Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.
Filosofi di Balik Hidangan Lamang Tapai di Nagari Limokaum Batusangkar
Di kampung nenek saya di Limokaum Batusangkar, setiap kali Idul Fitri atau acara adat, lamang tapai selalu menjadi hidangan istimewa yang tidak pernah absen.
Lamang tapai, makanan khas Minangkabau, terbuat dari ketan yang dimasak dalam bambu dan disajikan dengan tapai---hasil fermentasi dari ketan yang rasanya manis dan asam.
Makanan ini memiliki filosofi yang dalam, tidak hanya enak di lidah, tetapi juga menyimpan makna yang melekat erat dengan adat dan budaya Minangkabau.
Sejarah Lamang Tapai
Cerita tentang lamang tapai dimulai dengan pengajaran cara memasak nasi dalam bambu oleh Syekh Burhanuddin, seorang ulama dari Pariaman, kepada masyarakat sekitar. Masyarakat mulai mengadopsi cara memasak ini dan membentuk tradisi malamang---memasak ketan dalam bambu secara bergotong-royong.
Lamang tapai kemudian menjadi hidangan khas yang sering ditemukan di dataran tinggi Minangkabau, khususnya di Pasar Batusangkar, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di wilayah yang kental dengan kebudayaan rumpun Melayu, seperti Riau, Bengkulu, dan sekitarnya.
Lagu "Lamang Limokaum", yang sering diputar saat saya kecil di kampung halaman, menambah kesan mendalam terhadap kenangan tersebut. Lirik yang saya ingat adalah:
"Eh, lamang lamak, lamang harum di Limo Kaum,
tak tangguang-tangguang yo mamak, lamak rasonyo..."
Lagu ini menggambarkan betapa nikmat dan terkenalnya lamang dari Limokaum, Batusangkar, yang telah menjadi ikon kuliner Minangkabau. Dengan nada khas Minang yang merdu, lagu ini semakin memperkuat eksistensi lamang tapai sebagai salah satu kebanggaan kuliner yang diwariskan turun-temurun di tanah Minangkabau.
Filosofi Lamang Tapai
Filosofi lamang tapai dalam budaya Minangkabau memang begitu dalam dan sarat makna. Perumpamaan bahwa lamang dan tapai melambangkan laki-laki dan perempuan mencerminkan konsep keseimbangan dalam kehidupan---di mana keduanya saling melengkapi dan menciptakan kesempurnaan, sebagaimana hubungan dalam pernikahan.
Tradisi memberikan lamang tapai sebagai hadiah dari menantu perempuan kepada mertua juga sangat menarik. Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang, tetapi juga menjadi simbol keharmonisan rumah tangga.
Rasa lamang dan tapai yang disajikan bisa menjadi cerminan hubungan suami-istri---jika tapainya terlalu asam atau lamangnya kurang gurih, bisa saja mertua menganggap ada ketidakseimbangan dalam rumah tangga pasangan tersebut.
Tradisi ini menunjukkan bagaimana kuliner bukan sekadar makanan, tetapi juga sarana komunikasi sosial dan budaya di Minangkabau.
Ciri Khas Lamang Tapai Limo Kaum
Lamang Tapai Limo Kaum merupakan makanan tradisional khas Minangkabau yang sangat mudah ditemukan di pasar tradisional, khususnya di Dataran Tinggi Minangkabau.
Lamang tapai juga telah menjadi bagian dari identitas kuliner Minangkabau yang terkenal dengan rasa yang unik---lemang yang gurih dan tapai yang manis dan asam.
Satu hal yang membuat Lamang Tapai dari Limo Kaum begitu istimewa adalah bagaimana masyarakat setempat menghidangkannya dengan penuh perhatian dan cara khas, baik dalam acara formal seperti Idul Fitri, pernikahan, maupun dalam acara adat lainnya.
Saat bulan Ramadan, lamang tapai juga banyak dijual sebagai takjil di pasa pabukoan (lapak pedagang takjil). Di Jakarta bisa ditemui pada pedagang takjil di Pasar Benhil dan Matraman.
Lagu "Lamang Limokaum", yang sering diputar saat saya kecil, semakin menambah ikatan emosional dengan makanan ini, menjadikannya tak hanya sebagai kuliner, tetapi sebagai bagian dari identitas budaya yang melekat.
Cara Menikmati Lamang Tapai
Lamang tapai biasanya disajikan dengan dua cara: pertama, keduanya diaduk menjadi satu seperti kolak, menciptakan harmoni rasa yang menyatu; kedua, dengan mencelupkan irisan tipis lamang ke dalam tapai yang manis dan asam.
Kedua cara ini memberikan sensasi kenikmatan yang berbeda, tetapi tetap mempertahankan keunikan rasa yang membuatnya begitu khas.
Makanan Tradisional yang Tak Pernah Pudar
Bagi masyarakat Limokaum, Batusangkar, serta sebagian besar Minangkabau, lamang tapai adalah lebih dari sekadar makanan. Ia adalah simbol kebersamaan, tradisi, dan kehangatan keluarga.
Seperti halnya lagu yang melantun indah di udara---mengingatkan kita pada kenangan masa lalu---lamang tapai tetap hidup dan dinikmati oleh generasi baru.
Lamang Tapai Limo Kaum bukan hanya hidangan penutup, tetapi sebuah jembatan budaya yang menyatukan masa lalu dan masa kini, serta mempererat ikatan antar-generasi.
Di kampung nenek saya di Limokaum Batusangkar, lamang tapai menjadi hidangan yang tak bisa dipisahkan dari tradisi keluarga kami. Setiap "makan gadang"---makan besar dengan nasi dan lauk pauk khas Minang---selalu ditutup dengan hidangan "parabuang": yaitu lamang yang dihidangkan dalam bambu dan tapai ketan hitam yang melengkapinya.
Bagi masyarakat Minangkabau, lamang tapai tidak sekadar sebuah hidangan penutup, tapi juga simbol dari keharmonisan.
Lirik lagu yang menggema di pasar-pasar Limokaum setiap kali seseorang membeli lamang tapai, "Lamang lamak, lamang harum di Limo Kaum...", semakin menguatkan ingatan akan sebuah warisan kuliner yang tak hanya lezat, tetapi juga kaya akan cerita dan filosofi.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025