Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.
Pisang dan Terung, Dua Hal Kecil tapi Penting dari Gang Sapi Jakarta
Hal kecil kerap diabaikan karena dianggap tak penting. Hanya setelah usus buntu yang kecil itu radang hebat, timbullah kesadaran bahwa hal kecil itu maha penting.
Biasanya, setelah operasi usus buntu, dokter bilang "Sedikit saja terlambat, nyawa melayang." Dan kamu percaya itu, lalu mengucap doa syukur pada Tuhanmu.
Kupastikan 100%, tak seorangpun dari kamu yang usus buntunya telah dipotong terpikir untuk operasi pencangkokan usus buntu. Biarpun itu donor usus buntu dari artis Korea favoritmu.
Tapi dua hal kecil di Gang Sapi tak ada hubungannya dengan usus buntumu.
Ini pelajaran bisnis mikro dari seorang penjaja buah dan seorang penjaja sayuran keliling. Soal strategi dan taktik para penjaja keliling.
***
Kemarin Engkong Felix berselisih paham di pinggir jalan dengan Bang Pi'i, penjaja buah langganan. Ini selisih paham antara penjaja dan pembeli.
Musababnya pisang tanduk. Engkong mau beli pisang tanduk untuk digoreng, kalau dapat minyak goreng. Kalau gak dapat, ya, bisa dikolak, dibakar, dikukus, atau bikin kue pisang.
Ada atau tak ada minyak goreng, pisang tanduk tetap bisa dimakan. Kalau gak dimakan juga, ya, setidaknya bisa digebuk-gebukkan ke punggung yang pegal.
Kata Bang Pi'i harga pisang tanduk itu Rp 10,000 per empat buah. Ada stok sesisir isi 10 buah. Nah, Engkong mau beli semua, Rp 25,000.
Duapuluh lima rebu? Murah banget!
"Jangan, Pak Haji!" Bang Pi'i keberatan bila Engkong mau beli semua stok pisangnya.
Oh, ya. Semua lansia laki pelanggan, jika berambut putih mengkilat, selalu dipanggil Pak Haji oleh Bang Pi'i. Gak peduli walau faktanya pelanggan itu seorang mantan calon pastor.
"Lho, emang napeh gak boleh?" balas Engkong sengit.
"Kemarin Mpok Ipeh dari Gang Blimbing situ pesen pisang tanduk. Die ntar nyariin."
"Lho, bilang aje udeh abis."
"Gak boleh gitu, Pak Haji. Bohong itu. Dosa. Pisangnya kan ada, nih. Makanye Pak Haji jangan beli semua. Biar Mpok Ipeh kebagian."
"Bah. Ya, sudahlah. Beli empat buah saja." Engkong menyerah.
Bang Pi'i telah menerapkan strategi pemeliharan pelanggan. Kalau ingkar pada Mpok Ipeh, ntar pelanggannya itu bisa pindah ke lain hati, eh, penjaja pisang lain.
Tapi Bang Pi'i juga tak mau kehilangan Engkong sebagai pelanggan setia, walau kerap menyebalkan. Maka pisang tetap dijual 4 buah kepadanya. Walau Engkong sebenarnya gak pernah pesan pisang tanduk sebelumnya.
Begitulah strategi dagang penjaja kecil. Sedapat mungkin memuaskan semua pelanggannya. Begitu caranya untuk mempertahankan relasi penjaja-pelanggan.
***
Kang Mamat, pedagang sayur keliling, masalahnya beda lagi. Engkong heran karena dia sudah agak lama tak melintas di Gang Sapi.
Biasanya dia melintas dengan teriakan khasnya: "Neeeeeheheheheheeeengg! Beli sayur! Biar disayang suami!" Tidak jelas bagaimana korelasi antara "istri beli sayur" dan "disayang suami".
"Semoga akang tukang sayur baik-baik saja. Tidak gone with the covid," doa Engkong dalam hati.
Eh, Tuhan Maha Baik. Minggu lalu Engkong bersua dengan Kang Mamat di gang lain, lengkap dengan gerobak sayurnya.
"Saya mah malas lewat Gang Sapi," jawabnya waktu Engkong tanya mengapa tak pernah lagi nongol di Gang Sapi.
"Lha, kenapa atuh, Mang?"
"Ibu-ibu Gang Sapi gak pada beli sayur. Cuma rame tanya-tanya harga ini dan itu sambil begosip. Lalu ujung-ujungnya pencet-pencet terung saya sampai lembek. Terung, kalau udah lembek, gak ada yang mau beli. Ibu-ibu maunya terung yang masih kenceng jeceng, Pak."
Jadi, Kang Mamat rupanya menjalankan taktik dagang untuk menjamin mutu barang jualan. Dia sengaja menghindari Gang Sapi untuk mencegah degradasi mutu terung dari kenceng jeceng jadi lembek letoy.
Bisa dibayangkan betapa meruginya Kang Maman dulu setiap kali melintas di Gang Sapi. Sekurangnya ada sekilo terung besar ungu yang remek dimek-mek ibu-ibu Gang Sapi.
Heran. Engkong Felix gak habis pikir. Apa sih nikmatnya bagi ibu-ibu ahli gosip itu memencet-mencet terung Kang Maman. Apa gak ada barang lain sebangun terung yang bisa dipencet-pencet di rumahnya?
Perilaku ibu-ibu Gang sapi itu contoh baik untuk menunjukkan bagaimana perilaku konsumen bisa merugikan penjaja. Kang Mamat dengan cerdas bisa mengantisipasinya. Dia menghindari Gang Sapi untuk mencegah kerusakan produk jajaannya.
Tapi kadang-kadang, kata Kang Mamat, dia lewat juga di Gang Sapi. Biasanya lepas siang hari saat stok sayurannya tinggal yang layu dan lembek. Termasuk dua tiga buah terung yang sudah lembek letoy. Dan ibu-ibu Gang Sapi mau membeli sayuran layu dan terung lembek itu dengan harga diskon sampai 50 persen.
Nah, Engkong Felix jadinya punya pertanyaan untuk kajian bisnis. Apakah tujuan ibu-ibu Gang Sapi memencet-mencet terung untuk mendapat kenikmatan atau untuk merusak produk agar turun harga?
***
Mungkin ada yang berpikir bahwa pedagang keliling tak punya strategi dan taktik bisnis. Itu salah, kawan. Penjaja-penjaja kecil di Gang Sapi sudah menunjukkan sebaliknya.
Bang Pi'i dan Kang Mamat adalah penjaja-penjaja skala mikro yang piawai memainkan strategi dan taktik dagang. Mereka mampu memelihara jaringan pelanggan dan menjamin kualitas produk.
Akan halnya ibu-ibu Gang Sapi, mereka mungkin sedang memainkan coping strategy. Keterbatasan uang belanja bahan makanan membuat mereka harus putar akal untuk mendapatkan barang murah tapi layak konsumsi.
Terung yang sudah lembek karena dimek-mek, lepas dari apa yang dibayangkan, harganya akan lebih murah ketimbang terung yang masih kenceng dan jeceng. Tapi masih layak konsumsi. Kan, kalau sudah dimasak, bakalan lembek juga.
Begitulah pelajaran ekonomi, eh, bisnis skala mikro, dari Gang Sapi, Jakarta Selatan. Hal kecil tapi penting. Seperti kata ekonom E.F. Schumacher, "Small is beautiful". (eFTe)