Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/
Ketika Mudik dan Vibes Lebaran Bukan untuk Semua Orang
Ketika jutaan orang berlomba mudik ke kampung halaman demi merayakan lebaran bersama keluarga, ternyata, ada juga orang yang tidak mau mudik lantaran beragam alasan. Salah satunya tak memiliki 'rumah' dan kerinduan akan keluarga.
***
Siapa yang tak kenal mudik. Tradisi pulang kampung setelah ramadan ini selalu ramai tiap tahun. Mudik selalu punya cerita menarik. Mulai dari kertas-kertas sambatan "Maaf Mak belum bisa bawa mantu" hingga ucap syukur "Alhamdulillah Mak, aku bawa calon mantu".
Meski demikian, diantara banyaknya cerita perjalanan mudik yang unik dan ramai itu, ada cerita sedih yang bersemai dari sudut pandang yang lain. Point Of View (POV) dari mereka yang memilih tak mudik karena trauma masa lalu.
Awalnya, saya kira mudik itu untuk semua orang, tapi nyatanya tidak begitu. Tak semua orang memiliki kampung halaman yang ditujukan untuk pulang serta melepas kerinduan setelah lama merantau.
Seorang kawan zaman kuliah dulu, sebut saja namanya Asih. Dia berasal dari keluarga broken home. Ayah ibunya sudah bercerai tahun 2010 dan kini memiliki keluarga masing-masing.
Sejak kecil, Asih tinggal bersama dengan sang nenek. Menurut dia, sang nenek udah ia anggap sebagai orang tua sendiri. Simbah--ia biasa memanggilnya--bahkan mau mengurus dan membiayai Asih hingga lulus SMA.
Ketika kuliah, Asih mendapat beasiswa serta bantuan dari ayahnya sehingga simbah mulai mengurangi pembiayaan untuk pendidikan Asih. Namun, simbah masih mengiriminya uang untuk makan dan membayar kosan.
Suatu hari, sebuah berita datang, Simbah yang Asih sayangi itu berpulang. Berita itu sempat membuatnya shock hingga ia menangis di kosan. Beberapa hari kemudian, Asih pun pulang ke Lampung untuk mengantar kepergian sang simbah.
Sejak kematian simbah, Asih tak pernah pulang kampung. Bahkan, ketika lebaran, ia menetap sebagai penghuni kosan. Kebetulan, saya dan dia satu kamar. Saya beberapa kali tak mudik. Saat lebaran dan lingkungan mulai sepi, kami biasanya berbagi makanan dan cerita banyak hal.
"Aku tahun ini gak mudik lagi Mbak, sama kayak tahun-tahun sebelumnya. Simbahku udah gak ada dan orang tuaku juga udah punya keluarga masing-masing. Gak enak rasanya kalau ganggu mereka. Asing, kayak bukan keluarga"
Salah satu hal yang membuat saya trenyuh, ketika ia bercerita bahwa kedua orang tuanya bukan lagi rumah. Ia merasa canggung bila harus bertemu dengan bapak atau ibunya. Sebab, masing-masing sudah menikah lagi dan memiliki anak.
Hingga bekerja pun, Asih memilih untuk menetap di tempat merantau, di Bogor sana. Saya beberapa kali masih berkomunikasi dengannya.
Pertengahan Ramadan lalu, Asih berkata kalau sudah menikah dan memiliki anak. Sekarang, ia punya keluarga kecil, sebuah rumah untuk membentuk kebahagiaannya. Alhamdulillah.
Cerita tentang Asih adalah satu dari sekian banyak kisah mengenai manusia yang tak memiliki makna rumah sebagai tempat pulang. Jangankan mudik, berpikir untuk rindu pada orang tua pun tidak.
Kisah lainnya, sebut saja Putri, salah satu mutual di twitter. Dia merupakan anak terakhir dari 3 bersaudara di keluarganya. Putri dan suaminya bukanlah orang kaya. Tiap kumpul keluarga besar, ia pasti selalu menjadi omongan di keluarga karena dianggap yang paling miskin.
Yang paling menyesakkan baginya, ketika sang ibu membandingkan kesuksesan anak pertama dan kedua dengan dirinya. Ia kerap menangis dalam hati. Namun ia tak memiliki power untuk melawan karena itu keluarga sendiri.
