati. Fase kematian biologis ditandai dengan kematian milyaran sel-sel tubuh. Karena tidak ada regenerasi sel, tanda-tanda kematian jelas terlihat.
"Semua kehidupan suatu saat akan berakhir. Sains mencatat bagaimana setiap sel tubuh yang berjumlah ratusan trilyun itu memiliki tanggal kadaluarsa. Inilah fakta ilmiah di balik proses kematian tubuh manusia," lansirnya.
Lalu bagaimana sel tubuh kita bertahan dari kerusakan sebelum masa kadaluarsanya?
Sebuah penjelasan menarik disampaikan Yoshinori Ohsumi dari Jepang dianugerahi hadiah Nobel Kedokteran tahun 2016. Ohsumi, dilansir Deutche Welle dalam tulisan lainnya, Kanibalisme Dalam Sel, mengajukan teori relasi antara autophagy alias penghancuran diri sendiri dengan recycling pada sel. Sel-sel melakukan penghancuran diri sendiri. Sebagian substansi dari sel ini kemudian didaur ulang oleh apa yang disebut lisosom. "Tubuh manusia terus menerus mengulang proses auto-dekomposisi atau bisa disebut kanibalisme komponen sel. Tapi ada keseimbangan antara kanibalisme dan formasi baru. Inilah mekanisme dasar dalam kehidupan," ungkap Ohsumi.
Proses 'kanibalisme' sel ini dalam istilah biologi sel disebut autofagi.
Autofagi, lansir Halodoc, merupakan proses detoks ketika tubuh membersihkan sel yang rusak, dan meregenerasi dengan sel yang baru dan lebih sehat. Autofagi dapat terjadi secara alamiah dalam tubuh, tetapi proses ini menjadi lebih cepat ketika sedang berpuasa.
Kematian dalam Bincangan Filsafat
Menarik sekali apa yang disampaikan Syahuri Arsyi dalam tulisannya Konsep Kematian Menurut Ibnu Sina dan Mulla Sadra.
Dalam pandangan Ibnu Sina, menurut Syahuri, kematian ada kaitannya dengan konsep jiwa yang diwacanakan. Baginya, kematian itu terjadi karena jiwa sudah tak betah lagi dengan keadaan badan yang sudah tidak layak lagi untuk ditempati.
Ibnu Sina menganalogikan jiwa yang ada dalam tubuh manusia seperti seorang yang memiliki rumah. Jiwa merupakan pemilik rumah, sementara rumah adalah badannya. Sebuah rumah yang sudah rusak tentu sang pemilik rumah tak betah menempatinya, ia akan segera meninggalkan rumah yang sudah rusak tersebut. Sama halnya dengan jiwa, ketika melihat badan sudah tua renta, tak mampu lagi, maka jiwa yang bersifat alamiah tersebut akan segara meninggalkan badan.
Bagi Ibn Sina jiwa dan badan memiliki keterkaitan hubungan yang sangat erat dan saling bekerjasama secara terus-menerus selama badan masih ada. Jiwa tak akan pernah sampai pada kulminasi spiritual, tanpa adanya fasilitas dari badan. Oleh karenanya, jiwa bisa menjadi sumber hidup, potensi pengatur bagi badan. Layaknya seperti seorang supir bus, mobil, motor, dan pilot pesawat begitu memasuki kemudi ia akan menjadi pengerak, potensi dan pengatur bagi bus, mobil, motor, dan pilot pesawat, tulis Syahuri.
Lebih lanjut, tulis Syahuri, dalam pandangan Ibnu Sina, jiwa merupakan sumber penghidupan bagi tubuh, yang bisa mengatur dan mengelola segala potensi yang ada dalam tubuh. Dengan demikian, ketiadaan jiwa, berarti juga ketiadaan tubuh pula. Demikian hal sebaliknya, jika tubuh tak ada maka jiwa pun tak ada, oleh karenanya, keberadaan jiwa dan badan tak bisa dilepas sama lainnya. Pada konteks ini Ibnu Sina sangat jelas sependapat dengan Aristoteles (384-322 SM) tentang jiwa, di mana jiwa dipandang sebagai substansi dan bentuk yang erat kaitannya dengan badan.
