Neni Hendriati
Neni Hendriati Guru

Bergabung di KPPJB, Jurdik.id. dan Kompasiana.com. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain 1. Antologi puisi “Merenda Harap”, bersama kedua saudaranya, Bu Teti Taryani dan Bu Pipit Ati Haryati. 2. Buku Antologi KPPJB “Jasmine(2021) 3. Buku Antologi KPPJB We Are Smart Children(2021) 4. Alam dan Manusia dalam Kata, Antologi Senryu dan Haiku (2022) 5. Berkarya Tanpa Batas Antologi Artikel Akhir Tahun (2022) 6. Buku Tunggal “Cici Dede Anak Gaul” (2022). 7. Aku dan Chairil (2023) 8. Membingkai Perspektif Pendidikan (Antologi Esai dan Feature KPPJB (2023) 9. Sehimpun Puisi Karya Siswa dan Guru SDN 4 Sukamanah Tasikmalaya 10. Love Story, Sehimpun Puisi Akrostik (2023) 11. Sepenggal Kenangan Masa Kescil Antologi Puisi (2023) 12. Seloka Adagium Petuah Bestari KPPJB ( Februari 2024), 13. Pemilu Bersih Pemersatu Bangsa Indonesia KPPJB ( Maret 2024) 14. Trilogi Puisi Berkait Sebelum, Saat, Sesudah, Ritus Katarsis Situ Seni ( Juni 2024), 15. Rona Pada Hari Raya KPPJB (Juli 2024} 16. Sisindiran KPPJB (2024). Harapannya, semoga dapat menebar manfaat di perjalanan hidup yang singkat.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Kenangan bersama Petasan Kertas

2 April 2023   09:00 Diperbarui: 2 April 2023   09:18 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan bersama Petasan Kertas
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Hai, sobat Kompasianer,

Tak terasa kita sudah memasuki hari kesebelas di Bulan Ramadan. Hari Minggu yang begitu tenang. Cucu-cucu lagi asyik main stiker, yang zamanku dulu belum ada.

Maklum, penulis adalah angkatan tahun 60-an, jadi, masih jadul, hihihi. Melihat mereka bermain, penulis jadi ingat saat kecil seusia mereka.

Duh, senangnya bila ingat masa itu, apalagi saat Ramadan seperti ini. Banyak kenangan berkelebat, baik yang menyenangkan maupun yang mendebarkan.

Nah, saat itu, sepulang kuliah subuh di masjid dekat rumah, aku merengek pada Ibu. Suara petasan terdengar di mana-mana.

"Itu penghamburan uang!" kata Ibu, ketika aku minta dibelikan petasan.

Mamun, anak tetangga depan rumah, setiap hari bermain petasan kecil, bentuknya seperti kertas yang memiliki bulatan kecil di tengahnya. Bulatan ini harus dipukul dengan batu atau palu. Terdengar suara "tak".

Anak-anak kecil biasa memainkannya. Dan aku pun ingin sekali membelinya! Tetapi kata Ibu, beli petasan adalah bentuk penghamburan uang.

"Beli sekaliiii, aja, Bu!" aku merengek lagi

"Gak boleh!" Ibu tetap tak mengizinkanku.

Akhirnya aku keluar rumah dengan adikku, dan menonton Mamun memegang serenceng petasan. Di hadapannya ada batu agak besar, yang dijadikan alas untuk memukul rencengan petasan kertas itu satu persatu.

"Tek!" bunyi petasan terdengar.

Aku dan adikku terpesona melihatnya.

"Mau coba?" tanya Mamun.

"Boleh, ya?" aku tersentak riang.

Mamun mengangguk.

"Boleh, tapi hanya sekali aja!" ujarnya.

"Asyik!" segera kuterima rencengan petasan itu. Kuambil batu kecil. Kuletakkan salahsatu bulatan tepat di atas batu, dan kupukul dengan sekuat tenaga.

"Tak!" petasan berbunyi. Wah, senangnya!

"Boleh satu lagi?" tanyaku penuh harap.

Mamun menggeleng.

"Gak boleh! Beli saja di Ceu Nyai!"

Ceu Nyai adalah pemilik warung tak tak begitu jauh dari rumah kami.

Aku terdiam. Dengan agak kecewa, kuserahkan rencengan petasan pada Mamun. Ia pun kembali memukul petasan.

Setiap kali petasan berbunyi, kami tertawa gembira.

"Teh Ana, aku mau minum!" Ati menarik tanganku.

Aku mengangguk, dan segera berdiri. Hm, rasanya pegal juga, sekian lama menonton Mamun.

"Aku pulang dulu! Makasih, Mamun!"

Mamun hanya melirikku, dan kembali asyik memukuli petasan.

Kuantar adikku pulang, dan mengambilkan minum. Dia masih kecil, jadi belum berpuasa.

Tiba-tiba, tak berselang lama setelah kami pulang, terdengar teriakan Mamun.

"Aduh! Aduh, Tolooong!"

Aku sangat terkejut mendengar teriakannya.

"Ayo, kita lihat Mamun!" kataku pada adikku.

Adikku menggeleng.

"Gak mau, petasannya bau!" ujarnya sambil menutup hidung. Memang kalau lama-lama, bau petasan tersa menyengat di hidung. Bau belerang yang cukup tajam.

"Mamun kena petasan!" A Bari yang baru pulang bermain, berteriak.

"Tangannya berdarah!" ujarnya dengan napas ngos-ngosan.

"Apa?" Ibu yang sedang tilawah, segera keluar kamar sambil masih memakai mukena.

"Mamun kena petasan, Bu! Tangannya berdarah!" A Bari menjelaskan.

Aku sangat terkejut, karena baru saja dia kutinggalkan.

Dengan berlari, kami keluar rumah. Mamun sudah dikerubungi banyak orang, tangisnya terdengar pilu.

"Bawa ke rumahsakit!" orang-orang panik. Darah terlihat mengucur, Ibunya Mamun, tak henti menangis histeris sambil memeluk anaknya.

"Tolong becak!" Pak Mugni, ayah Mamun berteriak. 

"Sebentar, saya ambil dulu becaknya!" ujar Mang Ope, salah satu tukang becak yangbiasa  mangkal di depan masjid.

Pagi itu, Mamun dibawa ke rumahsakit, Ternyata petasan terakhirnya meledak dengan keras. Batu tatakan tampak menghitam. Aku bergidik melihatnya.

"Mamun!" gumamku penuh sesal.

Berhari-hari Mamun dirawat di rumahsakit. Kami menengoknya saat dia sudah kembali ke rumah. Wajahnya sangat pucat, dan jarinya pun diperban.

Mamun tak punya jari kelingking tangan kirinya, karena pecah terkena ledakan petasan kertas.

Duh, kasian Mamun! Pantaslah Ibu melarangku membeli petasan.

Cerita tentang Mamun menyebar. Semua orang tua melarang anaknya membeli petasan. Sejak saat itu, di kampung kami tak pernah terdengar lagi suara petasan.

Kini Mamun telah menjelma menjadi seorang pengusaha kerupuk gendar yang cukup sukses di Ciamis, melanjutkan usaha orang tuanya yang telah berpulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun