Kalimat Bersayap dan Salam Tempel Menjelang Lebaran
Ketika jalan kaki pulang dari masjid sehabis salat tarawih, Pak Dodi, seorang tukang warung kecil di dekat rumah saya, sengaja menunggu saya.
Rupanya ia bercerita warungnya akan tutup, dan besok malam adalah tarawih terakhirnya di masjid dekat rumah saya itu di bulan puasa ini.
Soalnya, setelah itu Pak Dodi akan mudik ke Indramayu bersama keluarganya. Setahu saya, kehidupan Pak Dodi tergolong pas-pasan.
Sejak minimarket hadir di mana-mana, praktis sangat sedikit pelanggan yang berbelanja di warung kecil seperti punya Pak Dodi, yang menyempil di depan rumah tetangga saya.
Maka, meskipun sewaktu Pak Dodi mengutarakan keinginannya untuk mudik, tidak disertai embel-embel apa-apa, saya sudah punya sikap.
Sikap yang saya maksud, pada besok malamnya, saya sudah menyiapkan sedikit uang. Maka, pas pulang dari masjid saya ucapkan selamat mudik pada Pak Dodi, sambil memberikan salam tempel.
Insya Allah pemberian saya yang tak seberapa itu, saya lakukan dengan ikhlas, selain berharap dicatat sebagai amalan oleh malaikat. Aamiiin.
Masalahnya, apabila saya bertandang ke suatu kantor di mana saya punya kepentingan sebagai pelanggan, saya agak sulit bersikap terhadap kata-kata bersayap yang dilontarkan kepada saya.
Memang, sudah kewajiban staf di kantor itu melayani saya dengan sebaik-baiknya, dan mereka digaji untuk itu.
Hanya saja, pada momen menjelang lebaran ini, saya jadi berpikir, kok staf yang biasanya melayani saya secara standar saja, tiba-tiba seperti memberi perhatian khusus.
Nah, mohon maaf kalau saya jadi berpikir negatif, jangan-jangan si staf ingin dapat salam tempel dari saya?
Rasanya tidak keliru menafsirakan kalimat si staf yang kurang lebih berbunyi, "silakan bapak berlebaran dengan tenang, akun bapak akan saya jaga dengan baik," sebagai kalimat bersayap.
Tapi, setengah dari hati saya berbisik ragu, masak iya kata bersayap berasal dari staf perusahaan yang sudah menerapkan good corporate governance (GCG) itu?
Bukankah kalau misalnya si staf betul-betul memancing agar saya memberikannya salam tempel, itu sudah berarti gratifikasi?
Saya sebagai pemberi dan si staf sebagai penerima, akan sama-sama melakukan hal yang terlarang.
Hal demikian yang membuat saya gamang mengambil sikap, dan akhirnya hanya menyampaikan ucapan terima kasih banyak saja secara tulus.
Bukan berarti saya pelit untuk berbagi. Ada beberapa petugas cleaning service dan office boy yang tetap saya berikan salam tempel setiap mau lebaran, termasuk pada lebaran kali ini.
Tak sedikit pun saya ragu mengatakan indahnya berbagi bagi petugas level bawah seperti itu, karena menurut saya itu bukan gratifikasi.
Soalnya, tak ada layanan apapun yang dilakukan si cleaning service dan office boy yang dikaitkan dengan pemberian saya itu.
Berbeda halnya misalnya saya memberi si staf, pasti saya ada pamrih untuk diistimewakan dalam pelayanannya, katakanlah mendapat privilege.
Pengalaman saya mungkin juga dialami banyak orang lain pada hari-hari menjelang lebaran.
Bagi mereka yang sering berurusan dengan pelayanan di suatu instansi dan telah mengenal baik salah seorang petugasnya, si petugas bisa saja memberi pelayanan sangat baik.
Anda bisa saja menafsirkan pelayanan sangat baik itu karena si petugas punya tujuan khusus, yakni dapat salam tempel.
Namun, Anda juga boleh-boleh saja mengabaikannya karena merasa memang sudah tugasnya untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya.
Semuanya terpulang kepada hati nurani kita masing-masing. Idealnya, kita tidak memberi angin untuk memberikan gratifikasi.
Masalahnya, dalam konteks budaya kita yang seolah mentradisi memberikan "tanda terima kasih", meghindar dari gratifikasi bukan hal yang gampang. Kita takut dicap pelit.