Hasrat dan Nafsu: Akhir Nalar
Mengapa sebagian orang bertanya tentang sang ayah begitu ngotot mempertahankan kuasanya?
Mengapa sang ayah mewariskan politik kuasa negara pada anaknya? Kita adalah ayah.
Peristiwa anyar terjadi saat hiasan emas kubah masjid seharga 3 milyar rupiah dicuri. Ia bukan soal harga milyaran dan tidak pandang bulu apakah di masjid sebagai simbol suci atau tidak?
Ini bukan pula soal hiasan emas kubah ternyata kembali ditemukan.
Ia berada di luar nalar. Ini sulit dicerna oleh nalar. Peristiwa tersebut melampaui analisis karena hasrat tidak terbendung dan nafsu yang menggoda.
Di tempat lain, kita masih bisa bertanya pada suatu tanda ekspresif. Mengapa warga buruan belanja bahan makanan jelang bulan puasa Ramadhan? Antara kegembiraan dan eforia belanja di tengah harga melonjak?
Kita tahu, kegembiraan sebagai tanda ekspresif untuk menyambut Ramadhan. Patut kiranya hasrat untuk berbelanja dikendorkan dan nafsu dikekang untuk mengonsumsi jelang dan selama puasa Ramadhan, malah dijadikan momen terbaik.
Ia bukan silau dan sok berbelanja. Kerap kali terdengar keluhan bukan karena capek, melainkan uang ingin dihabiskan kemana?
Belum lagi berbicara soal pengaruh hasrat dan nafsu. Mengapa orang risih atau menghindar ketika kita berbicara tentang perkara hasrat dan nafsu? Apa mereka tidak punya malu jika banyak korban dari hasrat yang buas atau nafsu gelap?
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi hasrat dan nafsu. Kita tidak menguak seluruh kasus yang memalukan.
Marilah kita memulai kata demi kata dari persfektif lain seputar hasrat dan nafsu.