Tiap lebaran tiba dan mudik, ia pasti selalu berada di dapur untuk mencuci, pun dengan suaminya, ikut membantu Putri membersihkan keperluan para tamu yang datang di keluarga besarnya.
Semenjak itu, Putri memilih tak mudik. Ia lebih suka bersama suami dan anaknya di rumah ketimbang pulang ke rumah keluarga besarnya di wilayah Jawa Timur. Sungguh cerita yang menyesakkan dada.
Melihat berbagai cerita yang ada, saya menyadari bahwa tak semua orang beruntung memiliki keluarga layaknya "Keluarga Cemara". Keluarga cemara senantiasa diidentikkan dengan kehangatan dan kebersamaannya.
Di dunia ini, ada anak-anak yang terlahir dari keluarga broken home, keluarga yang mengalami kekerasan, keluarga miskin, hingga tak memiliki keluarga karena berasal dari panti asuhan. Bagi mereka, rumah bisa dimana saja, tak melulu soal mudik ke kampung kelahiran.
Nah, selain soal masalah keluarga, banyak warganet enggan mudik juga disebabkan oleh kujulidan orang-orang di lingkungan rumah. Paham kan? Ini soal pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang terlihat sepele tapi membuat overthinking. Misalnya seperti,
"Kapan nikah?"
"Udah punya calon belum?"
"Kamu kerja apa dan dimana, kok sarjane kerjanya cuma jadi ini dan itu?"
"Kamu kok belum isi sih, udah ke dokter belum? Si ini baru menikah sebulan langsung hamil lho"
"Anakmu kok belum bisa bicara? Anak si ibu A usia 6 bulan udah bisa ngomong Mama lho!"
"Kamu jangan di rumah mulu, kasihan jadi beban orang tua!"
Hayoo, mana pertanyaan yang pernah diberikan ke kamu? Kalau pun gak ada di atas, pertanyaan amazing apa yang pernah kamu dapat dari keluarga, tetangga atau teman-temanmu?
Salah satunya adalah teman saya Asih. Kedua orang tuanya sudah berpisah dan ia tak lagi memiliki simbah yang menjadi rumah dan alasan pulang. Baginya, kata mudik hanya memberi rasa sedih.
Ada satu hal yang kerap membuat Asih kesal saat tak mudik. Beberapa teman kos sering menyuruh dia untuk mudik--dengan kalimat yang menurut saya kurang enak, misalnya seperti ini
"Asih, kok gak mudik lagi, kasihan lho orang tua kamu pasti nunggu di rumah, silaturahim itu kan ibadah, apalagi ini momen lebaran. Harus saling memaafkan"
Gimana kalau kamu jadi Asih, pasti kesal juga kan? Sebenarnya mereka sudah tahu kondisi Asih, hanya saja mereka menganggap bahwa mau seperti apapun, sungkem ke ortu adalah wajib.
Ya iyalah, mereka gak pernah berada di posisi Asih. Tapi ya mau bagaimana, kita memang tak bisa menuntut semua orang untuk memahami permasalahan tiap orang.
So temans, saran dari saya, bila kamu menemukan teman yang tidak mudik setiap hari raya tiba. Cukup hargai saja. Gak perlu bertanya hal-hal lebih lanjut, yang bisa jadi terasa sepele tapi mengganggu bagi yang ditanya. Misalnya seperti,
"Kok gak mudik? Apa gak kangen kampung halaman?"
"Kok gak sungkem ke orang tua, ini momen lebaran lho?"
"Mudik lho Mba/mas. Kasihan keluarga nunggu di rumah!"
"Gak mudik lagi mbak tahun ini?"
Stop! Stop! Untuk kepo lebih lanjut. Saya yakin, mereka yang tak mudik itu punya alasan--yang seharusnya gak perlu orang lain tahu. Bisa jadi, mereka memang ingin membentuk atmosfer baru tanpa orang-orang toxic yang membuat kecewa.
Gak mudik atau gak memiliki kampung halaman itu wajar kok. Gak perlu merasa sedih hingga terpuruk. Yuk, tetap semangat dan lanjutkan hidup dengan bahagia sesuai versi yang kita bisa dan mau.
Salam hangat dari Nurul Mutiara R A