Membaca paragraf demi paragraf di atas, hadits populer tentang akhlak yang seringkali kita jumpai di bawah menjadi terasa sangat relevan:
"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Hati di sini tidak lagi bisa dipandang secara fisik hati atau jantung yang terbuat dari daging. Al-Qalb merujuk kepada hati sebagai tempat bersemayamnya ruh atau jiwa yang dalam ungkapan sufistiknya Qalbul mu'mini baitullah - hati seorang yang beriman adalah 'rumah' Allah.
Sementara, dalam pandangan Mulla Sadra, lanjut Syahuri, pemikirannya sangat kontras dengan pemikiran Ibnu Sina. Menurut Sadra, terkait kematian, bukan tubuh yang membuat jiwa tak betah berada berlama-lama dalam badan, melainkan karena jiwa sendiri mengalami penyempurnaan dan kepincut sama alam lain. Jiwa meronta-ronta rindu dengan suatu yang lebih suci dan secara alamiah, jiwa meninggalkan tubuh dengan sendirinya.
"Konsep kematian Sadra ini, erat kaitannya dengan konsep jiwa, di mana jiwa termasuk bagian dari katagori anatomi rohani tubuh manusia, selama masih hidup jiwa akan melekat dan manjadi pengerak dan pusat kekuatan badan manusia berada pada jiwa. Oleh karena itu, Sadra memiliki istilah kulluhu al-quwwaa bahwa jiwa kekuatan terpenting dalam membangun tubuh, akal dan hati. Dari sini, sudah jelas kedudukan dan posisi jiwa sebagai bagian dari anatomi tubuh manusia.
Bagi Sadra, segala bentuk kegiatan jiwa, erat kaitannya dengan kondisi fisik tubuh dan sebaliknya gerakan tubuh dipengaruhi keadaan jiwa. Pada tingkat kearifan spiritualitas manusia, mulai dari kesehatan, kebersihan hingga kesucian sekalipun sangat berpengaruh besar bagi jiwa. Dalam karyanya, Al-Hikmah al-Muta’aliyah fii al-Asfar al-Arba’ah (1981) Mulla Sadra menarasikan jiwa dengan berbagai kategori yaitu: jiwa rendah (al-nafs al-nabatiyah), jiwa menengah (al-nafs al-hayawaniyah) dan jiwa tertinggi (al-nafs al-nathiqiyah).
Perbedaan sudut pandang dari kedua pemikiran antara Ibnu Sina dan Sadra di atas, bahwa fondasi dasar yang di bangun dari filsafatnya juga berbada. Avieccena membangun pemikirannya dari seorang ahli saintis (dokter) yang lebih banyak memusatkan perhatiannya pada fisiologi. Sementara Sadra membangun filsafatnya dari disiplin ilmu ‘irfani (Gnosis, Sufisme atau Tasawuf), atau eksistensialisme di mana lebih mengutamakan jiwa dibandingkan badan. Pada akhirnya, memang yang sangat pasti dan harus diakui bahwa kematian itu tetap di tangan Tuhan," papar Syahuri.
Kali ini saya kurang sependapat dengan Syahuri. Saya tidak melihat adanya perbedaan kontras antara Ibnu Sina dan Mulla Sadra berkenaan dengan kematian, jiwa (ruh) dengan badan. Kedua ilmuwan besar Islam ini sama-sama berkeyakinan bahwa ruh dan tubuh memiliki ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang dilakukan tubuh akan berpengaruh kepada ruh dan sebaliknya. Saat ruh sudah mencapai titik kulminasi evolusinya, dan itu berarti tubuh sudah tidak bisa lagi menjadi kompatibel untuk membersamainya, maka ruh akan berganti 'tubuh' yang untuk itu tubuh lamanya harus mengalami kematian.
Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as dalam Filsafat Ajaran Islam yang ditulis tahun 1896 berpandangan sama dengan Ibnu Sina dan Mulla Sadra dalam memandang ruh dan tubuh bahwa kedua memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani. Pada Filsafat Ajaran Islam halaman 8, kita membaca:
"Hendaklah diketahui bahwa menurut Al-Quran Syarif keadaan-keadaan thabi’i (alami) manusia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan keadaan-keadaan akhlaki dan rohani-nya. Bahkan cara manusia makan-minum pun mempengaruhi keadaan-keadaan akhlak dan rohani manusia."
Dan seperti Mulla Sadra, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad membagi jiwa manusia ke dalam tiga tingkatan. Hanya saja berbeda penyebutan: al-Nafs al-Nabatiyah, beliau sebut dengan istilah al-Nafs al-Ammarah, al-Nafs al-Hayawaniyah dengan al-Nafs al-Lawwamah, dan al-Nafs al-Nathiqiyah sebagai al-Nafs al-Muthmainnah. Penamaan ini beliau rujuk dari redaksi Qur'ani: QS Yusuf: 53, QS Al-Qiyamah: 2 dan QS Al-Fajr: 27.
Nada Sinis Neurosains
Mendekati ujung tulisan, saya beri sedikit ruang untuk para fans garis keras neurosains yang secara menegasi keberadaan ruh. Efek biologis, ungkap Matt Gilford dalam Jiwa Biologis: Pengaruh Biokimia dan Neurologi Terhadap Kepribadian, dapat memiliki efek mendalam pada diri kita yang sebenarnya. Penyakit degeneratif otak dapat mengikis kepribadian, kerusakan otak dapat menyebabkan perubahan mendadak dalam karakter, tumor dapat mengubah perasaan kita dan ketidakseimbangan biokimia secara radikal dapat merubah suasana hati kita. Ahli saraf telah menggali jauh ke dalam otak dan menemukan bahwa depresi, cinta, kebaikan, kesopanan, agresi, berpikir abstrak, penilaian, kesabaran, naluri dan kenangan telah ternyata memiliki dasar biokimia, bukan yang spiritual, dan semua bisa dengan radikal dipengaruhi oleh kerusakan otak dan operasi otak. Ini semua hanya mungkin jika kesadaran dan emosi semua berkaitan dengan fisik, dengan tidak perlu konsep “jiwa”.
"Jika ada jiwa, kerusakan otak tidak bisa merusak perasaan emosional kita, tapi kenyataannyaa? Stimulasi listrik dari otak menyebabkan keinginan yang sebenarnya timbul langsung. Jika memori, perilaku dan emosi semuanya dikontrol oleh otak fisik, apa guna jiwa? Setiap kehendak bebas yg diberikan “jiwa” segera diganti oleh kimia biologi maka mengapa begitu banyak penyakit memiliki efek yang tak terkendali pada kepribadian. Ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa gagasan jiwa adalah sesat. Semuanya biologis," ungkapnya dengan pedas.
Kita menerka ke arah mana seretan pandangan ini. Dalam bingkai gagasan dan pandangan hal itu sah-sah saja. Hanya satu hal yang pasti bahwa kematian adalah hal niscaya yang kabar buruknya akan menjemput siapapun - dan tidak pernah membeda-bedakan apakah ia percaya atau tidak akan adanya ruh - lalu kemudian ia akan membukakan satu pintu yang tak mengenal kata kembali untuk menemukan kebenaran atas segala yang diperdebatkan oleh kita sebelum memasukinya. Dan pada saat itu, kita berharap bisa mengatakan seperti yang diungkapkan Umar al-Faruq, "Laa hisaaba lii."