Manusia yang suka jalan-jalan. Suka sejarah, sosial, dan budaya. Sekarang sedang mengejar impian di departemen humaniora.
Catatan dari Tarim: Ramadhan Kita dan Ahlu Tarim
"Dulu para orang tua di Tarim selalu menangis ketika tiba di penghujung bulan Ramadhan, mereka begitu sedih karena sebentar lagi Ramadhan akan meninggalkan mereka." (Habib Ali Masyhur)
Begitulah pembuka subbab "Ramadhan Penuh Berkah di Tanah Seribu Wali" dalam buku Catatan dari Tarim yang ditulis oleh Lora Ismael Amin Kholil.
Siapakah Lora Ismael Amin Kholil?
Lora Ismael Amin Kholil atau yang dikenal juga dengan Lora Ismael Al Kholilie merupakan dzuriyah dari Ulama besar Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan.
Lora sendiri adalah sebutan "Gus" di daerah Madura.
Tahun 2012, Lora Ismael berangkat ke Tarim untuk menuntut ilmu di Darul Mustafa yang diasuh oleh Habib Umar bin Hafidz. Sebelumnya, beliau mondok di Pondok Pesantren Al Anwar Sarang dalam asuhan Alm. Kiai Maimun Zubair.
Sepulang dari Tarim, Lora Ismael mulai menuliskan catatan pengalaman-pengalamannya sewaktu belajar di Tarim. Hingga kumpulan catatan tersebut diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul "Catatan dari Tarim".
Suasana Ramadhan di Kota Tarim
Tarim di kala Ramadhan gegap gempita dengan suara para imam masjid yang menggema di tiap sudut kota hingga waktu sahur tiba.
Ahlu Tarim saat malam Ramadhan menyibukkan diri dengan beribadah sepuasnya. Mereka melaksanakan salat tarawih hingga puluhan bahkan seratus rakaat dengan berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lainnya.
Pun selepas sahur, sebagian masjid mengadakan witir berjamaah hingga belasan rakaat. Kemudian dilanjutkan wiridan sambil menanti kumandang azan subuh.
Tidak berhenti sampai disitu, ba'da subuh, jalanan Tarim riuh ramai oleh manusia dan kendaraannya yang tengah menuju Mushola Ahlu Kisa di Darul Mustafa. Mereka hendak menghadiri pengajian Habib Umar.
Kala matahari terbit, waktunya Ahlu Tarim untuk beristirahat hingga dzuhur tiba. Tarim yang tadinya ramai pun diselimuti kesunyian.
Ramadhan kita, bagaimana?
Sebagian orang getol beribadah, yang lain termasuk saya masih terlena dan berleha-leha.
Sehabis sahur, diisi dengan tidur. Padahal di atas kepala ada Alquran yang nampak menunggu untuk dibaca pemiliknya.
Kegiatan baru dimulai sejak matahari terbit. Ada yang bekerja dan sekolah, ada pula saya yang hampir masih berleha-leha karena sudah sampai di penghujung sekolah.
Tapi saya berleha-leha sambil memikirkan dan mengerjakan beberapa kewajiban yang 'diberikan' pada saya, hehe.
Memasuki waktu dzuhur, kita melakukan salat seperti biasa. Hingga tibalah waktu ashar, jalanan mulai riuh ramai oleh manusia dan kendaraannya. Bukan untuk menuju ke majelis seperti Ahlu Tarim, namun menuju ke tempat ngabuburit.
Saat tarawih pun, kita cenderung memilih masjid atau mushola yang durasinya cepat. Kalau bisa ya 30 menit selesai. Bahkan di beberapa tempat mampu menyelesaikan tarawihnya hanya dalam waktu 7 menit saja.
Bagaimana kalau tarawihnya puluhan rakaat seperti Ahlu Tarim? Wahh bisa encok, sih.
Bukber kuy!
Bukber, tradisi Ramadhan di Indonesia yang sebenarnya bertujuan untuk menyambung silaturrahim antar sesama.
Misalnya kawan lama, rekan-rekan seperjuangan, atau bahkan dengan teman-teman baru supaya makin mengenal satu sama lain.
Namun, namanya manusia pasti ada mis-nya. Bukber yang statusnya tidak wajib mampu mengalahkan salat yang statusnya sangat wajib. Ya, salat Maghrib.
Banyak yang skip salat Maghrib gara-gara bukber. Entah apa alasannya.
"Gaada mushola/masjid disini", hmm gimana kalau cari tempat bukber yang include mushola? Atau sekalian yang dekat dengan masjid.
Sepuluh Hari Terakhir
Saf tarawih di sebagian masjid/mushola di Indonesia mulai penuh seperti pada awal Ramadhan. Orang-orang mulai mempeng ibadah.
Hal itu karena 'sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan'. Di malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir, ada malam yang istimewa yaitu Lailatul Qadr.
Ahlu Tarim pada hari-hari tersebut sudah pasti memiliki jadwal ibadah yang lebih ketat daripada kita. Lora Ismael menyebutkan bahwa di malam-malam tersebut, setiap masjid punya jadwal Khotmil Quran yang akan dikhatamkan saat tarawih.
Tiap-tiap masjid yang mengadakan Khotmil Quran akan dipenuhi puluhan ribu jamaah yang membeludak hingga lorong-lorong jalan.
Kegiatan itu dilakukan seterusnya hingga Ramadhan berakhir. Tak heran bila mereka sangat bersedih ketika ditinggalkan oleh Ramadhan.
Teladan Ahlu Tarim
Mengingat semangat ibadah Ahlu Tarim, sudah seharusnya mereka menjadi teladan bagi kita. Ramadhan menjadi momen beribadah sepuasnya bagi mereka.
Tak mengapa jika tidak dapat beribadah semalam suntuk seperti mereka. Hidup kita memang berbeda. Setidaknya, Ramadhan ini juga menjadi momen memaksimalkan ibadah.
Ngabuburit beli takjil boleh, bukber juga boleh, hanya saja jangan sampai melalaikan kewajiban yang diberikan Tuhan untuk kita sebagai hambanya. Bukan Tuhan yang membutuhkannya, tapi kita.
Dan tulisan ini sebagai tamparan keras untuk saya pribadi. Semoga dapat menjadi pengingat untuk yang lain.
***
Catatan:
Saya sangat merekomendasikan buku Catatan dari Tarim karya Lora Ismael. Buku ini terdiri dari 230-an halaman, nampak tebal tapi isinya sangat ringan. Buku yang sangat cocok untuk bacaan di waktu luang, apalagi jika hati sedang memerlukan sedikit sentilan rohani.
Sumber Utama:
Ismael Amin Kholil, Catatan dari Tarim (Magelang: Najhati Pena, 2022), cet. 8, hal. 17-23.